jpnn.com - Jokowi suka memakai idiom bahasa Jawa ketika berbicara dalam berbagai kesempatan.
Ketika memberi sambutan pada suatu acara, atau ketika memberi wawancara kepada media, idiom-idiom Jawa suka menyelip dalam pernyataan Jokowi.
BACA JUGA: Jokowi di Hadapan Projo: Jangan Tergesa-gesa, Dinamika Politik Sekarang belum Jelas
Banyak di antara idiom-idiom itu yang menjadi populer dan menambah khazanah kosakata politik Indonesia.
Sebagai ‘’wong Solo’’ Jokowi kental dengan logat bahasa Jawa. Sama dengan Pak Harto yang asli Yogya, dua presiden itu sama-sama sering membuat idiom Jawa yang kemudian menjadi bagian dari kosakata politik Indonesia.
BACA JUGA: Masyarakat Solo Tuntut Jokowi Turun, Ada Kata Hancurkan
Pak Harto terkenal dengan ungkapan ‘’tak gebuk’’ ketika merespons tindakan yang tidak konstitusional. Jokowi kemudian—entah sengaja atau hanya kebetulan—memakai idiom ‘’tak gigit’’, untuk merespons mereka yang melakukan tindakan korupsi.
Pada masa-masa awal pencalonan pada Pilpres 2014, Jokowi terkenal dengan ungkapan ‘’aku rapopo’’ dari kata ‘’aku ora opo-opo’’, artinya ‘’saya tidak apa-apa’’.
BACA JUGA: Kepemimpinan Jokowi Dinilai Pacu Lahirnya SDM Generasi Muda Daerah
Ungkapan ini merespons kritikan dan sindiran—bahkan juga hinaan--sejumlah kalangan terhadap Jokowi. Dengan respons itu, Jokowi berhasil meredam berbagai kritik yang ditujukan kepada dirinya.
Aku rapopo menjadi kosakata politik yang banyak dikutip orang. Para politisi memakai ungkapan itu untuk menjawab kritik.
Bukan hanya Jokowi yang membuat kata itu populer, penyanyi dangdut Julia Perez menjadikan ungkapan itu sebagai judul lagu yang kemudian populer di kalangan pecinta musik dangdut.
Aku rapopo cukup efektif meredam kritik. Akan tetapi, tidak berarti kritik selesai. Namanya juga kritik, tidak bakal ada habisnya.
Maka, aku rapopo pun dipelesetkan lagi menjadi ‘’aku raiso popo’’ atau ‘’aku ora iso opo-opo’’ yang artinya ‘’saya tidak bisa melakukan apa-apa’’. Ungkapan itu menyindir Jokowi yang sering disebut sebagai presiden boneka oleh pengritiknya.
Kali ini, Jokowi kembali memakai idiom Jawa. Ketika menghadiri rakernas sukarelawan Pro Jokowi (Projo) di Magelang (21/5), Jokowi mengatakan ‘’Ojo kesusu’’, jangan terburu-buru.
Hal ini merespons para sukarelawan yang meminta kepada Jokowi untuk menyebut nama yang bakal didukung pada Pilpres 2014.
Jokowi meminta kepada pendukungnya supaya bersabar. Pelaksanaan pilpres masih cukup lama dan karenanya tidak perlu tergesa-gesa untuk menyebut satu nama.
Meskipun, Jokowi menambahkan, "Mungkin orang itu ada di sini." Tambahan anak kalimat ini menimbulkan spekulasi bahwa Jokowi mendukung Ganjar Pranowo.
Kebetulan—atau kesengajaan—Ganjar Pranowo diundang pada acara itu.
Di antara nama-nama yang disebut-sebut sebagai bakal calon presiden 2014, hanya Ganjar Pranowo yang diundang oleh Projo pada acara itu.
Penyebutan ‘’orangnya ada disini’’ oleh Jokowi menjadi indikator dukungan Jokowi kepada Ganjar.
Dalam berbagai survei yang dilakukan lembaga konsultan politik nama Ganjar Pranowo selalu konsisten berada pada tiga besar bersama Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
Ganjar pun menjadi ‘’front runner’’ pelari terdepan, yang dijagokan untuk bisa memenangkan pilpres menggantikan Jokowi.
Dua tokoh ini mempunyai kedekatan pribadi dan banyak punya kecocokan. Sebagai sesama orang Jawa keduanya mempunyai background budaya yang sama.
Baik Jokowi dan Ganjar sama-sama ‘’menguri-uri’’ budaya Jawa dan akrab dengan berbagai ritual Jawa, termasuk yang berbau mistik maupun klenik.
Sebagai sesama kader dan petugas partai, Jokowi dan Ganjar memahami betul postur dan anatomi partainya sehingga sama-sama berhati-hati untuk berbicara mengenai Pilpres 2024.
Publik tahu bahwa Jokowi punya preferensi yang lebih condong ke Ganjar, tetapi PDIP sebagai induk mereka sampai sekarang masih tetap keukeuh menolak Ganjar.
Jokowi dan Ganjar tidak akan berani menentang partainya secara terbuka. Secara terbuka Bambang Pacul, ketua bidang pemenangan PDIP, sudah menempatkan diri sebagai penghalang Ganjar.
Secara terbuka, Pacul mengritik upaya Ganjar yang dianggapnya ‘’kesusu’’ menampilkan diri sebagai bakal calon presiden.
Bambang Pacul yang juga menjadi ketua PDIP Jawa Tengah sengaja mengisolasi Ganjar dengan tidak mengundangnya di beberapa acara penting.
Pada acara halalbihalal, Ganjar tidak diundang. Pada sebuah kesempatan, Pacul mengritik Ganjar secara terbuka dengan menyebutnya ‘’banter dan keminter’’ terlalu cepat dan sok tahu.
PDIP tentu menyiapkan tiket untuk Puan Maharani yang sudah didesain untuk menjadi putri mahkota. Akan tetapi, Puan tidak kunjung beranjak dari posisi juru kunci dalam berbagai survei.
Posisi Puan tidak bergerak dari nol koma atau satu koma, sementara Ganjar selalu konsisten double digit di atas 20 persen.
Posisi elektabilitas Ganjar dengan Puan ini bukan hanya seperti langit dan bumi, tetapi sudah seperti langit dan sumur.
Posisi Puan tenggelam dan sulit diangkat. Berbagai hal dicoba, mulai dari tebar baliho sampai bagi-bagi sembako. Hasilnya tetap sama, seperti mendorong mobil mogok, elektabilitas Puan tidak bergerak.
Megawati Soekarnoputri sebagai mami dan yang empunya partai tetap membela sang putri. Mega pun mengancam akan memecat siapa saja yang tidak tegak lurus dengan perintah partai. Mega tidak menyebut nama, tetapi jelas targetnya adalah Ganjar.
Kader PDIP pun terbelah antara yang mendukung Ganjar dan Puan. Bambang Pacul meledek kader PDIP yang mendukung Ganjar sebagai celeng alias babi hutan.
Alih-alih mundur, para pendukung Ganjar malah bangga disebut sebagai celeng. Muncullah persaingan terbuka antara banteng vs celeng.
Puan mencoba strategi baru untuk mendongkrak elektabilitas. Dia menyerang calon-calon presiden yang dianggapnya hanya bisa menjual tampang di media sosial, tetapi kenyataannya tidak bisa bekerja.
Beberapa capres terkena sindiran ini, tetapi yang paling keras menjadi sasaran tampol tentulah Ganjar Pranowo.
Ganjar tidak pernah berkomentar balik, apalagi melawan. Meski begitu Ganjar tidak berhenti bergerak. Dia tetap berjalan dan tetap aktif melakukan kampanye media sosial.
Ganjar menjalankan politik kepiting, berjalan ‘’nggeremet’’, pelan-pelan, berhenti kalau ada batu, lalu berjalan lagi, dan kalau kondisi aman sesekali dia menggigit dengan capit.
Orang Jawa punya filosofi alon-alon waton kelakon, pelan-pelan asal berhasil. Jokowi dan Ganjar tahu pasti mengenai hal itu. Karena itulah Jokowi mengingatkan ‘’ojo kesusu’’., lebih baik alon-alon waton kelakon, pelan-pelan tapi berhasil.
Akan tetapi, Jokowi dan Ganjar tidak bisa terus-menerus alon-alon dan tidak kesusu. Waktu sudah makin mepet.
Jokowi dan Ganjar berpacu dengan waktu, race against time. Harus ada plan B dan harus disiapkan sekoci sebagai penyelamat kalau Ganjar tidak bisa mendapatkan tiket dari PDIP.
Sampai kapan Ganjar sabar dan tidak kesusu, itulah pertanyaannya. Ganjar akan manut kepada Jokowi. Ganjar adalah fotokopi Jokowi dan mencoba mengemulasi Jokowi seperti cover version.
Tentu ini menyenangkan bagi Projo, tetapi bisa menjadi kendala bagi pemilih lain yang menganggapnya membebek dan tidak kreatif.
Anak milenial menyebut Ganjar melakukan ‘’kopasus’’, kopi paste ubah sedikit, terhadap gaya Jokowi. Kopasus adalah menjiplak yang hampir sama dengan plagiat.
Jokowi membutuhkan seorang protégé yang bisa dipercaya sebagai penerus kebijakannya yang masih banyak terbengkalai.
Pilihan paling rasional adalah Ganjar, tetapi, tentu Jokowi harus realistis dan tidak menutup mata terhadap kemungkinan mendukung calon lain yang lebih potensial.
Ojo kesusu bermakna ganda. Bisa bermakna tunggu sampai saatnya tepat, tapi juga bisa bermakna tunggu saya akan bandingkan dengan calon lain. Ganjar belum aman dan tidak boleh merasa ge’er, gede rumongso.
Di media sosial pun muncul meme menggambarkan seorang pedagang makanan membawa rombong bertuliskan ‘’Don’t to Milk’’, ojo kesusu. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror