Nyindir DPR saat Sidang dengan Komposisi Angop

Sabtu, 16 Agustus 2014 – 18:27 WIB
TETAP CELELEKAN: Djaduk Ferianto (tiga dari kiri) dan Glenn Fredly (kanan) saat membawakan lagu Molukken (Kole-Kole) dalam konser di TIM, Rabu (13/8). Fedrik Tarigan/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Musisi kreatif Djaduk Ferianto punya cara tersendiri dalam merayakan ulang tahun emasnya. Berusia 50 tahun pada bulan lalu, dia merayakan hari kelahirannya dengan konser tunggal yang mengeksplorasi nuansa budaya dari berbagai penjuru Nusantara.


Laporan Diar Candra, Jakarta
==========================

BACA JUGA: Lebih Bangga Murid Sukses daripada Manggung Bareng Queen

 

"TAMBAH umur kok malah konser. Ora lumrah, Duk. Ulang tahun ki (itu) tambah tuwo, lha kok malah seneng-seneng,’’ kata Butet Kartaredjasa ketika naik panggung Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki (TIM), Rabu (13/8).

BACA JUGA: Biaya Rp 3 Juta, Tak Kalah dengan Yang Rp 300 Juta

Celetukan sang raja monolog sekaligus kakak Djaduk Ferianto tersebut pun langsung direspons tawa ratusan penonton yang hadir di GBB malam itu. Konser bertajuk Gending Djaduk tersebut digelar untuk merayakan ulang tahun ke-50 Djaduk yang sebenarnya jatuh pada 19 Juli lalu.

Dalam pementasan berdurasi sekitar 1,5 jam tersebut, penonton diajak berimajinasi dengan berbagai bunyi-bunyian yang dibawakan Djaduk dan kelompok musiknya, Kua Etnika. Alat musik Barat (gitar, keyboard, bas, dan drum) berpadu dengan instrumen lokal seperti gamelan Jawa serta perkusi.

BACA JUGA: Kuda Chosen One Berharga Rp 800 Juta

Djaduk mengibaratkan proses bermusiknya kali ini sebagai jamuan prasmanan seni. ’’Silakan ambil sendiri sesukanya di bagian favorit masing-masing. Ada bagian serius, ada juga yang celelekan (bermain-main, Red),’’ ujar seniman bertubuh subur dengan kumis tebal dan cambang tersebut.

Konser itu disiapkan Djaduk sejak akhir tahun lalu. Bukan hanya versi audio, Djaduk dkk juga merancang desain visual untuk mendukung pertunjukan. Guna mempermudah penonton berfantasi, tim artistik Djaduk membeber layar putih berukuran 10 x 3 meter sebagai background panggung yang menampilkan gambar-gambar berbeda pada tiap-tiap lagu. Sepuluh repertoar yang dibawakan malam itu tertuang dalam album kedelapan Kua Etnika yang berjudul Gending Djaduk.

’’Konser ini buat saya adalah perayaan 50 tahun yang sudah saya lalui. Setelah mencapai satu terminal, saya bersiap ke terminal lain. Kenapa harus konser? Supaya saya merasa sekarang ini bukan zona aman. Supaya tetap ada kegelisahan,’’ jelas Djaduk mengenai latar belakang konsernya.

Bapak lima anak itu menyatakan, dalam album kedelapan tersebut, dirinya dan rekan-rekan banyak mengeksplorasi kekayaan bunyi-bunyian dari berbagai pelosok tanah air. Bahkan, delapan di antara sepuluh lagu dalam album itu terilhami khazanah musik Nusantara. Yakni, Piknik ke Cibulan, Jawadwipa, Pesisir, Swarnadwipa, Barong, Molukken (Kole-Kole), Demen Becik Rukun Seger Waras, dan Ritma Khatulistiwa. Dua lagu lainnya, Bethari dan Angop, terilhami kejadian sehari-hari.

Lagu Angop, misalnya. Repertoar yang kaya bebunyian yang menggunakan kelontongan sapi sebagai alat musik utama itu terinspirasi ketika Djaduk melihat anggota legislatif (DPR dan DPRD) sering angop (menguap, Red) ketika mengikuti sidang.

’’Jangan salah, menurut riset saya di Mbah Gugel (Google, Red), angop bisa berarti mengumpulkan energi dari sekeliling. Lalu tidur. Itu yang salah. Kalau yang benar, ya kerja lagi,’’ ucap Djaduk.

Sementara itu, lagu Jawadwipa, menurut dia, merupakan cerminan orang Jawa yang bersikap terbuka dan siap mengakomodasi kebudayaan dari berbagai penjuru negeri. Putra bungsu maestro tari (alm) Bagong Kussudihardjo tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa ’’wong Jowo ilang Jowone’’.

’’Tapi, bukan arti yang negatif lho. Sebab, menurut saya, lagu Jawadwipa ini tak membuat orang Jawa terjebak dalam romantisme masa lalu. Tapi, Jawa yang dinamis, selalu berubah, dan adaptatif,’’ ucap pemusik otodidak tersebut.

Lagu Molukken (Kole-Kole), misalnya, merupakan bentuk kekaguman Djaduk terhadap alam Indonesia yang elok dan kaya raya. Dalam konteks lagu itu, Djaduk menggandrungi tanah Maluku dengan kekayaan rempah-rempahnya. Dalam tafsir suami Bernadette Ratna Ika Sari tersebut, Nusantara tidak akan seterkenal sekarang jika Maluku tidak menghasilkan rempah-rempah. Lagu itu dilantunkan dengan apik oleh penyanyi asli Maluku Glenn Fredly yang tampil sebagai bintang tamu.

Konser Gending Djaduk merupakan yang pertama setelah Kua Etnika meluncurkan album ketujuh, Nusa Swara (2010). Selepas itu, kelompok musik etnik kreatif tersebut lebih sering ’’mendompleng’’ tampil dalam acara-acara lain. Misalnya, mengiringi pementasan Teater Gandrik, monolog Butet Kartaredjasa, maupun manggung di pentas-pentas musik jazz di Indonesia.

Selama 18 tahun perjalanan proses kreatifnya, Djaduk dan personel Kua Etnika mengalami pendewasaan masing-masing. Baik dalam kemampuan bermusik maupun dalam segi spiritual.

’’Banyak yang berubah. Dulu, kalau pas mood,kami bisa berlatih sampai subuh. Sekarang, karena faktor usia, jadi berbeda. Selain itu, misalnya, ketika masuk waktu salat, teman-teman yang muslim izin buat salat. Atau, kalau Minggu, teman-teman yang Nasrani pamit tidak bisa berlatih karena ke gereja,’’ tutur Djaduk.

Djaduk yang sudah berhenti merokok tiga tahun belakangan itu juga mengubah jadwal recording setelah melihat faktor usia personelnya yang tidak lagi bisa pethakilan semaunya. Jika rekaman album pertama sampai ketujuh biasanya dilakukan sore sampai dini hari, album kedelapan dikerjakan mulai pagi sampai sore.

Dalam kacamata Djaduk, menyiapkan sebuah konser tunggal sama lelahnya dengan mengkreatori beberapa event musik. Sejumlah event musik yang dibidani Djaduk adalah Ngayogjazz, pertunjukan musik jazz di Jogjakarta, serta Jazz Gunung, pentas musik jazz di kompleks pegunungan sebagai latar panggung.

’’Menggelar event itu menggulirkan ruang kreatif. Lalu, kita memberikan konteks lokal yang ada di Indonesia untuk berkembang sesuai kekhasan daerah masing-masing,’’ ungkap Djaduk. Semangat kelokalan itulah yang kemudian dimasukkannya dalam konser peringatan ulang tahun emasnya ini.

Yang menarik, setelah konser Gending Djaduk, Djaduk kini punya nama baru atau nama tua. Yakni, Gregorius Gending Djaduk Ferianto. Dia berharap dengan nama baru itu karyanya bisa lebih sareh (sabar, Red) dan nges ke depannya.

Setelah sukses di Jakarta, Djaduk berencana menampilkan konser di kampung halamannya, Jogjakarta. Di kota budaya itu, Gending Djaduk bakal dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (17/8).

Dalam konser 50 tahun Djaduk di TIM itu, ternyata hadir dua penonton istimewa. Yakni, Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Keduanya tampak menikmati sajian musik yang dibawakan Djaduk dkk.

’’Saya memang menggemari musik Djaduk sejak dulu. Dia banyak terlibat di berbagai pentas teater juga. Komposisi favorit saya di konser ini adalah yang pakai kelontongan sapi (lagu Angop, Red) itu,’’ ungkap Dahlan setelah konser.

Lukman memaknai konser tersebut sebagai kejelian seorang musisi terhadap Indonesia yang utuh. Artinya, karakter-karakter musik Nusantara bisa dimasukkan dalam satu harmonisasi lagu.

’’Djaduk sangat paham apa itu Bhinneka Tunggal Ika. Konser musik yang ditampilkannya kali ini sungguh luar biasa. Musik sebagai salah satu bahasa universal bisa mewadahi Indonesia dalam satu pementasan,’’ ujar Lukman memuji. (*/c5/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Novela Garang di Sidang, Lembut di Facebook


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler