OMS Menyerukan Urgensi Kolaborasi di Tengah Ruang Sipil yang Makin Sempit

Kamis, 26 September 2024 – 13:54 WIB
Konferensi pers ICSF Nasional 2024. Narasumber dari kiri ke kanan: Tunggal Pawestri (Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial), Fransisca Fitri (Direktur Eksekutif YAPPIKA), Lusty Ro Manna Malau (Pendiri Perempuan Hari Ini), Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia). Foto: supplied

jpnn.com, JAKARTA - Demokrasi dan penyempitan ruang sipil di Indonesia makin memburuk.

Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks kebebasan sipil Indonesia pada tahun 2023 turun signifikan menjadi 5,29 dari indeks 6,18 pada tahun 2022.

BACA JUGA: Sebanyak 66 Organisasi Masyarakat Sipil Berencana Gelar Aksi Kepung DPR

Peringkat kebebasan pers Indonesia juga turun 11 peringkat ke peringkat 108 dari 180 negara.

Merespons hal tersebut, lebih dari 300 perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) melakukan konsolidasi akbar dalam gelaran Indonesia Civil Society Forum (ICSF) pada 25-26 September 2024 di Jakarta.

BACA JUGA: Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Desak DPR Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Salah satu indikator dari penyempitan ruang sipil adalah banyaknya represi terhadap ruang gerak masyarakat sipil.

Pendiri Perempuan Hari Ini Lusty Ro Manna Malau menceritakan pengalamannya ketika menerima kekerasan dan intimidasi akibat kerja advokasi yang dilakukan masyarakat sipil.

BACA JUGA: Mahasiswi Unsoed Jadi Korban Eksploitasi Seksual

“Beberapa organisasi di Medan pernah mendapat serangan bom molotov pascamembahas revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi serta UU Cipta Kerja,” ujar Lusty.

Lusty menambahkan kekerasan lain yang dialami oleh OMS di Medan adalah peretasan gawai, pembatasan ekspresi bagi perempuan dan minoritas gender melalui Peraturan Daerah (Perda).

“Sebaiknya pemerintah bisa fokus pada implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan mendukung pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta RUU Masyarakat Adat saja,” tambahnya.

Kondisi demokrasi Indonesia yang darurat ini perlu ditanggapi secara kolektif dan serius oleh para OMS.

Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) Tunggal Pawestri mengatakan ada urgensi untuk memastikan aktivasi dan keberlanjutan kerja kerja kolektif gerakan masyarakat sipil yang terkonsolidasi dalam menghadapi kondisi ringkihnya demokrasi Indonesia saat ini.

Menurut Tunggal, pemerintah kerap berbicara soal inklusivitas dan partisipasi yang bermakna, yang menjadi prasyarat demokrasi, tetapi, hal tersebut justru tidak muncul pada praktik demokrasi di lapangan saat ini.

"Maka dari itu, gerakan rakyat seperti “Peringatan Darurat” untuk menolak revisi UU Pilkada menjadi penting," katanya.

Gerakan yang baru-baru ini mencuat dan mengundang dukungan publik dari berbagai lapisan dan kalangan ini menjadi pengingat bahwa gerakan masyarakat sipil harus terus bekerja keras, dipupuk dan dikuatkan, agar semakin berdampak untuk demokrasi yang lebih kuat bagi sebuah negara.

Isu-isu tersebut menjadi bahasan ICSF Nasional tahun ini.

Selain itu, OMS juga melakukan refleksi atas kontribusi pada pembangunan Indonesia serta berdiskusi mengenai berbagai skenario masa depan menggunakan kerangka dari CIVICUS, sebuah lembaga nirlaba internasional yang fokus pada penguatan kelompok masyarakat sipil.

Ada empat skenario yang didiskusikan, yaitu status quo, skenario optimis, skenario pesimis, dan skenario transformasi.

Direktur YAPPIKA Fransisca Fitri menekankan pentingnya refleksi dan diskusi skenario masa depan untuk mempersiapkan OMS dalam menghadapi kemungkinan situasi yang mempengaruhi demokrasi dan pembangunan bangsa.

“Selama ini OMS sudah berupaya untuk bekerja dan berkontribusi menjaga demokrasi dan memperjuangkan hak kelompok minoritas dan rentan. Melalui diskusi refleksi dan skenario masa depan kita bisa melihat kembali kontribusi dan keunggulan masing-masing OMS dalam memperkuat demokrasi,” ujar Fransisca.

Fransisca menyayangkan bagaimana OMS banyak didiskreditkan via media sosial.

OMS kerap dituduh berlawanan dengan pemerintah, anti-pembangunan, ataupun antek asing. Padahal, kritik yang disampaikan oleh OMS bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Selain itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan Indonesia saat ini mengalami situasi darurat konstitusi akibat upaya penggelembungan kekuasaan (executive aggrandisement) yang berdampak besar pada kebebasan ruang sipil.

“Fenomena ini terjadi melalui penggunaan hukum dan aparatnya sebagai senjata untuk menghadapi kritik. Padahal kritik itu perlu guna memastikan sistem checks and balances berfungsi baik. Negara harus menjamin aktor masyarakat sipil aktif memberi saran, kritik dan masukan ke pemerintah dan swasta, sekaligus menawarkan ruang dialog konstruktif dalam memastikan demokrasi membawa manfaat bagi hak asasi, keadilan sosial, dan lingkungan hidup yang sehat,” kata Usman. (rhs/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Motif Congkel Mata di Bogor Ternyata Gara-gara Ini, Mengerikan


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler