Pram dan PRD

Sabtu, 22 Juli 2017 – 12:43 WIB
Pramoedya Ananta Toer menerima PRD Award dari Budiman Sudjatmiko, 22 Juli 1996. Foto: Dok PRD untuk JPNN

jpnn.com - "PRD berhak mandiri sebagai partai politik. Dan saya bersedia menjadi anggota, kalau diterima," kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer, saat rapat pendirian Komite Persiapan Legalisasi Partai Rakyat Demokratik, 14 Juli 1998 di LBH Jakarta.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Mimpi Jumpa Nabi Muhammad, Begini Ceritanya

Hari ini 21 tahun lampau. Jakarta, 22 Juli 1996.

Ada keramaian di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dekat bioskop Megaria, Cikini, Menteng.

BACA JUGA: Politik Tak Lagi Menarik Minat

Dengan ragam kepentingan, sekian ratus orang berdatangan sedari matahari berada di puncak kepala. Umumnya anak muda yang "berwajah kemerah-merahan".

Sore menjelang. Adzan Ashar baru saja berkumandang. Jam menunjukkan pukul 16.00. Acara pun dimulai. Deklarasi Partai Rakyat Demokratik. Babak baru dalam sejarah Indonesia.

BACA JUGA: Pertemuan Empat Mata dengan Soeharto

Ketua Umum PRD Budiman Sudjatmiko membacakan pidato berjudul Mari Kibarkan Panji-Panji Kedaulatan Rakyat!.

Anak muda kelahiran 10 Maret 1970 itu mengawali pidatonya dengan berseru, "hidup rakyat…hidup demokrasi."

Dua puluh enam tahun umurnya ketika itu.

"Hari ini," kata dia, "pada 22 Juli 1996, kami para pengurus PRD mengumumkan pendirian partai kami kepada rakyat dan penguasa secara terbuka dan terang-terangan."

Tidak seperti kebanyakan kawan-kawannya yang berambut gondrong, tampilan Budiman boleh dibilang klimis. Berkacamata. Kurus.

"Kami sadar pendirian partai baru ini tidak mungkin mendapat pengakuan atau legalitas dari penguasa. Dan terus terang kami memang tidak membutuhkan suatu legitimasi dari penguasa, legitimasi PRD adalah pengakuan dari rakyat."

Menurut dia, selama Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 undang-undang politik 1985 yang membatasi partisipasi rakyat untuk mengontrol pemerintahan masih berlaku, selama itu pula rakyat tidak mungkin dilegalkan untuk mendirikan partai baru.

Tanpa ragu-ragu, anak Universitas Gadjah Mada (UGM) itu melesatkan anak panahnya langsung ke jantung orde baru.

"Selama 30 tahun, 8 bulan, dan 22 hari kekuasaan orde baru dibawah pimpinan Jenderal Suharto, terjadi kemunduran-kemunduran yang fatal dalam sistem politik dan budaya politik."

Pidato itu cukup panjang. Di ujung pidatonya Budiman berseru, "partai baru, presiden baru…!"

Setelah itu giliran Petrus Hariyanto, Sekjen PRD. Aktivis mahasiswa dari Universitas Diponegoro, Semarang ini membacakan Manifesto Politik PRD.

Kalimat pertamanya; Tidak ada demokrasi di Indonesia!

Menurut dia, sudah tiba saatnya segala paket perundang-undangan yang membatasi partisipasi rakyat seperti 5 paket UU politik segera dicabut.

"Paket undang-undang ini adalah benteng pengabsahan pemerintah untuk membatasi hak-hak politik rakyat…hak-hak dasar partisipasi rakyat untuk berpolitik telah dipasung, dibatasi, dibuntungi dengan penerapan 5 paket UU politik dan dwi fungsi ABRI."

Petrus juga menyoroti semakin dalamnya kesenjangan antara segelintir yang kaya dengan mayoritas yang miskin.

"Selama kedaulatan rakyat masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan ekonomi, politik dan budaya sebuah bangsa dan masyarakat, selama itu pula sejarah akan memberikan alat-alat perlawanan untuk menegakkannya."

Maka, "berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD) merupakan salah satu manifestasi dan jawaban untuk menjawab kebekuan dan kebuntuan dari alat-alat politik ekstra parlementer, serta meningkatkan kualitatif gerakan rakyat menuju suatu masyarakat demokratik multi partai kerakyatan yang damai, tanpa kekerasan."

Di antara 300-an orang yang menghadiri deklarasi PRD, terlihat Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, Jusoef Ishak, Hasjim Rachman, Sri Bintang Pamungkas, juga Permadi (PDI).

Nampak juga puluhan wartawan. Baik dalam pun luar negeri.

Dalam acara deklarasi itu, ada acara penyerahan PRD Award kepada Megawati Sukarnoputri, Abdurachman Wahid, Pramoedya Ananta Toer, Sri Bintang Pamungkas, Thomas Wanggai, Xanana Gusmao, Penerbit Tempo (Gunawan Muhamad), Penerbit Hasta Mitra (Hasjim Rachman) dan George J. Aditjondro sebagai pejuang demokrasi.

Gus Dur, Megawati dan George J Aditjondro tidak hadir. Plakat diterima oleh orang yang mewakili mereka.

Piagam untuk Xanana Gusmao yang ketika itu sedang mendekam di penjara, diterima oleh seorang pemuda Timor-Timur, yang membacakan statement dari Dewan Pertahanan Nasional rakyat Maubere, biasa disebut CNRM.

"Kami rakyat Maubere sangat bangga atas perjuangan PRD selama ini yang selalu berjuang bersama-sama rakyat kecil untuk merubah nasib mereka yang selalu ditindas oleh rezim orde baru."

Award untuk almarhum Dr Thomas Wanggai diwakili Forum Komunikasi Pemuda-Mahasiswa Irian Jaya.

Sri Bintang Pamungkas, tokoh yang cukup kesohor waktu itu menyampaikan pidato singkat dengan sangat berani, setelah menerima PRD Award.

"PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia--red) menyatakan boikot atas pemilu. Menolak Suharto untuk dijadikan calon Presiden. Hentikan militerisme dan hentikan perekonomian yang menindas rakyat."

Goenawan Mohamad, bos majalah Tempo dalam pidato penerimaan Award menyatakan "bahwa PRD sepantasnya juga menerima award atas perjuangannya  untuk menegakan demokrasi."

Setelah itu paduan suara menyanyikan "Mars Partai Rakyat Demokratik" dan "Darah Juang". Dilanjutkan pembacaan puisi oleh Widji Thukul yang berjudul Sajak Suara dan Peringatan.

Acara Deklarasi PRD pun selesai.

Oiya, apa yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer saat pidato menerima PRD Award?

Sastrawan legendaris itu memang menyatakan keinginannya bergabung dengan PRD. Tapi, bukan saat deklarasi PRD, 22 Juli 1996. Bagaimana kisahnya? --bersambung (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bang Ara Ajak Kalangan Muda Sumut Ukir Sejarah Positif


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler