jpnn.com, KABUL - Militer Afghanistan kalah langkah dari Taliban. Saat mereka mempersiapkan pasukan khusus untuk menyusup dan mematahkan kekuatan militan radikal itu dari dalam, Taliban lebih dulu melakukannya.
Sabtu malam (10/2) penyusup Taliban menyerang pasukan pemerintah. ’’Pelaku menarget pos pemeriksaan di Distrik Gareshk,’’ kata seorang sumber di pemerintahan yang merahasiakan namanya kepada Associated Press.
BACA JUGA: Kepala Daerah Diajak Tanggulangi Terorisme
Dia menyatakan, serangan di pos yang dikelola pasukan paramiliter pro pemerintah itu terjadi pada Sabtu malam. Namun, pemerintahan Presiden Ashraf Ghani baru memublikasikan insiden tersebut pada Senin (12/2).
Serangan di salah satu pos pemeriksaan di Provinsi Helmand itu menewaskan 16 anggota pasukan pro pemerintah. Kepada BBC, sumber yang lain mengungkapkan, pelaku melucuti senjata seluruh korbannya sebelum kabur.
BACA JUGA: Menkopolhukam Khawatir Myanmar Jadi Markas Baru ISIS
Diduga, dia tidak beraksi sendiri. Apalagi, dalam klaimnya, Taliban menyebut dua pejuang mereka sebagai pelaku.
Berdasar investigasi awal, militer Afghanistan menyebut pelaku yang beraksi bak ninja itu hanya berjumlah satu orang. Dia adalah penyusup. Selama berbulan-bulan, pria yang tidak disebutkan identitasnya itu menjadi bagian dari pasukan pro pemerintah.
BACA JUGA: BNPT Segera Gelar Rekonsiliasi Teroris dan Korban Teror
Bahkan, dia terlibat dalam serangkaian aksi antiteror yang menarget Taliban dan militan-militan Afghanistan lainnya. Karena itu, militer mengaku kecolongan.
Noorulhaq Olomi, pakar militer Afghanistan, menyatakan, tidak adanya intelijen khusus Taliban dalam tubuh militer menjadi alasan utama mudahnya kelompok radikal tersebut menyusup.
Jika pada masa lalu Taliban hanya menyusup ke pangkalan militer atau pos penjagaan sesaat sebelum melancarkan serangan, sekarang tidak lagi.
Taliban bahkan sukses menyusupkan anggotanya selama berbulan-bulan. ’’Kita harus punya kelompok intelijen khusus yang bertugas memantau gerakan Taliban. Sebab, mereka ada di mana-mana dan selalu punya peluang untuk menyerang,’’ kata Olomi dalam wawancara dengan TOLOnews kemarin, Selasa (13/2).
Afghan National Security Forces (ANSF) alias militer Afghanistan, menurut dia, sangat mudah disusupi.
Jenderal Atiqullah Amarkhil, pakar militer yang berbasis di Kota Kabul, mengakui kelemahan militer Afghanistan. Maklum, militer Afghanistan baru mulai berfungsi maksimal sepeninggal pasukan Amerika Serikat (AS) pada 2014.
Sebelumnya, Afghanistan lebih banyak menggantungkan keamanan mereka kepada AS. Karena itu, kekuatan intelijen militer Afghanistan pun belum bisa disejajarkan dengan negara lain.
’’Jika kita punya senjata yang canggih dan sumber daya manusia yang cakap, menghadapi Taliban tidaklah akan sesulit ini,’’ ungkap Amarkhil.
Menurut dia, membentuk intelijen militer yang solid menjadi kebutuhan mendesak pemerintah. Hanya dengan cara itulah Taliban yang belakangan kian merajalela akan bisa dikalahkan.
Di tempat terpisah, Menteri Dalam Negeri Afghanistan Sediq Sediqqi menegaskan bahwa pemerintah akan terus berusaha menghentikan Taliban. Prioritas pemerintah adalah keselamatan warga sipil.
’’Kami terus bekerja sama dengan semua pihak terkait untuk mencegah terulangnya aksi maut Taliban yang menimbulkan banyak korban jiwa sipil,’’ terangnya.
Sementara itu, menjelang dialog damai Taliban dengan empat negara (Afghanistan, AS, Pakistan, dan Tiongkok), Reuters melaporkan bahwa diam-diam pemerintahan Ghani menggelar perundingan informal dengan kelompok tersebut.
Sayang, dialog informal yang masing-masing diprakarsai Kepala Intelijen Masoom Stanikzai dan Kepala Badan Keamanan Nasional Mohammed Hanif Atmar itu tidak dikomunikasikan dengan baik kepada High Peace Council.
Selama ini, High Peace Council dipercaya sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk menjangkau Taliban.
Namun, fakta bahwa Stanikzai dan Atmar menggelar pertemuan damai terpisah dengan Taliban mengundang tanda tanya besar. Khususnya tentang keseriusan pemerintahan Ghani untuk berdamai dengan Taliban.
’’Kami tahu soal pertemuan-pertemuan itu. Dan, sampai sekarang, pertemuan itu juga masih berlangsung. Tapi, kami tidak secara resmi menerima laporan,’’ ujar Hakim Mujahid, salah seorang anggota High Peace Council.
Andrew Wilder, wakil ketua program Asia pada US Institute of Peace, mengimbau semua pihak yang bisa berbicara dengan Taliban agar saling berkoordinasi. (hep/c5/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Afghanistan Kembali dalam Cengkraman Teror Taliban
Redaktur & Reporter : Adil