jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah meminta pelemahan rupiah yang terjadi sekarang ini jangan disamakan dengan situasi ketika krisis moneter pada 1998. Diketahui, saat ini kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sudah menyentuh Rp 14.900/USD.
Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, usai mengikuti rapat internal dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (4/9).
BACA JUGA: Darmin Tak Mau Ada Gerakan Cinta Rupiah
"Begini deh, jangan dibandingkan 14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. 20 tahun lalu berangkatnya dari Rp 2.800 ke Rp 14 ribu. Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu. Tahun 2014, dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu ribu," ucap Darmin.
Dia juga menyoroti adanya artikel di salah satu media internasional yang membandingkan demikian. Mereka menulis bahwa pelemahan rupiah sekarang menembus angka terendah sejak 1998/1999.
BACA JUGA: Tiap 10 Tahun di Lubang yang Sama
"Eh, persoalan tahun 1998 itu enam kali lipat itu (dari sekarang). Jangan kemudian (ditanya) apa kebijakan (pemerintah) itu masih efektif? Nah itu kan bencana banget pandangannya," tegas Darnin.
Karena itu, dia menekankan bahwa kebijakan yang ditempuh pemerintah masih efektif. Apalagi fundamental ekonomi nasional masih baik. Meskipun diakuinya ada kelemahan karena terjadi defisit transaksi berjalan. Namun, kondisinya masih lebih kecil dibandingkan dengan Brasil, Turki, Argentina.
BACA JUGA: Jangan Takut Beli Ikat Pinggang
"Coba yang lain, inflasi. Di Argentina berapa? Sekarang 30 persenan, setahun yang lalu 60. Kita gimana? Malah deflasi. Pertumbuhan, oke kita lima koma. Dilihat dari sudut mana pun," ucap dia.
Pihaknya menerangkan bahwa defisit transaksi berjalan yang terjadi bukan penyakit baru. Sejak 40 tahun yang lalu transaksi berjalan ini selalu defisit.
"Memang ini (sekarang) agak besar, tapi enggak setinggi 2014, tahun 1994-1995, tidak setinggi 1984. Tolong membacanya, membandingkannya yang fair," pintanya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Langkah BI Dinilai Hanya Mencegah Kepanikan
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam