jpnn.com, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengagendakan bertemu pelaku usaha yang tergabung dalam Perkumpulan Pengusaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo).
Institusi pengawas pelayanan publik itu akan memperdalam dugaan malaadministrasi dalam penerbitan surat persetujuan impor (SPI) bawang putih.
BACA JUGA: Proyek Ancol Bermasalah, Ombudsman Sarankan DPRD DKI Panggil 3 Pihak Ini
“Ombudsman akan bergerak cepat, gaspol. Semoga tiga bulan selesai. Kalau data-data yang diperlukan komplet, semoga bisa lebih cepat,” kata Komisioner Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam Alinea Forum “Tata Niaga Impor Bawang Putih: Adakah Pelanggaran Regulasi/Hukum?" pada Kamis (15/6/2023).
Yeka memastikan wajib tanam 5 persen dari kuota impor dan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang kewenangannya ada di Kementerian Pertanian adalah produk pelayanan publik.
BACA JUGA: KPPU Soroti Aturan Importir Bawang Putih, Jangan Sampai Pasokan Terguncang
Demikian pula, pengurusan SPI di Kementerian Perdagangan setelah mengantongi RIPH juga merupakan produk pelayanan publik.
Oleh karena itu, kata dia, jika Pusbarindo merasa dirugikan bisa segera melaporkan ke Ombudsman.
BACA JUGA: Harga Bawang Putih Makin Menggila, Ada Permainan Kuota Impor?
Secara khusus, dia meminta itu karena ini soal sensitif.
“Kami punya whistle blower system untuk merahasiakan, lapor dulu dengan membawa seluruh dokumen lengkap. Sampaikan keluhan dan kami akan bertindak profesional,” katanya.
Karut-marut bawang putih, kata Yeka, tidak hanya pada perizinan impor. Sengkarut bahkan sudah terjadi pada kebijakan wajib tanam bawang putih oleh importir. Pun begitu dengan penerbitan RIPH hingga berujung pada penerbitan SPI, juga bermasalah.
"Ini sudah sistemik, kalau ada 35 perusahaan dapat SPI 160 ribu ton, terus yang enggak dapat SPI harus ‘setor’ dulu, baunya sudah busuk sekali. Bahkan ada dugaan 35 perusahaan berafiliasi ke 5 pemilik. Ini jelas tak ada transparansi," katanya.
Ombudsman, kata Yeka, sudah menduga hal ini akan terjadi merujuk pada pergerakan harga bawang putih yang terus naik.
“Ini seiring kenaikan harga di pasar dunia satu bulan lalu, hampir US$ 1.300 per ton atau Rp 24.500/Kg sampai di Indonesia. Saya menduga praktik-praktik pungutan liar dalam bentuk fee impor ini yang jadi praktik buruk. Saya duga bawang putih dibuat mahal untuk bayar fee impor yang mahal, mulai dari wajib tanam, RIPH hingga SPI,” ungkapnya.
Dari telaah Ombudsman, urai Yeka, setidaknya ada 14 regulasi terkait bawang putih yang menimbulkan potensi ‘ruang gelap’ atau abu-abu yang mesti dibenahi.
Dia juga melihat ada sejumlah permasalahan dalam proses impor ini.
Pertama, SPI tidak diterbitkan setelah semua persyaratan sesuai dan dipenuhi. Ini menyalahi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan Dan Pengaturan Impor.
“Bisa penundaan berlarut atau penyimpangan prosedur," katanya.
Kedua, pemberian izin impor yang diskriminatif, ketiga pemberian persetujuan impor tidak transparan. Keempat, penanganan impor bawang putih masih dilakukan di border (perbatasan). Berikutnya, ketidakmampuan menjamin pasokan dan stabilisasi harga.
Penundaan Berlarut
Ketua Umum Pusbarindo Reinhart Antonius Batubara mengatakan penerbitan SPI yang kecil ini membuat pasokan bawang putih terbatas. Ini mengerek harga hingga mencapai 38 persen sejak awal tahun. Bawang putih juga jadi penyumbang inflasi.
Tahun ini, kata Antonius, kebutuhan bawang putih Indonesia sekitar 600 ribu ton.
“Yang kita tanda tanya, sampai Juni, (SPI) hanya dikeluarkan 160 ribu ton untuk 35 perusahaan. Padahal, ada 170 perusahaan. Berarti ada sisa 440 ribu ton. Semestinya, SPI yang dikeluarkan sekitar setengah dari kebutuhan," beber Anton .
Antonius menyoroti proses pengajuan impor yang tak transparan. Dia menjelaskan, pengajuan impor dilakukan November tahun lalu.
Perusahaan mengantongi RIPH pada Februari 2023. Namun, kata dia, Pusbarindo buta apakah perusahaan yang mengantongi RIPH pertama yang SPI-nya keluar. Atau yang meraih RIPH paling buncit yang mendapatkan SPI.
“Mesti transparan agar tak ada pikiran-pikiran negatif."
Sebelumnya, kata Antonius, lewat dashboard importir tahu perusahaan yang keluar SPI berikut kuotanya. Saat ini, informasi itu tak ada lagi.
Oleh karena itu, dia meminta Kemendag transparan dan terbuka saat menerbitkan SPI dan kuota impor.
Pusbarindo menduga terjadi malaadministrasi terhadap Permendag Nomor 25 Tahun 2022.
Di Pasal 8 ayat 1 beleid ini disebutkan, apabila persyaratan sudah terpenuhi SPI terbit maksimal dalam lima hari kerja. Jika lima hari belum juga terbit, SPI diterbitkan otomatis. Namun, kata Antonius, itu tak pernah dipatuhi. Bahkan, pihaknya berulangkali mengirim surat ke Kemendag menanyakan keterlambatan itu.
“Ada 3-4 kirim surat, sampai sekarang belum ada jawaban," kata Antonius.
"Ada istilah tebang pilih, siapa yang bisa keluar atau tidak. Kita dapat laporan baik dari anggota Pusbarindo atau non-anggota, ada penawaran-penawaran, misalnya apabila SPI mau dikeluarkan harus bayar sekian, misal Rp3.000-4.000 per kilogram. Ini sedikit mengganggu dan akan berimbas pada inflasi," paparnya.
Selain ada ketidakpastian hukum, kata dia, ada kerugian materiil bagi pengusaha. Bahkan, kata dia, hal ini mengancam stabilitas perusahaan dan bisa berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan atau gagal bayar utang di perbankan.
Dia mengusulkan di tahun depan Kemendag agar memverifikasi perusahaan-perusahaan yang mendaftarkan izin impor bawang putih. Termasuk menelisik siapa pemilik perusahaan, asal modal, dan lainnya.
Pasalnya, kata dia, importir bawang putih selalu berganti setiap tahunnya. "Ini untuk menghindari wajib tanam," kata dia.
Intervensi Penetapan Kuota
Tenaga Ahli Stranas Pencegahan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Frida Rustiani mengungkapkan adanya fakta ada intervensi dalam tata niaga impor bawang putih. Intervensi terjadi saat penetapan kuota dibahas di eksekutif.
Misalnya, pejabat setingkat menteri menyebut angka kuota impor, angka ini kemudian disetujui rapat.
“Karena itu, kami meminta, khususnya di hulu di Kementan alirkan data produksi berapa, stok berapa, termasuk BPS (Badan Pusat Statistik) untuk menyampaikan data diperbandingkan berapa stok, sehingga ada pembanding dan hitungan kuota impor jadi lebih jelas karena melihat satu dashboard yang sama," kata Frida.
Frida menjelaskan secara khusus pihaknya telah mengamati para importir bawang putih. Termasuk beneficial ownernya. Menurutnya, data importir ada ketidakwajaran.
Importir tahun 2019, jelas Frida, tidak lagi mengimpor pada tahun berikutnya.
"Importir-importir ini siapa sih? Apakah kalau 2-3 perusahaan dapat kuota impor dan pemiliknya satu, apakah melanggar aturan? Saya enggak tahu. Saya juga curiga, ada fenomena satu rumah tujuh pintu. Satu kebun bawang putih diklaim oleh beberapa perusahaan. Artinya produksi lokal untuk memenuhi domestic market obligation yang 25 persen itu juga hampir atau terancam enggak terpenuhi," kata Frida.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari