Kisahnya bermula dari sepasang sepatu merah dan persekutuan dengan jin. Tapi akhir ceritanya tergantung pada pembaca sendiri. Stella Prize 2021 Novel The Wandering karya penulis Indonesia masuk dalam daftar panjang penerima penghargaan buku bergengsi di Australia, Stella Prize Penghargaan ini ditujukan bagi penulis-penulis perempuan dan non-bineri yang melahirkan karya fiksi, non foksi, dan lainnya Stella Prize pernah menjadi sorotan karena pendirinya dikaitkan dengan kelompok ultra nasionalis

Begitulah konsep novel The Wandering karya penulis Indonesia Intan Paramaditha, yang kini masuk dalam daftar panjang (12 buku) calon penerima Stella Prize di Australia.

BACA JUGA: Peserta WHV Asal Indonesia Tewas dalam Kecelakaan Lalu Lintas di Australia

Stella Prize yang telah berlangsung delapan tahun, merupakan penghargaan buku terbaik karya penulis perempuan dan non-biner atau mereka yang tidak mengkategorikan dirinya pria atau perempuan.

Tahun ini penghargaan tersebut menampilkan penulis paling beragam latar-belakangnya.

BACA JUGA: Jumlah Penduduk Australia Berkurang Pertama Kalinya Sejak Perang Dunia Pertama

Lebih dari setengah penulis yang masuk daftar panjang bukanlah penulis kulit putih, banyak di antaranya berasal dari Asia Tenggara.

Daftar panjang ini juga cukup beragam dalam bentuk bukunya, mulai dari fiksi, non-fiksi, esai, novel remaja, dan kumpulan cerpen.

BACA JUGA: PM Australia Ingin Perlakuan Terhadap Perempuan di Parlemen Diperbaiki

Dari 12 karya, buku Intan terbilang unik, sebuah novel yang menawarkan "pilihan petualangan" bagi pembacanya.

Dalam novel yang diterjemahkan Stephen Epstein dari versi bahasa Indonesia berjudul Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu, pembaca bisa membuka halaman berbeda dengan alur yang beragam.

Menurut Intan, ini soal "ilusi pilihan" bagi pembaca.

"Sebab, kita sebenarnya tak punya pilihan. Semuanya seperti telah ditentukan untuk kita," ujarnya kepada ABC News. Intan Paramaditha, penulis asal Indonesia yang kini tinggal di Sydney dan mengajar kajian media dan film pada Macquarie University.

Koleksi pribadi Menampilkan cerita rakyat Indonesia

Intan sendiri sudah tidak asing dengan kehidupan berpindah-pindah, pernah tinggal di Jakarta, New York dan sekarang di Sydney.

Bukunya menyoroti pertanyaan tentang perjalanan dan migrasi, termasuk apa artinya mengungsi atau perasaan berada "di antara".

"Ketika berada di luar (negeri), cerita tentang masyarakat dan budaya saya, rasanya tidak terlihat," katanya.

Pembaca menggambarkan perasaan FOMO - takut ketinggalan - yang sejalan dengan pengalaman perjalanan.

"Kita sering terganggu secara emosional atau merasa bahwa kita telah melewatkan sesuatu, padahal kita tidak benar-benar mengalaminya," ujarnya.

Karyanya dibentuk oleh pengalamannya sendiri, dan buku ini menjalin dongeng dan cerita rakyat Indonesia, tetapi juga menolak ekspektasi stereotip buku dari Asia Tenggara.

"Saya ingin merebut kembali kosmopolitanisme, tetapi dari perspektif dunia ketiga, karena saya merasa kita selalu diharapkan menulis dengan cara tertentu karena budaya kita," katanya.

"Cerita yang berasal dari Indonesia biasanya diharapkan memiliki unsur tertentu, misalnya unsur trauma, dan ada eksotisme di sana, ada pula unsur budaya tradisional," ujar Intan.

Ia menyebut tulisan perjalanan sering menjadi ranah penulis pria kulit putih, namun dia tertarik pada keistimewaan bepergian - gagasan yang bertahan di era COVID-19, ketika mobilitas dan koneksi virtual lebih sulit di beberapa bagian dunia.

Novel Gentayangan pernah terpilih sebagai karya sastra bidang prosa terbaik pilihan TEMPO tahun 2017.

Intan meraih gelar doktor dalam kajian sinema dari New York University dan alumni Sastra Inggris di Universitas Indonesia dan University of California San Diego.

Saat ini Intan tinggal di Sydney dan mengajar Kajian Media dan Film di Macquarie University. Rasa diterima bisa ditarik kapan saja

Penulis lain yang karyanya masuk daftar panjang, Elizabeth Tan, menjelaskan koleksi cerpennya, Smart Ovens for Lonely People, menyerupai ruangan terarium - merujuk ke salah satu adegan dalam buku tersebut.

Cerita-ceritanya "berakar pada sesuatu yang dapat dikenali dan akrab, sesuatu yang terhubung dengan realitas kontemporer, tetapi telah terbentang ke arah yang aneh dan tidak nyata," katanya. Elizabeth Tan menjelaskan kumpulan cerpennya ditulis selama 10 tahun fokus pada hal-hal yang sekilas.

Kiriman: Leah Jing McIntosh

Orangtua Elizabeth berasal dari Singapura namun dia serta saudara-saudaranya lahir di Perth.

"Saya selalu merasa bahwa hubungan saya dengan warisan budaya saya lemah," katanya.

"Saya pikir karena berasal dari latar-belakang migran, saya cepat menyadari perlunya berusaha lebih keras agar bentuk diri saya tepat untuk diterima (oleh masyarakat luas)," ujarnya.

"Namun saya juga menyadari betapa rasa diterima itu adalah permadani sewaktu-waktu dapat ditarik dari saya," kata Elizabeth.

"Saya merasakannya di tahun 90-an ketika seorang teman kulit putih menyampaikan bahwa orangtuanya memilih (partai poitik) One Nation. Saya merasakannya kembali di tahun pandemi ini, mendengar cerita sikap permusuhan di supermarket, orang Asia diludahi, coretan di garasi," ujarnya.

Partai One Nation di Australia merupakan parpol yang kerapkali menyuarakan sikap anti imigran dan anti Muslim.

Elizabeth mengaku pola pikir semacam ini membentuk pendekatan awalnya dalam menulis, bahwa dia sering mencari jawaban yang "benar", serta rasa diterima.

Karena itu, ia menyebut masuknya kumpulan cerpennya ke dalam daftar panjang Stella Prize menjadi lebih bermakna.

"Bukanlah penyesuaian diri dan rasa diterima yang seharusnya saya perjuangkan melainkan rasa emosional yang sebenarnya," katanya. Keterwakilan perlu, tapi tak cukup

SL Lim, penulis kelahiran Singapura yang pindah ke Australia ketika berusia satu tahun, merupakan penulis non-biner pertama yang masuk dalam daftar panjang untuk hadiah tersebut.

Orang non-biner tidak mengidentifikasi gender mereka sebagai pria atau wanita.

Novel Lim berjudul Revenge: Murder in Three Parts, bercerita tentang "orang yang menginginkan segalanya." SL Lim menyebut perasaan tercerabut dari akar bukan hanya dialami orang yang bermigrasi te tempat lain.

Koleksi pribadi

"Dia menghendaki cinta, seks dan petualangan, dan semua hal baik ini. Tapi karena terlahir miskin, dan karena terlahir di sisi perbatasan yang salah, dia tidak mendapatkan yang diinginkannya," kata Lim.

Hal itu memicu kemarahan, awalnya lebih ke dalam dirinya sendiri, namun kemudian meluap ke luar dengan cara mengejutkan.

Novel ini bukanlah otobiografi. Sebaliknya, Lim "menciptakan sesuatu yang memiliki makna dan koherensi dengan dirinya sendiri, yang tetap ada dan memiliki nilai terlepas dari apakah saya ada atau tidak".

"Saya pikir perasaan terlantar, tak berwujud dan terasing, seperti boneka berdaging dalam dunia yang penuh permusuhan, bukan hanya dialami oleh mereka yang bermigrasi," ujar Lim.

Di satu sisi, katanya, novel ini melihat apa yang terjadi pada orang-orang ketika terjadi perubahan mendadak pada keadaan mereka.

Lim mengatakan banyak orang Singapura sangat berorientasi ekonomi di Australia, menunjukkan minat pada uang.

"Hal itu mencerminkan transformasi dan lintasan ekonomi yang sangat tiba-tiba di Singapura, dari tempat di mana banyak orang mengalami kemiskinan ke tempat negara yang sangat kaya sekarang," kata Lim. Dalam memilih 12 buku yang masuk daftar panjang, dewan juri mempertimbangkan apa yang mungkin hilang atau terabaikan bila Stella Prize tidak ada.

Kiriman

"Tentu saja, ada ketimpangan yang sangat besar. Ada orang yang masih mengalami kemiskinan, tapi kondisinya telah berubah. Hal itu berpengaruh pada orang," jelasnya.

Lim mengatakan meski banyak pembicaraan tentang aspek keterwakilan, keragaman ras dan gender saja tidaklah cukup.

"Saya tidak akan berpikir bahwa keterwakilan, dengan sendirinya, adalah tindakan anti-rasis," katanya.

"Keterwakilan memang perlu, tapi sama sekali bukan kondisi yang cukup bagi upaya pembebasan," tambahnya. Warisan supremasi kulit putih

Penghargaan ini mengambil nama Stella Maria Sarah Miles Franklin, sebuah alternatif dari Miles Franklin Literary Award, disebut-sebut sebagai penghargaan buku paling bergengsi di Australia yang dibentuk oleh penulis buku My Brilliant Career.

Namun tahun lalu, manajemen penghargaan ini menyatakan pihaknya akan mempertimbangkan kembali nama penghargaan setelah disoroti dengan fasisme karena keterkaitan Miles Franklin dengan Australia First, sebuah kelompok anti semitik.

"Miles Franklin orang fasis. Penghargaan ini tidak seharusnya dinamakan dengan menggunakan namanya," kata Lim.

Tahun lalu, manajemen Stella Prize menyatakan akan mempertimbangkan kaitan antara nama penghargaan ini dengan kolonialisasi.

"Kami akan melakukan refleksi mengenai legasi supremasi kulit putih di dalam kesusastraan nasional kita. Kami menyadari hal ini hanya permulaan, dan masih banyak yang perlu diperbaiki," katanya.

Direktur Stella Prize Jaclyn Booton mengatakan upaya perbaikan itu terus berlanjut dalam program-program yang dijalankan. Direktur Stella Prize Jaclyn Booton menyatakan organisasi ini memperhitungkan warisan dari nama pendirinya.

Kiriman

"Pertanyaan mengenai suara dan cerita siapa yang tak terdengar dan bagaimana kita bisa menyuarakan dan merayakan para penulis tersebut merupakan hal terpenting dalam kegiatan kami," ujarnya.

"Dan seperti terlihat dalam daftar panjang Stella Prize 2021, penulis perempuan First Nations, Asia, dan Asia Tenggara telah menyuarakan kisah luar biasa dan melahirkan buku-buku istimewa," kata Jaclyn.

Buku yang masuk dalam daftar singkat penerima Stella Prize 2021 akan diumumkan hari Kamis (25/03).

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari laporannya dalam bahasa Inggris

BACA ARTIKEL LAINNYA... Petugas Keamanan Buka Suara Terkait Dugaan Pemerkosaan di Gedung Parlemen Australia

Berita Terkait