jpnn.com - Ada dua organisasi internasional yang diharapkan bisa menghentikan agresi Israel terhadap Palestina sekarang ini, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Organization of Islamic Cooperation (OIC).
Indonesia menjadi anggota pada kedua organisasi itu, bahkan sempat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada periode 2018 sampai Desember 2020. Di OKI, Indonesia menjadi anggota sejak organisasi itu didirikan di Rabat, Maroko, pada 1969.
BACA JUGA: Yahudi
Salah satu pemicu berdirinya OKI ialah pembakaran Masjid Suci Al-Aqsa pada 21 Agustus 1969 oleh zionis Israel. Para pemimpin dari 24 negara Islam pun mengadakan konferensi di Rabat, Maroko, pada 25 September 1969.
Kemudian pada 1970, para menteri luar negeri berkumpul di Jeddah. Pertemuan yang kelak menjadi Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI itu menetapkan Jeddah sebagai markasnya.
BACA JUGA: Jilbab, Najwa Shihab, dan Ide Socrates
Pada awal terbentuknya, OKI hanya beranggotakan 30 negara. Selama 40 tahun berdiri, jumlah anggotanya terus bertambah dari negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim di kawasan Asia dan Afrika.
OKI menjadi organisasi internasional terbesar di dunia setelah PBB. Tujuan pembentukan OKI ialah meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengoordinasikan kerja sama antar-negara anggotanya, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, melindungi tempat-tempat suci Islam, serta membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Dengan 57 anggota, OKI adalah organisasi internasional terbesar sesudah PBB. Saat ini PBB memiliki 193 anggota ditambah dua negara pengamat, yaitu Vatikan dan Palestina.
Tujuan utama pembentukan OKI jelas untuk membantu perjuangan negara Palestina merdeka. Akan tetapi, sampai sekarang nyaris tidak banyak kemajuan yang bisa diperjuangkan oleh OKI untuk membantu Palestina.
Dalam krisis Palestina yang terjadi sekarang ini, OKI juga praktis tidak bisa berbuat banyak karena tidak mempunyai kewenangan efektif yang bisa mengikat secara hukum, apalagi Israel bukan anggotanya, sehingga tidak bisa ada sanksi apa pun yang bisa diterapkan. Paling-paling OKI hanya bisa mengeluarkan resolusi yang bersifat imbauan.
Oleh karena itu, dalam penyelesaian krisis Palestina sekarang ini, suara OKI nyaris tak terdengar. Upaya diplomasi Indonesia melalui OKI juga tidak akan banyak memperoleh hasil kecuali hanya sekadar formalitas saja.
Kekuatan OKI tidak pernah utuh karena beberapa anggotanya punya kepentingan yang berbeda dan sering berbeda pendapat.
Dalam krisis Palestina, Iran dan Arab Saudi yang sama-sama anggota OKI punya sikap berbeda. Meskpun secara formal mengecam agresi Israel, Saudi tidak akan memberi bantuan militer kepada Palestina.
Adapun Iran yang lebih konfrontatif terhadap Israel cenderung memakai pendekatan militer untuk membantu Palestina. Pasukan milisi Hizbullah (Tentara Allah) di Lebanon yang didukung Iran secara aktif membantu para pejuang Islam Palestina, terutama Hamas.
Iran selalu terlibat konflik diplomatik dan militer dengan Amerika Serikat yang menjadi pelindung utama Israel, sementara Arab Saudi selama ini menjadi sekutu Amerika paling setia di Timur Tengah.
Tarik-menarik kepentingan politik inilah yang membuat OKI tidak bisa menjadi kekuatan efektif. Berbagai konflik yang melibatkan anggota OKI menjadi berlarut-larut dan OKI tidak bisa memberi kontribusi yang meyakinkan.
Krisis di Afghanistan, dan persoalan politik di negara-negara Timur Tengah seperti Irak, Suriah, Libia, dan beberapa negara Islam lainnya, sampai sekarang tidak mendapatkan penyelesaian dari OKI.
Akibat tidak efektif, OKI lebih banyak dianggap sebagai paguyuban untuk sekadar kumpul-kumpul. OIC pun dipelesetkan dari Organization of Islamic Cooperation menjadi ‘Oh, I See’ (Oh, begitu).
Setiap kali ada krisis di negara-negara Islam, reaksi OIC tidak lebih dari Oh, I See.
PBB juga tidak bisa berbuat banyak untuk menyelesaikan krisis Palestina. Praktis PBB mandul dalam menghadapi krisis ini.
Resolusi apa pun yang dikeluarkan PBB tidak akan digubris oleh Israel, karena sudah hampir pasti akan diveto oleh Amerika Serikat sebagai pelindung utama Israel.
Kalangan pengamat internasional menyebut Israel sebagai ’The Little America’, sementara Amerika disebut sebagai ’The Big Israel’. Israel adalah Amerika kecil, dan Amerika adalah Israel besar.
Amerika Serikat adalah negara federal yang mempunyai 50 negara bagian, dan Israel disebut sebagai negara bagian ke-51.
PBB yang seharusnya menjadi organisasi internasional yang bisa membantu Palestina dalam memperoleh kemerdekaannya, selalu keropos dan tidak berdaya, karena Amerika mempunyai hak veto istimewa melalui keanggotaan tetap di Dewan Keamanan bersama Inggris, Prancis, Rusia, dan China.
Dengan privilese itulah Amerika selalu memveto keputusan-keputusan penting PBB yang dianggap merugikan Israel.
Ketimpangan kekuatan di PBB ini tidak adil, tetapi sampai sekarang masih terus berlangsung. Negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB bertindak seperti pemegang saham utama PBB yang mengendalikan organisasi itu untuk kepentingan geopolitiknya.
Indonesia pada zaman Bung Karno pernah dibuat sangat masygul dengan pengakuan terhadap Malaysia sebagai anggota PBB, sekaligus anggota tidak tetap Dewan Keamanan. Keputusan itu menghina dan mempermalukan Indonesia karena Malaysia dianggap sebagai negara boneka bentukan Inggris.
Indonesia pun keluar dari PBB pada 1965. Setelah Bung Karno jatuh, Pak Harto segera memulihkan keanggotaan Indonesia di PBB.
PBB yang berdiri pada 1945 di San Francisco, Amerika Serikat, membagi-bagi pampasan perang kepada para anggota koalisi yang menang pada Perang Dunia Kedua. Dengan memegang hak veto pada Dewan Keamanan, Amerika dan sekutunya praktis mengendalikan PBB.
Rusia dan China yang seharusnya menjadi kekuatan alternatif ternyata belum bisa mengimbangi maneuver-manuver Amerika dan Inggris yang didukung Prancis.
Pembagian wilayah kekuasaan ini jelas tidak adil dan tidak relevan, karena sudah berlangsung 75 tahun dan tidak pernah berubah. Tatanan dunia baru sudah berubah, tetapi PBB masih tetap ditata dengan tatanan sisa Perang Dunia 1945.
Prof. Kishore Mahbubani, ahli geopolitik dari Singapura, mengkritik tatanan kuno itu, dan mengusulkan tata dunia baru yang lebih relevan dengan kondisi saat ini.
Mahbubani dalam bukunya, ‘The Great Convergence: Asia, The West, and the Logic of One World’ (2013), mengatakan, Amerika dan konco-konconya harus rela melepas sebagian kekuasaannya dan memberikannya kepada negara-negara Asia yang oleh Mahbubani disebut akan menjadi masa depan dunia.
Mahbubani juga mengusulkan perubahan komposisi anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan memasukkan Indonesia dan Brazil sebagai anggota tetap baru.(*)
Redaktur & Reporter : Antoni