Jumlah pasti korban tewas akibat gempa bumi dan tsunami pekan lalu di Sulteng tampaknya tak akan pernah diketahui. Warga yang kehilangan kerabatnya kini masih terus mencari kabar yang mungkin tak akan pernah tiba.
Salah satunya adalah Nurhayati (46), penduduk Balaroa yang kehilangan suaminya Daeng Rate pada saat kejadian.
BACA JUGA: Mantan Jurkam Capres-Cawapres RI Akui Jadi Pencipta Hoaks Terbaik
Balaroa diperkirakan akan menjadi titik dengan jumlah korban tewas tertinggi dalam bencana di Sulteng.
Sekaligus, tampaknya akan berubah jadi kuburan massal karena sulitnya kondisi lapangan untuk menemukan mayat-mayat korban.
BACA JUGA: Perempuan Lintas Agama Indonesia Belajar Kepemimpinan di Australia
Kampung ini nyaris hilang ditelan bumi dan warga yang selamat memperkirakan sekitar 70 persen penduduk tewas tertimbun.
Balaroa yang terletak beberapa kilometer di luar Kota Palu sampai pada Jumat lalu dihuni 2.000 jiwa.
BACA JUGA: Jejaring Sosial Membuat Warga Semakin Tergerak Bantu Korban Gempa
Regu penyelamat can tim pencari dengan menggunakan alat berat telah bekerja keras selama berhari-hari untuk menemukan korban yang selamat.
Tetapi karena diperkirakan lebih 1.000 orang dinyatakan masih hilang, tampaknya ini jadi tugas yang mustahil.
Desa ini kemungkinan jadi kuburan massal bagi mereka yang kini tertimbun di bawahnya. Photo: Sebagian penduduk Balaroa kini tak bisa lagi menemukan jejak rumahnya. (ABC News: Ari Wuryantama)
Sebagian besar dari 1.747 rumah Balaroa kini dalam kondisi tertimbun. Rumah-rumah yang tersisa hanya menampaknnya bagian atas rumah.
Sejauh ini 600 penduduk Balaroa dipastikan tewas. Sekitar 1.000 orang lainnya dinyatakan hilang. Hanya sekitar 200 penduduk yang selamat.
Nurhayati, yang pada saat kejadian sedang mengunjungi tetangganya bersama suaminya Daeng Rate, kini masih terus mencari suaminya itu.
Dia menceritakan bagaimana dia berteriak memanggil suaminya agar melarikan diri. Namun belakangan dia menyadarai telah kehilangan pasangannya itu di tengah kekacauan.
"Tiba-tiba saja dinding rumah retak," katanya saat ditemui jurnalis ABC Anne Barker. Photo: Dari 1.747 rumah di Balaroa, sebagian besar sudah hilang ditelan bumi. (ABC News: Ari Wuryantama)
"Saya lari duluan. Saya kira suamiku ada di belakang. Lalu bumi terasa tersentak," katanya.
Ketika akhirnya Nurhayati berhasil mencapai tempat yang aman, dia menoleh ke belakang dan suami sudah tidak tampak. Sejak itu dia tak pernah melihatnya lagi.
Selama lima hari sejak gempa, Nurhayati masih terusa mencarinya. Tapi belum juga ada hasilnya. Dia pun belum mau menyampaikan kabar ke anaknya bahwa ayahnya mungkin sudah mati.
"Setelah saya temukan (mayatnya) baru saya sampaikan. Dia belum tahu apa yang terjadi pada ayahnya," tutur Nurhayati lagi. Photo: Gempa Sulteng menyebabkan terjadinya fenomena yang disebut likuifaksi di Petobo dan Balaroa. (ABC News: Ari Wuryantama)
Warga lainnya bernama Hari, yang tinggal di dekat Balaroa, mengisahkan bagaimana desa itu ditelan lumpur setelah gempa bumi melanda.
"Rumah-rumah itu berputar. Lalu tertarik ke bawah dan tenggelam. Rumahnya tenggelam," ujarnya.
Juru bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan fenomena ambles tanah di Balaroa dan Petobo itu disebabkan proses yang dikenal sebagai likuifaksi yang terjadi di bawah permukaan tanah.
"Ketika gempa menghantam, lapisan di bawah permukaan bumi jadi berlumpur dan gembur," katanya. Photo: Sebuah boneka tampak di sela-sela puing-puing bangunan di Petobo. (ABC News: Ari Wuryantama)
"Tanah di Balaroa sebenarnya bergerak naik turun. Rumah terangkat dua meter dan jalanan anjlok lima meter karena dibangun di sekitar patahan Palu-Koro. Gempa telah memicu hal itu," katanya.
Proses lukuifaksi lebih ekstrim terjadi di Petobo, yang tak jauh letaknya dari Balaroa. Desa itu kini secara efektif telah tertimbun dalam lumpur.
Dari 744 bangunan di sana, kebanyakan telah hilang ditelan bumi.
Sebagian lainnya hanya menyisakan atap dan bagian atas rumah lainnya. Mobil dan sepeda motor yang tersisa terlihat dalam posisi. Jalan utama desa itu juga tak bisa dilewati.
Sepintas Petobo tampak seperti terkena tsunami, namun bukan air yang datang melainkan lumpur. Photo: Situasi Petobo setelah terjadinya gempa pekan lalu. Tampak rumah yang tertelan lumpur. (ABC News: Ari Wuryantama)
Letak Petobo juga jauh dari garis pantai. Sutopo juga menyebut likuifaksi sebagai penyebab.
Seorang warga Petobo bernama Aswar menceritakan tidak berada di rumah saat kejadian. Belakangan ketika kembali ke sana, dia sudah tidak melihat rumahnya lagi.
"Tertelan lumpur. Saya tak tahu lagi di mana," katanya.
Dia mengatakan satu-satunya yang tersisa hanya sebuah lemari miliknya yang terlihat di sekitar situ.
Pihak Basarnas sudah berada di Petobo dan sudah memulai langkah-langkah membersihkan akses jalan ke sana. Sejauh ini sudah ditemukan 200 mayat.
Sama dengan Balaroa, Petobo mungkin terlalu sulit untuk dipulihkan kembali. Atau untuk menggali setiap mayat yang tertimbun. Tampaknya, kampung ini tak bisa lagi dihuni secara permanen. Photo: Hingga hari Rabu (3/10/2018) sekitar 200 jenazah telah ditemukan di Petobo. (ABC News: Anne Barker)
Begitulah nasib buruk yang harus dijalani para korban selamat di sana.
Penduduk yang telah kehilangan anggota keluarganya, dan juga rumah tempat tinggalnya, kini menghadapi kemungkinan kehilangan tanah tempat mereka bermukim sebelumnya.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemkot di Australia Tak Lagi Gunakan Doa Kristiani Sebelum Memulai Acara