jpnn.com - SURABAYA - Pasien kanker RSUD dr Soetomo tidak bisa leluasa mendapatkan obat. Sejak dua pekan lalu, instalasi farmasi di Poli Onkologi Satu Atap (POSA) itu disebut kehabisan obat untuk beberapa penyakit kanker. Misalnya, kanker usus, getah bening, mata, dan payudara. Padahal, ada 500 pasien per bulan yang datang di instalasi tersebut dan membutuhkan obat. Contohnya, yang dialami Marina.
"Jumat (17/4) saya ke apotek. Obat untuk kanker payudara habis. Padahal, itu harus disuntikkan untuk pasien," ujar Marina. Menurut dia, obat tersebut bernama Zoladex. Saat itu dia mengantre sejak pukul 09.00 di Apotek POSA. Perempuan berusia 50 tahun tersebut mendapat antrean nomor 70.
BACA JUGA: Guru Wanita Ini Buka Rok Siswinya yang Dicurigai Hamil di Kelas
Marina baru dipanggil untuk mengambil obat pukul 13.00. Seperti disambar petir, petugas apotek menyebut obat kosong. Padahal, obat tersebut sedianya diperuntukkan bagi temannya yang ketika itu terbaring di rumah sakit.
Marina menyebut sang teman menderita kanker payudara stadium IV sejak dua tahun lalu. Dia diminta untuk mengambilkan obat lantaran kondisinya tidak memungkinkan. Dia pun kecewa. Apalagi, sang petugas tidak bisa memberikan jawaban kapan obat tersedia. Sebab, kekosongan itu terjadi beberapa hari. "Ini obat satu-satunya untuk pasien kanker payudara yang belum menopause. Saya gelo sekali," ucapnya.
BACA JUGA: Cuaca Buruk Ancaman Nelayan Pantai Timur
Marina mengungkapkan, sang teman harus disuntik Zoladex setiap bulan. Dia berusaha menemui dokter RSUD dr Soetomo yang memberikan resep. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan dokter tersebut di tempat praktiknya pada Senin (19/4). Saat itu Marina mengeluhkan kekosongan obat. Sang dokter pun mengaku baru tahu bahwa obat tidak ada. "Dokternya sampai bilang sendiri pasien yang butuh banyak. Tapi, memang habis," katanya.
Dokter tersebut menawarkan opsi agar membeli obat dari luar alias dengan membayar sendiri, bukan yang ditanggung BPJS Kesehatan. Harganya tidak murah, yaitu sekitar Rp 2 juta. Angka itu cukup besar untuk pasien menengah ke bawah. "Kalau yang punya uang tidak masalah, yang tidak bagaimana," ucap Marina.
BACA JUGA: Angkat Telepon Saat Nyetir, Jeep Tabrak Tiang Listrik
Perempuan yang juga ketua Indonesian Ostomy Association (In OA) Surabaya itu menyatakan, pasien yang mengantre untuk obat tersebut bukan hanya dirinya. Tetapi, banyak yang lain. Apalagi yang rumahnya di luar Surabaya. "Saya saja teler. Yang dari luar kota gimana. Datangnya lebih pagi. Kenapa tidak ada koordinasi antara apotek dan dokter. Jadi, dokter tidak nulis resep itu," ujar Marina.
Kondisi tersebut, menurut dia, sebenarnya terjadi sejak lama. Dia menyatakan pernah kontrol untuk meminta reagen kit tes penanda tumor. Sebab, dia pernah menderita kanker rektum. Namun, reagen itu juga habis. "Mudah-mudahan kondisi ini tidak berlanjut terus. Banyak nasib pasien yang bergantung," ungkapnya.
Sementara itu, dr Heru Purwanto SpB(K)Onk mengakui habisnya obat untuk kanker. Salah satunya, Tamoxifen, obat oral untuk kanker. Ada ratusan pasien yang membutuhkan obat tersebut. Menurut dia, sejatinya obat kanker ada beberapa jenis. Misalnya A, B, dan C. Masalahnya, obat tersebut direkomendasikan untuk kanker tertentu. Obat yang lain tidak bisa. Sebab, peraturannya harus memakai merek itu yang dihasilkan dari pabrikan khusus. "Sudah sebulan lebih tidak ada," ucapnya.
Dokter yang menangani langsung pasien kanker di RSUD dr Soetomo itu menuturkan, obat tersebut sudah diresepkan kepada pasien. Namun, apotek tidak bisa melayani. Alasannya, obat kosong dari pabrik.
Selain obat oral tersebut, Heru mengakui kekosongan Zoladex. Obat tersebut perlu diinjeksikan setiap bulan ke tubuh pasien sebagai terapi hormonal. Dia pun menyebut hanya bisa menunggu bagian farmasi POSA untuk mengadakan obat tersebut. Sebab, banyak pasien yang sangat membutuhkan. "Semoga segera ada," ucapnya.
Hingga kini belum ada kejelasan kapan obat tersedia. Direktur RSUD dr Soetomo dr Dodo Anondo MPH tidak membantah adanya kekosongan obat. Namun, dia mengaku belum mendapat laporan apa pun.
Dodo menyebutkan, jika obat kanker menghilang, ada dua opsi yang ditawarkan. Pertama, dicarikan obat pengganti. Sesuai dengan formularium nasional (fornas), ada beberapa jenis obat yang ditanggung BPJS pada satu penyakit. Namun, jika obat yang kosong itu hanya satu-satunya yang bisa diresepkan, Dodo meminta dokter membuat laporan ke rumah sakit.
Dengan begitu, dia menyatakan siap untuk segera melayangkan surat ke Dirjen Bina Kefarmasian (Binfar) Kemenkes pusat. Jika masalahnya pada pabrik yang tidak menyuplai obat, hanya Menkes yang bisa turun tangan. Yakni, menegur pabrik. Selain Kemenkes, ketersediaan obat berkaitan dengan BPJS. "Saya akan minta ke BPJS dan Menkes. Ini sudah urusan tingkat atas. Kami hanya sebagai pengguna," tegasnya.
Dodo menambahkan, selama ini pasien kanker memang tinggi. Termasuk yang membutuhkan obat. Misalnya, untuk kemoterapi. Sebanyak 22 kamar tidur di ruang kemoterapi RSUD dr Soetomo penuh setiap hari. "Di POSA itu obat harian. Biasanya oral untuk ditelan. Kalau kemo ada khusus, dilewatkan infus," ujarnya. (nir/c19/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BBM Naik, Harga Gula Melambung
Redaktur : Tim Redaksi