Nissa dan Ibang Patut Diacungi Jempol

Kamis, 16 Februari 2017 – 00:07 WIB
KOMPAK: Nissa dan Ibang bersama para santri bertani di Pesantren Ath Thaariq Minggu (12/2). Foto:Pesantren Ath Thaariq for Jawa Pos.

jpnn.com - jpnn.com - Nisya Saadah Wargadipura dan Ibang Lukman Nurdin sudah satu dekade ini memberdayakan petani di Tanah Pasundan. Uniknya, cara yang dipakai, antara lain, dengan mendirikan pesantren yang mengedepankan aktivitas pertanian sebagai basis pendidikannya.

SAHRUL YUNIZAR, Garut

BACA JUGA: Karena Itu, Sandi Diberi Nama Tengah Salahuddin

Lepas petang, kumandang azan sayup-sayup terdengar di Pesantren Ath Thaariq di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Para santri di pesantren yang terletak di tengah hamparan sawah itu mulai mengisi saf-saf masjid.

Santri tetap di pesantren tersebut memang tidak banyak. Hanya 30 orang yang menginap. ’’Tidak boleh lebih,’’ ucap Nisya Saadah Wargadipura saat ditemui Jawa Pos, Minggu (29/1).

BACA JUGA: Alhamdulillah, Omzet Minimal Rp 75 Juta per Bulan

Perempuan yang akrab dipanggil Nissa itu adalah istri Ibang Lukman Nurdin. Keduanya merupakan pendiri Pesantren Ath Thaariq, pesantren berbasis ekologi yang berdiri sejak 2008.

Selain mengaji dan belajar bertani, para santri di Ath Thaariq setiap hari menjalani pendidikan formal di sekolah umum dan universitas.

BACA JUGA: Waktu Aku Pergi, Mamak Menangis

Ada yang masih SMP, SMA, dan bahkan mahasiswa yang mondok di pesantren itu. Namun, pada Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, mereka full di pesantren untuk berkebun dan beternak.

Sejatinya, kompleks Pesantren Ath Thaariq tidak begitu luas. Lahannya hanya 8.500 meter persegi.

Meski begitu, para santrinya justru bisa berfokus untuk menyerap banyak ilmu Alquran dan ilmu terapan.

Dengan luas terbatas, Nissa bersama Ibang, sang suami, membagi lahan pesantren dalam dua zona.

Yakni, zona pertanian dan zona peternakan. Di dua zona tersebut ada area untuk beternak ikan dan unggas. Ada pula tempat pembibitan dan area untuk kebutuhan pertanian lain.

Lalu, ada bangunan utama yang dijadikan tempat tinggal keluarga Nissa-Ibang sekaligus untuk tempat tidur bagi para santri.

Nissa dan Ibang memang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang pertanian atau peternakan. Namun, pengetahuan mereka soal cara bertani dan beternak patut diacungi jempol.

Buktinya, mereka mampu mengolah lahan di Pesantren Ath Thaariq dengan baik. Pertanian yang mereka kembangkan nyaris tidak pernah gagal panen. Kualitas panenannya juga tergolong bermutu. Begitu pula bibit unggul yang mereka produksi.

Paling tidak, pengakuan itu tidak hanya datang dari kalangan pertanian dalam negeri. Sejumlah peneliti asing juga menyatakan ketakjuban mereka.

Misalnya, yang pernah diungkapkan peneliti dari Thailand dan Filipina yang secara khusus ’’mondok’’ di Pesantren Ath Taariq untuk menimba ilmu agroekologi.

Agroekologi adalah sebuah sistem yang memanfaatkan keragaman hayati untuk mendukung pertanian.

Misalnya, untuk melawan hama tikus, para santri membiarkan predator tikus seperti ular untuk berkembang di lingkungan pesantren.

Menurut Nissa, selama ini pesantren tidak pernah membasmi hama dengan bahan kimia.

’’Biarkan saja rumah-rumah ular itu ada. Biar ular-ular itu nanti yang memangsa hama tikus,’’ katanya santai. Dengan cara begitu, ekosistem di lahan pertanian itu pun tetap terjaga.

Berkat keyakinan dan perjuangannya menjaga ekosistem pertanian selama ini, Nissa mendapat apresiasi dari pegiat dunia pertanian.

Belum lama ini, dia memperoleh beasiswa belajar A-Z Agroecology and Organic Food System Course dari Dr Vandana Shiva, salah seorang ilmuwan dan aktivis lingkungan dengan reputasi internasional asal India. Dia juga turut serta dalam Bhoomi Festival di New Delhi dan The Soil Yatra di Indore serta Nagpur, India.

Selama perbincangan berlangsung, Nissa menyuguhkan teh herbal Nusantara, salah satu produk olahan dari hasil bertani para santri.

Selain hama, pupuk yang digunakan di Ath Taariq menihilkan campuran zat kimia. Pupuk untuk mengelola kebun harus organik. Dibuat dari kotoran hewan ternak. Karena itu, mereka tidak pernah membeli pupuk.

Menurut Nissa, cara itu sudah lama dipraktikkan keluarganya sejak kakek-neneknya masih hidup. ’’Tanpa bahan kimia, mereka bisa. Tanamannya tumbuh subur,’’ ujarnya.

Terbukti, hingga saat ini, Pesantren Ath Thaariq masih memiliki benih tanaman organik seperti labu kiku, labu air, bayam paris, bayam rambat, kenikir, baligo, tomat cherry merah, tomat terendel, tomat kembang, sorgum, bunga rosela merah, bunga rosela hitam, dan emes.

Ada pula ruku-ruku, padi ciherang, padi rojolele, padi sarinah, padi sanggarung, beras merah, cengek japlak, cengek gunung, cengek domba, serta cabai bali.

Semua bibit itu bisa ditanam dan tumbuh subur di lahan pertanian Pesantren Ath Thaariq. Bahkan, kualitas beras yang dihasilkan dari tangan-tangan santri sangat baik.

’’Kami kombinasikan berbagai bibit, kemudian kami tebar sehingga saling menguatkan,’’ jelas Nissa.

Dari hasil pertanian itulah bahan pangan untuk keluarga Pesantren Ath Thaariq bersumber.

Mereka tidak pernah risau ketika harga cabai melambung tinggi, tidak juga takut kekurangan beras. ’’Kami bebas merdeka dari kesulitan pangan,’’ ujar dia bangga.

Di samping punya bibit dan hasil pertanian berkualitas, produk olahan yang mereka buat lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga pesantren. Selain teh herbal Nusantara, ada garam herbal dan gula kristal herbal dan magic tea.

Untuk makanan sehari-hari, Pesantren Ath Thaariq punya perkedel tahu daun kunyit, oseng daun bangun-bangun, urap sambung nyawa, bala-bala antanan, pecel daun binahong, serta orak-arik telur daun kelor.

’’Sangat cukup untuk makan sehari-hari di sini,’’ ungkap ibu Salwa Khanzaa Al’Salsabil, Akhfaa Nazhat Al’Waffa, dan Qaisha Qaramitha Mulya Shadra itu.

Kebutuhan nutrisi, karbohidrat, maupun protein keluarga pesantren juga tidak pernah kurang. Semua memanfaatkan bahan pangan yang tersedia di lahan perkebunan mereka.

Setelah sukses dengan Pesantren Ath Taariq, Nissa dan Ibang berniat membuka pesantren serupa di wilayah Garut Selatan. Pesantren itu mereka namai Sekolah Politik Ekologi Tangoli.

Garut Selatan dipilih Ibang agar pesantren tersebut bisa menjadi benteng bagi petani di wilayah itu dari serbuan pembangunan yang merusak lingkungan.

Meski santri tetap Pesantren Ath Thaariq tidak boleh lebih dari 30 orang, Nissa dan Ibang membuka diri bagi siapa saja yang ingin belajar pertanian dan peternakan ala mereka. Orang luar boleh belajar singkat selama seminggu, sebulan, atau tiga bulan, sampai dianggap cukup.

Setelah belajarnya selesai, mereka juga akan dianggap sebagai alumnus Pesantren Ath Taariq. Mereka akan menjadi bagian dari keluarga pesantren yang juga dikenal dengan sebutan pesantren kebun sawah itu. Tak heran bila sejak 2008 sudah ribuan santri yang menjadi alumnus pesantren tersebut.

’’Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, tidak sedikit yang dari luar negeri,’’ tandas Ibang.

Serupa dengan santri tetap, Nissa dan Ibang tidak memungut biaya sepeser pun dari setiap orang yang ingin belajar di Pesantren Ath Thaariq.

Cukup datang dengan niat kuat, keduanya akan menerima mereka sebagai bagian dari keluarga pesantren. Kemudian, bersama-sama menyatukan tekad membantu petani hidup berdaulat terhadap pangan. (*/c5/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Erna, Penghasilan sebagai Driver Taksi untuk Beli Obat


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler