jpnn.com - Oposisi telah mati, kata Fahri Hamzah. Dia menyindir mantan partainya, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), yang dianggapnya sudah tidak lagi bisa memerankan diri sebagai partai oposisi sepeninggalannya.
Semasa masih menjadi anggota dewan Fahri sangat terkenal dengan duetnya bersama Fadli Zon dari Gerindra, yang sangat aktif mengkritik berbagai macam kebijakan pemerintah.
BACA JUGA: Fahri Hamzah Sebut Oposisi Mati Gaya, Presiden PKS Merespons Begini
Dua orang ini kompak, saling mengisi, dan punya 'chemistry' yang kuat. Dua orang ini pun dijuluki sebagai ‘’ganda putra’’ Senayan.
Kini Fahri sudah tidak ada lagi di Senayan. Tinggallah Fadli terisolasi sendirian menjadi pemain tunggal putra. Fadli bermain sendiri tanpa dukungan Partai Gerindra yang secara resmi menjadi bagian dari koalisi pendukung Jokowi.
BACA JUGA: Sebut Oposisi Penakut, Fahri Hamzah Dinilai Mengkritik Diri Sendiri
PKS masih betah bermain di luar koalisi, tetapi tanpa Fahri PKS seperi tim bola voli yang tidak punya spiker, tukang smes yang andal.
Selama ini Fahri terkenal sebagai jago smes serbabisa dan serbaguna. Bola pendek, bola tinggi, bola tanggung, semua dia lalap dengan smes keras.
BACA JUGA: Puan Maharani, Jarang Bicara, Tetapi Viral
Sepeninggalan Fahri PKS sepi. Oposisi pun sepi dan senyap. Suara dari PKS nyaris tidak terdengar. Kalau pun terdengar hanya lamat-lamat saja. Kalau pun terdengar tidak digubris oleh pimpinan sidang. Kalau pun oposisi ada, tetapi keberadaannya dianggap tidak ada oleh pimpinan sidang. Interupsi dibaikan dan palu tetap diketok tanda keputusan sah.
Oposisi mati dan DPR menjadi sunyi, hening senyap disergap spiral keheningan.
Inilah fenomena ‘’spiral of silence’’ yang ditengarai oleh ilmuwan politik Jerman Elisabeth Noelle-Neumann. Sebuah kelompok sosial yang mayoritas akan mengeksklusi dan mengisolasi kelompok minoritas karena opininya yang berbeda.
Dalam teori spiral of silence, lingkaran keheningan terjadi karena kelompok mayoritas tidak menghendaki adanya suara yang berbeda. Semua harus satu suara, satu opini. Suara yang berbeda akan diisolasi dan dieksklusi.
Suara yang beda adalah dissent yang dianggap sebagai suara sumbang. Suara yang berbeda bukan bagian dari kita, dan karena itu harus dibungkam. Suara yang berbeda adalah ‘’the others’’ atau liyan yang bukan bagian dari kita.
Menurut Noelle-Neumann, manusia secara alamiah takut akan eksklusi dan isolasi. Manusia secara alamiah tidak ingin menjadi liyan. Karena itu, sanksi sosial berupa eksklusi dan isolasi akan menjadi ancaman.
Karena itu, manusia secara manusiawi lebih nyaman dan aman menjadi bagian dari society supaya terhindar dari isolasi.
Karena itu kemudian individu harus menyesuaikan diri dengan suara mayoritas dalam masyarakat. Individu harus menjadi bagian dari masyarakat dengan melakukan konformitas. Hak-hak individu harus direlakan untuk lebur menjadi satu dalam hak kolektif.
Hak kolektif ini kemudian diklaim oleh negara sebagai hak warga negara yang diwakili oleh sebuah rezim pemerintahan. Rezim ini mengaku sebagai rezim demokratis dengan berbagai variannya.
Ada yang menyebut sebagai Demokrasi Pancasila, Demokrasi Terpimpin, atau varian demokrasi lainnya. Bahkan sebuah negara komunis seperti Korea Utara pun menyebut diri sebagai ‘’Republik Demokratik Korea Utara’’.
Hak-hak individu yang ditelan oleh kolektivitas akan melahirkan fasisme. Hak kolektif lebih dikedepankan daripada hak individual. Kepentingan negara—apa pun itu definisinya—harus diutamakan ketimbang kepentingan individu.
Fasisme telah melahirkan pemimpin otoriter dan haus perang seperti Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, dan rezim Jepang Teno Haika semasa perang dunia kedua.
Rezim fasisme muncul bukan karena dukungan mayoritas. Rezim fasisme berkuasa karena opini masyarakat hilang ditelan ‘’spiral keheningan’’.
Hitler hanya didukung oleh sekelompok kecil utra-nasionalis. Mussolini berbaris memasuki Kota Roma dengan segerombolan pendukung kecilnya yang berpakaian serbahitam. Partai Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin hanya beranggotakan ratusan buruh saja.
Namun, mereka bisa merebut kekuasaan karena ‘’spiral of silence’’, suara oposisi dibuat sunyi dan diberangus sampai benar-benar habis. Yang lahir kemudian pemerintahan diktator yang mengeklaim mendapatkan dukungan kolektif rakyat. Suara yang menentang akan diisolasi dan dieksekusi.
Ketakutan terhadap isolasi dan eksekusi menyebabkan seseorang memilih melakukan konformitas, penyesuaian diri, ketimbang harus menjadi liyan. Lebih baik diam daripada menyuarakan opini yang berbeda. Satu orang diam, kemudian diikuti oleh lainnya dan kemudian lainnya lagi.
Diam menjadi lingkaran spiral yang menyedot semakin banyak orang kedalamnya menjadi spiral keheningan.
DPR sebagai rumah rakyat seharusnya ramai dengan perdebatan. Sebagai rumah rakyat wajar kalau DPR riuh rendah oleh berbagai macam perdebatan. Namun, adegan yang terjadi dalam sidang paripurna penetapan panglima TNI (8/11) menunjukkan bahwa DPR lebih suka menjadi rumah diam yang tenang dan seragam, tanpa ada suara liyan yang bisa bikin gaduh.
Anggota dewan yang melakukan interupsi diabaikan dan bahkan dilabrak dan dituding-tuding sampai kemudian sang anggota dewan meminta maaf. Tirani mayoritas sedang dipertunjukkan di depan rakyat. Suara oposisi yang minoritas akan makin hilang, dan DPR akan larut ditelan spiral keheningan.
DPR adalah the last bastion of democracy, benteng terakhir demokrasi. Di situlah para wakil rakyat berdiskusi dan berdebat secara demokratis dan saling menghormati. Di situlah para wakil rakyat memperdebatkan berbagai hal sebelum menjadi keputusan yang disepakati secara bulat atau lonjong.
Demokrasi bukan aklamasi. Kesepakatan tidak harus dicapai secara bulat. Kesepakatan secara lonjong pun tidak menjadi masalah, asal sudah melewati adu pendapat dan adu gagasan yang sehat. Tidak ada tirani mayoritas, tetapi jangan pula ada tirani minoritas.
Demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia punya prinsip 50 persen plus satu. Kalau perdebatan mentok menjadi deadlock sudah ada mekanisme voting sebagai jalan terakhir untuk mengambil keputusan. Hasil voting harus diterima sebagai keputusan bersama.
Sepakat untuk tidak sepakat, ‘’agree to disagree’’. Itulah gunanya voting, dan itulah mekanisme demokrasi. Anda memegang palu bukan untuk memukul siapa saja. Palu dipakai untuk mengatur law and order, menata aturan dan ketertiban.
Orang yang memegang palu akan melihat semua yang ada di depannya seperti paku. Orang yang pegang palu tidak ingin melihat ada paku yang paling menonjol. Paku yang paling menonjol akan jadi korban pertama ketokan palu. Sang pemegang palu akan menggetok semua paku supaya menjadi rata dan rapi.
Demokrasi memang jalan yang membosankan dan melelahkan. Secara alamiah manusia lahir untuk berdebat. Ada yang berdebat secara ilmiah, tetapi ada juga yang berdebat seperti kusir delman yang kudanya hanya bisa melihat satu arah ke depan. Itulah sebabnya mengapa warung kopi selalu ramai, karena di situ orang bebas untuk berdebat.
Warung kopi menjadi sumber tradisi demokrasi. Filosof Jerman Jurgen Habermas melihat obrolan di warung kopi di abad ke-18 sebagai fenomena munculnya ‘’ruang publik’’ atau public spehere.
Menurut Habermas, public sphere adalah realitas sosial yang melibatkan proses pertukaran informasi mengenai berbagai pandangan berkenaan dengan pokok persoalan yang tengah menjadi perbincangan umum, hingga terciptalah pendapat umum, public opinion, atau opini publik.
Dengan adanya pendapat umum, publik mampu membentuk kebijakan negara sekaligus membentuk suatu tatanan masyarakat secara keseluruhan.
Adanya public sphere menunjukkan keaktifan dari masyarakat dengan memanfaatkan hak-haknya untuk ikut berpikir dan terlibat di dalam suatu wacana yang sedang hangat, khususnya berkaitan dengan permasalahan politik.
Dalam perkembangan masyarakat yang makin maju, maka proses terbentuknya wacana menuju opini publik memerlukan perantara media massa. Dalam tatanan politik formal, konsep public sphere diejawantahkan melalui sistem perwakilan di parlemen.
Karena itu, wajar kalau di parlemen terjadi debat sebagaimana di warung kopi, karena para wakil rakyat itu sedang melakukan praktik debat rakyat melalui forum parlemen. Itulah inti dari demokrasi modern.
The long and winding road, kata John Lenon. Jalan yang panjang dan berliku dan sering licin. Itulah jalan demokrasi.
Jangan pilih demokrasi kalau tidak sabar mendengarkan perdebatan. Pilihlah fasisme yang lebih praktis dan tidak bertele-tele. Tinggal matikan mik dan ketok palu. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror