jpnn.com - PADA zaman dahulu kala, Sumatera dikenal sebagai Suvarnadvipa atau pulau emas. Apa cerita?
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Hollywoodnya Jakarta! Senarai Kisah Masa Lalu Lokasari
"Hampir di seluruh pelabuhan di Sumatera terdapat emas," tulis Tome Pires (1468-1540) dalam catatan hariannya yang kemudian diterbitkan jadi buku berjudul Suma Oriental.
Tome Pires seorang pelaut Portugis. Dia berlayar ke Sumatera pada abad 16--sebelum kolonialisme Barat berkecambah subur di negeri ini. Buku Suma Oriental yang ditulisnya banyak dirujuk para ahli sejarah.
BACA JUGA: Masa Lampau Pantai Barat hingga Pantai Timur Sumatera...Poros Maritim Dunia?
Menurut Pires, emas-emas tersebut berasal dari tambang-tambang Minangkabau. Dan paling banyak beredar di tiga pelabuhan di pantai barat. Yakni, Barus, Tiku dan Pariaman.
Tak ayal jika sejarawan terkemuka Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe menulis, "raja-raja Minangkabau di Pagaruyung memiliki kharisma kuat bagi masyarakat pesisir hampir di seluruh Pulau Sumatera pada abad 17 dan 18."
BACA JUGA: Bagi Bung Karno, ini Bukan Sembarang Lukisan
Padahal, sambung Reid, identitas dan keberadaan raja-raja tersebut misterius. Karena penasaran, pada 1683, Gubernur Belanda untuk Melaka Cornelis van Quelberg mengutus Thomas Dias ke hulu Sungai Siak mencoba menjalin hubungan dengan Raja Minangkabau.
"Tujuannya agar Belanda dapat berdagang secara langsung dengan penyedia emas, lada, dan timah Minangkabau," tulis Reid.
Jumpa Raja Minangkabau
Thomas Diaz, sang utusan VOC menuliskan pengalamannya saat jumpa Raja Minangkabau. Catatan itu termuat dalam naskah F. de Haan; Naar Midden Sumatra in 1684--Tijdschrift voor Indische Taal--Land en Volkenkunde, Vol. 39 (1897).
Berikut ini kami cuplikan suasananya…
Setelah menempuh perjalanan jauh, rombongan Diaz berhenti pada jarak 6,5 kilometer dari Pagaruyung.
Sembari berehat, sembilan orang diutus untuk mengabarkan kedatangan mereka. Sekaligus menanyakan apakah Raja Minangkabau bersedia menerima dan mengizinkan mereka masuk kota.
"Tidak lama kemudian, sang raja mengutus seorang Raja Melayu, dikawal oleh 500 orang yang memegang panji-panji kuning," kenang Diaz.
Dua hari berikutnya, merujuk catatan Diaz, barulah dia bisa masuk Pagaruyung setelah dua orang putera raja datang mengambil surat dan hadiah dari Gubernur Belanda di Melaka.
"Mereka diiringi sekitar empat ribu rombongan kerajaan yang membawa alat musik, senapan lontak, payung yang sarat emas, dan tanda-tanda kemegahan kerajaan lainnya seperti baki emas untuk menerima surat dan baki perak untuk menerima hadiah," tulisnya.
Rombongan itu mengiringi Thomas Diaz bertemu Raja Minangkabau. "Raja membaca surat-surat gubernur. Sambil membaca, ia menawarkan daun sirih yang ditaruh di baki perak besar."
Beberapa hari berikutnya Thomas Diaz mengaku kembali jumpa Raja Minangkabau. Kali ini, "Raja Melayu datang dengan dikawal 12 orang yang membawa panji-panji kerajaan. Ia memberitahu saya bahwa raja memanggil saya untuk datang ke Istana."
Oiya, dalam catatannya Diaz juga menggambarkan suasana menjelang masuk Istana.
"Di gerbang pertama, saya melihat 100 orang yang masing-masing memegang pistol. Di gerbang kedua saya melihat empat orang dan di gerbang ketiga, tiga orang. Semuanya dalam sikap serupa dengan orang-orang di gerbang pertama," paparnya.
Dalam pertemuan kedua ini, utusan VOC itu pandai pula menghatur sembah dan mencium kaki raja. Padahal ini tak lazim dilakukan orang Eropa.
Nah, pembaca yang budiman…Pendek kisah, untuk yang pertamakali, Raja Minangkabau akhirnya bersedia membuka hubungan dengan VOC. Bibit kolonialisme pun bersemi.
Keberhasilan utusan VOC itu bukan hanya lantaran diplomasi persembahan dan jurus cium kaki. Ternyata, Thomas Diaz…--bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Relief Candi Borobudur dan Rahasia Para Penemu Benua Amerika
Redaktur : Tim Redaksi