Sejumlah mantan tentara dan keluarganya menuding petinggi militer Australia bertanggung jawab atas gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan yang diderita mereka akibat pemberian obat anti-malaria kontroversial ketika mereka ditugaskan dalam operasi militer Australia.Sebuah forum digelar di Townsville, Queensland, untuk memberikan kesempatan berdiskusi bagi mantan tentara, mantan petugas dan tenaga medis mengenai dampak dari pengobatan anti malaria Mefloquine, yang juga dikenal dengan Lariam, dan juga obat Tafenoquine. Hampir 2000 personel Angkatan Pertahanan Australia (ADF) diberikan resep Mefloquine, utamanya ketika ditugaskan ke Timor Timur antara Juli tahun 2000 hingga Juni 2015. Obat ini diketahui menyebabkan agitasi, perubahan suasana hati, serangan panik, kebingungan, halusinasi, agresi, psikosis dan pikiran untuk bunuh diri pada sejumlah kecil pasien. Sebanyak 492 personel lainnya diberikan obat Tafenoquine sebagai bagian dari uji coba pada tahun 2000 dan 2001. Lavina Salter, penyelenggara forum di Townsville berusaha menahan air mata saat dia menceritakan masalah kesehatan mental suaminya setelah mengkonsumsi Mefloquine di awal tahun 2000-an. "Pria yang saya nikahi sudah lama tiada, tidak ada tanda-tanda pada suaminya kalau dia sedang depresi. Sering kali Saya menangis di malam hari memikirkan kondisi suami saya,” tuturnya. "Saya harus menemui dia setiap hari di rumah sakit. Dan di sepanjang jalan pulang saya akan menangis dan sering kali harus menepi karena mata Saya penuh dengan air mata,” katanya. "Anak-anak saya tidak lagi bisa berlindung di belakang ayahnya. Dan Saya sangat ketakutan pada hari dimana anak saya mendapati ayahnya sering kali berusaha bunuh diri sampai tidak terhitung lagi jumlahnya,” Pakar bedah umum ADF, Marsekal Tracy Smart, mengatakan 63 personil terkena malaria ketika mereka memasuki Timor Timur pada tahun 1999 dan saat uji coba obat ini dimulai. "Obat-obatan yang kami gunakan tidak bekerja," katanya. Dia mengakui militer tahu obat itu dapat menyebabkan efek samping tetapi diasumsikan dampaknya tidak akan bersifat kronis. "Di waktu lalu ketika kami melakukan uji coba di Timor ada pemahaman bahwa beberapa orang mungkin akan menderita efek samping, dan para personil ini diberitahu tentang efek-efek samping tersebut dan diberitahu untuk menghentikan penggunaan obat itu jika mereka mendapatkan efek-efek samping." "Ketika kita sedang meneliti obat seperti ini kita akan selalu melakukan tindakan penyeimbangan karena pertama dan utamanya kita ingin melindungi rakyat dari malaria. Dan itu menjadi penyakit yang telah membunuh orang di seluruh dunia setiap hari," katanya. Namun Dr Remington Nevin, ahli terkemuka di Mefloquine dan Tafenoquine, mengatakan kepada penonton melalui Skype bahwa efek samping itu telah "disepelekan" dan "diminimalkan" ketika tentara mendaftar untuk mengikuti uji coba obat tersebut. "Seiring dengan berjalannya waktu banyak bukti muncul menunjukan efek samping ini telah berlangsung lama," kata Marsekal Smart. "Apa yang kami coba lakukan adalah menjadi setransparan mungkin, menempatkan semua kartu di atas meja."
BACA JUGA: Warga Australia, Kanada, Selandia Baru dan Inggris Dukung Pembebasan Visa
BACA ARTIKEL LAINNYA... Video: Runtuhnya Jembatan Es di Gletser Argentina Disaksikan Ratusan Orang