Oknum Polisi Mabuk Tembak Anggota TNI, Bang Reza Menyoroti Beberapa Hal Penting

Kamis, 25 Februari 2021 – 20:17 WIB
Reza Indragiri Amriel. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti beberapa hal penting dalam kasus oknum polisi mabuk, Bripka CS yang menembak empat orang di Kafe RM, Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (25/2) dini hari.

Tiga di antara korban penembakan meninggal dunia. Salah satunya adalah anggota TNI AD.

BACA JUGA: Oknum Polisi Tembak Anggota TNI: Pengin Tahu yang Dibawa Tim Inafis dari Kafe RM?

Hal pertama yang menjadi perhatian Bang Reza adalah hukuman bagi pelaku penyalahgunaan senjata api atau senpi. Apalagi pelakunya oknum aparat.

"Penyalahgunaan senpi, apalagi oleh aparat penegak hukum, apalagi sampai menewaskan masyarakat sipil, jelas patut dipandang sebagai kejahatan serius. Pelaku patut dihukum berat," ucap Reza kepada JPNN.com, Kamis (25/2).

BACA JUGA: Anggota TNI Ditembak Oknum Polisi, Mayjen Dudung Menyampaikan Instruksi Penting

Namun, kata pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM ini, konstruksi hukum kasusnya harus kuat.

"Untuk merealisasikannya, konstruksi hukumnya harus solid. Puzzle-nya harus terakit rapi," ucap Bang Reza.

BACA JUGA: Uni Irma: Kerumunan di Maumere Langgar Disiplin Prokes, Membahayakan Masyarakat dan Presiden

Dia lantas menyinggung pasal yang disangkakan terhadap Bripka CS, yakni Pasal 338 KUHP yang berbunyi "Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun".

"Kabarnya, polisi pakai pasal 338 KUHP. Sebutlah, ini pembunuhan murni, memang ada niatan untuk menghabisi para korban. Pertanyaannya, dari ketiga korban, apakah pelaku memang membunuh ketiganya?" kata Reza.

Peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne ini kemudian menyampaikan analisis mengenai kejadian tersebut.

"Adakah korban yang sesungguhnya sebatas akan dianiaya namun penganiayaan itu mengakibatkan korban meninggal dunia? Jika bisa disisir seperti itu, pasalnya akan berbeda. Bukan 338," sambung Reza.

Namun, dia mengaku belum mengetahui persis bagaimana peristiwa itu terjadi. Terutama tentang deskripsi tempat kejadian di perkara atau TKP. termasuk interaksi korban dan pelaku.

"Saya sendiri belum tahu bagaimana deskripsi situasi di TKP, kondisi pelaku, dan interaksinya dengan para korban. Kalau pelaku mabuk, bagaimana niatan untuk membunuh korban bisa dijelaskan," jelas pakar asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau ini.

BACA JUGA: Bripka CS Tembak Mati Anggota TNI-Karyawan Kafe, Kapolri Langsung Keluarkan Telegram, Nih Isinya

Reza juga mencoba menganalisis penjelasan polisi bahwa kejadian penembakan oleh Bripka CS diwarnai dengan cekcok mulut.

"Kalau benar ada cekcok mulut, cekcoknya seperti apa. Cekcok yang memantik heat of passion, lalu terjadi penembakan, belum tentu bisa disebut sebagai pembunuhan (murder). Bahkan betapa pun korban tewas," tutur Bang Reza.

Karena itu, kata dia, menjadi penting untuk mengetahui gambaran situasinya ketika penembakan itu terjadi. Terutama soal interaksi korban dengan pelaku oknum polisi mabuk tersebut.

BACA JUGA: Kerumunan Jokowi Dibandingkan dengan Penyambutan Habib Rizieq, Kapitra: Itu Simbol Perlawanan

"Itu sebabnya interaksi antara korban dan pelaku perlu dideskripsikan, bukan hanya disimpulkan 'terjadi cekcok'. Dengan demikian, bagaimana tindak-tanduk para korban juga bisa dinilai seberapa jauh 'kontribusi' mereka bagi terjadinya peristiwa tersebut," jelas Reza.

Terakhir, dia berharap penyidik kepolisian bisa mengungkap kasus ini secara mendalam, dan menjerat pelakunya dengan hukuman maksimal.

"Terlepas dari itu, saya berharap otoritas penegakan hukum bisa memaksimalkan kerja mereka agar pelaku juga bisa dikenai hukuman maksimal," pungkas Reza.(fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler