Obsesi Soesilo Toer, Doktor yang jadi Pemulung Sampah (2)

Kamis, 12 April 2018 – 07:49 WIB
Soesilo Toer dan lukisan Pramoedya Ananta Toer bersama wartawan Jawa Pos Radar Kudus Noor Syafaatul Udhma di Perpustakaan Pataba Blora. Foto: NOOR SYAFAATUL UDHMA/RADAR KUDUS

jpnn.com - Soesilo Toer, doktor ekonomi politik yang menjadi pemulung sampah, merupakan adik Pramoedya Ananta Toer. Dia ingin mengalahkan kakaknya dalam berbagai sisi kehidupan. Sebagian telah tercapai.

NOOR SYAFAATUL UDHMA, Blora

BACA JUGA: Soesilo Toer, Doktor Ekonomi Politik jadi Pemulung Sampah

”AKAN saya kalahkan Pram,’’ kata Soesilo Toer dengan lantang ketika ditanya mengenai obsesi hidupnya. Bibirnya yang tertutup kumis putih tampak bergetar. Sorot matanya menajam. Ditegakkan badannya dari sandaran kursi. Nyaris dia berdiri.

”Pram hanya menikah dua kali, saya tiga kali,” katanya berkelakar disertai tawa lepas. Dilirik Suratiyem, istri yang duduk menyerong di depannya. Sang istri yang mengenakan jilbab dan baju lengan panjang warna cokelat hanya mesam-mesem.

BACA JUGA: Pram dan PRD

Pram yang dimaksud Soesilo adalah Pramoedya Ananta Toer, penulis Bumi Manusia yang sangat terkenal itu. Pram adalah kakak kandung Soesilo yang menginspirasi adik-adiknya.

Sama dengan Pram, Soesilo juga dituding antek komunis. Dia pernah dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan. Itu memengaruhi perjalanan hidupnya sampai akhirnya Soesilo menjadi pemulung. Meski demikian, Soesilo menerimanya dengan lapang dada. Sama juga dengan Pram.

BACA JUGA: Pram…Datuk Punk!

”Ini kan perkara sudut pandang. Jadi tidak masalah,” ujarnya. Suaranya tiba-tiba melirih, kalah dengan derasnya hujan.

Sore itu ketika Soesilo ditemui wartawan Jawa Pos Radar Kudus, hujan mengguyur nyaris sepanjang siang sampai sore. Tak ada sejengkal tanah di halaman yang tidak tergenang air. Rumahnya di Jalan Sumbawa, Kauman, Blora, Jateng, tampak bocor di mana-mana.

Bahkan di dekat Soesilo duduk, ada dua panci yang dipergunakan menadahi tetesan air dari plafon. Beberapa tetesan lainnya dibiarkan.

Di rumah tua yang tak terawat itu Soesilo membangga-banggakan Pram. Namun, foto-foto Pram masih menempel di dinding ruang kerjanya yang lebih cocok disebut gudang. Di samping ruang itu juga ada kamar Pram yang dilestarikan. ”Dalam menulis pun saya sudah bisa mengalahkan Pram,” ujarnya lagi.

Kalau Pram menulis empat seri (tetralogi) novel, Soes berhasil membikin lima seri buku (pentalogi). Buku-buku Soes yang terkenal antara lain, Pram dari Dalam, Pram dalam Belenggu, Pram dalam Kelambu, Pram dalam Tungku, dan Pram dalam Buku. Semua tentang Pram. ”Pram itu pengarang. Sedangkan saya penulis. Ini dua pekerjaan yang berbeda,” tuturnya.

Soes menggambarkan, pengarang itu menulis dengan menggabungkan fakta dan fiksi. Bahasa kerennya penulisan kreatif. Sedangkan penulis itu menulis apa saja. Tentunya berdasarkan fakta-fakta. Menulis tentang kecantikan, nasihat perkawinan, atau tentang biografi seseorang.

Dia menulis J.F. Kennedy, orang yang dikagumi. Kecintaannya pada Presiden Amerika ke-35 yang dibunuh pada November 1963, itu terlihat jelas. Dia hafal betul sejarahnya.

”Orang yang dituduh membunuh Kennedy kan Oswald. Padahal Oswald bukan pembunuh. Dia memang berlatih menembak. Ikut wajib militer juga. Tetapi bukan dia pembunuhnya. Dia dituduh gara-gara pacarnya orang Belarusia. Itu semua saya tulis,” kenangnya.

Meski dalam hal tertentu bisa mengalahkan kakaknya, Soes masih kalah dalam banyak hal. ”Soal tulisan, jelas saya tidak bisa mengalahkan Pram. Namun soal buku berseri, saya lebih unggul,” katanya bangga. Tangannya menunjuk buku yang berjejer di ruangan. Buku-buku itu karangannya.

Di antara ribuan buku yang bertumpuk di ruangannya, tak satu pun karya Pram. Termasuk di perputakaan Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa) yang menempati ruang tamu dan ruang tengah. ”Pram itu pelitnya bukan main,’’ katanya.

Kalau ingin memiliki buku Pram, Soes harus membeli. Padahal, bukunya mahal-mahal. Belum lama ini buku tetralogi pulau Buru dilelang Rp 5 juta. Sedangkan buku berjudul Arus Balik cetakan pertama dijual Rp 14 juta. ”Mau beli?” tanyanya.

Soes mengakui, kemungkinan besar tak akan bisa menyalip kakaknya dalam menerbitkan buku. Karya Pram yang beredar di pasar sudah sekitar 55 judul. Sedangkan Soes baru menerbitkan sekitar 20 judul. Belasan lainnya masih antre untuk dicetak.

Bagi Soes, Pram itu sangat menyayangi adik-adiknya. Tetapi terkontrol dengan ketat. Sekitar tahun 1950, sepeninggal ayahnya, Pram mengambil alih kendali keluarga. Pram membikin peraturan. Seluruh adiknya diwajibkan melaksanakan. Misalnya setelah pulang sekolah, harus makan, tidur, mandi, lalu belajar.

Soes tidak sepakat dengan aturan itu. Setelah sekolah, dia keluyuran. ”Habis tidak ada makanan di rumah. Saya main layangan berjam-jam. Pulang-pulang bawa benang dua hingga tiga meter. Wah senangnya luar biasa,” kenangnya. Tak pelak, dia dimarahi oleh Pram.

Namun, suatu saat kata Soes, Pram mengajak adik-adiknya ke Jakarta. ”Ayo siapa yang mau ikut ke Jakarta,” Soes menirukan gaya Pram. Adik-adiknya antusias. Soes juga demikian. Apalagi, Soes tidak pernah pergi jauh kecuali ke Cepu dan Kudus. Berangkatlah tiga orang. Dia dan dua kakaknya ke Jakarta.

”Waktu berangkat senangnya bukan main. Namun, semakin mendekati Jakarta, saya semakin takut,” katanya sambil mengingat-ingat kejadian lebih dari setengah abad itu. Maklum kehidupan di Jakarta keras.

Selama di Jakarta, Soes hanya diberi uang 10 rupiah sebulan. Untuk biaya sekolah dan membeli buku saja kurang. Betul-betul minim. Padahal, dirinya sudah berhemat. Setiap hari, dia berjalan kaki sekitar 6 km pulang pergi. ”Saya protes. Ini duitnya kurang. Pram menjawab, ya sisanya cari sendirilah,” tuturnya.

Meski mendongkol, Soes menyadari didikan kakaknya benar. ”Nanti akan aku jadikan kalian mister-mister dan dokter-dokter,’’ kata Soes menirukan Pram. Meski bercampur keringat sendiri Soes akhirnya bisa melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Bahkan bisa meraih gelar Doktor Ekonomi Politik. Di Rusia lagi.

Meski paling mbandel, Soes sekaligus menjadi adik Pram yang paling dibanggakan. Sebab, dia memiliki gelar paling tinggi dibanding saudara-saudaranya yang berjumlah delapan orang. Kebanggaan Pram itu dituangkan dalam buku berjudul Nyanyian Sunyi Seorang Bisu. Buku itu ditulis di Pulau Buru.

Kebanggaan Pram itu membekas di hati kecil Soes. Setelah Pram wafat, Soes sering sedih. Padahal, saat Pram meninggal, Soes tidak menangis. Air matanya justru sering meleleh setelah Pram dikubur.

Kadang-kadang saat berbicara tentang Pram, dia juga meneteskan air mata. ”Sedih juga,’’ ujarnya dengan suara yang tiba-tiba lemah.

Dia memandangi foto Pram yang bergelantungan di tembok tak beraturan. Matanya memerah berkaca-kaca. Dia bergumam, dia dipenjara 18 tahun. Perokok berat hingga akhir hayatnya. Sampai-sampai ketika Pram mati, anak-anaknya menyelipkan rokok di mulutnya. ”Biar tenang di surga,” tambahnya.

Kehidupan Soes dan Pram berbeda. Meski sama-sama dicap kiri dan pernah dijebloskan ke penjara, Pram kaya sampai akhir hayatnya. Sedangkan Soes jatuh miskin. Akan hal itu Soes berkomentar, Pram orang yang optimistis. Sedangkan dia sebaliknya. ”Maka satu anak cukup,” katanya.

Anak Soes laki-laki bernama Benee Santoso sampai sekarang masih tinggal bersamanya. Sehari-hari tidur di ruang tengah yang sekaligus menjadi perpustakaan. Anak itulah yang menjual buku-buku Soes untuk kelangsungan hidup keluarga juga.

Soesilo adalah potret orang berpendidikan tinggi yang hidup sederhana. Amat sederhana. Handphone yang anak kecil pun sekarang sudah memegang, dia tidak punya. Dia berkomunikasi langsung. Kadang-kadang melalui anaknya. ”Sejak dulu saya tak pegang HP,’’ tegasnya.

Di rumahnya, wartawan koran ini juga tidak melihat televisi. Namun Soes meyakinkan ada tiga buah. Istrinya meralat menjadi dua. Satu sudah dijual karena sama sekali tidak bisa hidup. Yang dua? Ternyata-sama-sama TV usang. ”Saya nyaris tidak pernah menonton televisi. Berita datang sendiri kok,” jelasnya.

Kalau malam Soes memulung sampah sampai dini hari. Siang juga masih sering keluyuran. Sesekali menghadiri undangan sebagai narasumber. Menulis dilakukan kalau ada mood. Waktunya tak tentu.

Meski tak memiliki HP dan jarang menonton televisi, pikiran Soes nyambung dengan perkembangan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik terkini. Baik di tanah air maupun di belahan dunia yang lain. Banyak orang yang bersalaturrahmi ke rumahnya. Menyampaikan berbagai macam informasi.

Dia menjalani hidup apa adanya. Tanpa beban. Itulah, katanya, yang membuat umurnya panjang. ”Ngobrol dengan anda seperti, sama artinya memperpanjang usia saya seminggu,’’ kelakar Soesilo Toer.

Kini Soes telah berusia 81 tahun (lahir 1937). Genapnya nanti 17 Februari mendatang. Itu berarti tinggal dua bulan lagi dia menyamai Pram (6 Februai 1925 - 30 April 2006). Fisiknya masih prima. ”Saya yakin usia saya bisa mengalahkan Pram,’’ obsesinya lagi. Semoga. (bersambung/ris)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler