jpnn.com, JAKARTA - Krisis keuangan, pangan, dan energi global yang terjadi saat ini, ditambah tekanan inflasi menjadikan dunia dibayangi ancaman resesi.
Dengan kondisi tersebut, sejumlah lembaga keuangan internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 berada pada kisaran 2,3-2,9 persen.
BACA JUGA: Tak Perlu Terlalu Cemas soal Resesi Ekonomi, Simak Penjelasan Pakar
Proyeksi mengalami penurunan dibandingkan pertumbuhan ekonomi dunia untuk 2022 yang berada pada kisaran 2,8-3,2 persen.
Asian Development Bank (ADB) pada September lalu juga telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 dari 5,2 persen menjadi 5 persen.
BACA JUGA: Jokowi Diyakini Mampu Membentengi Indonesia dari Resesi
Namun, ADB masih optimistis dengan kinerja perekonomian Indonesia karena pemulihan ekonomi dalam negeri masih berada pada jalurnya.
Mempertimbangkan hal tersebut, portal berita ipol.id, menggelar diskusi dan seminar singkat bertema “Resiliensi Ekonomi Nasional di Tengah Ancaman Resesi Global”.
BACA JUGA: Beredar Video Penangkapan Gibran, KPK Bilang Begini
Diadakan di Tamarin Hotel Jakarta, diskusi menghadirkan sejumlah pembicara yang berkompeten atas bidangnya masing-masing.
"Resiliensi ekonomi dan optimisme serta kewaspadaan tersebut perlu digaungkan agar masyarakat bisa lebih paham dan mampu mengambil langkah-langkah antisipasi,” kata Direktur IPOL.ID M Solihin di sela-sela seminar, Rabu (25/2).
Menurut dia, peran pers penting sebagai penguat amplifier kebijakan yang akan dikeluarkan baik oleh pemerintah, lembaga dan LSM agar perekonomian Indonesia bisa bertahan, pulih dan bahkan bangkit dari situasi yang serba-tak pasti ini.
Narasumber yang hadir sebagai pembicara adalah Staf Ahli bidang Pembangunan Daerah pada Kemenko Perekonomian Ferry Irawan, Ekonom Ahli Grup Perumusan & Implementasi, Kebijakan Ekonomi Keuangan Daerah (KEKDA) pada Kantor Wilayah BI Provinsi DKI Jakarta Muhamad Shiroth, dan Center of Macroeconomic and Finance INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) M Rizal Taufikurahman.
Pada kesempatan yang sama, ipol.id juga bermaksud menggelar kegiatan uji kompetensi wartawan yang melibatkan media massa dan bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
“Tujuannya dalam rangka meningkatkan literasi terkait perekonomian nasional, sekaligus meningkatkan kapasitas SDM pers, maka kami menggelar rangkaian acara ini,” kata M Solihin.
Dalam diskusi, Rizal Taufikurahman memprediksi resesi ekonomi global akan benar-benar terjadi pada 2023.
Bahkan, akan berimbas pada banyak negara, tak terkecuali negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
“Saya kira Indonesia tahun ini secara global memang kondisi ekonominya gelap. Namun, gelap dalam konteks bukan gelap gulita, tetapi memang berat untuk menghadapi perekonomian sekarang,” ujar Rizal.
Meski begitu, resesi ekonomi global tidak begitu berdampak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Dia pun mengutip pernyataan RA Kartini, bahwa “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
“Nah, Indonesia (diprediksi) salah satu negara yang mendapatkan windfall profit (selama resesi ekonomi global). Dengan kondisi ini, masih adalah secercah harapan Indonesia ke depan,” tuturnya.
Apalagi, sambung dia, Indonesia telah mendapatkan keuntungan dari berbagai penyebab resesi ekonomi global, seperti pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina hingga perang dagang antar negara raksasa, China dan Amerika.
“Jadi, pasca-Covid kita bukan negara yang kemudian tidak mendapatkan apa-apa. Ini mendapatkan untung. Dengan krisis energi dan pangan, Indonesia diuntungkan,” tegasnya.
Berdasarkan pengamatannya, Indonesia telah mengalami surplus pendapatan nasional pada 2021.
“Sudah 11 tahun (Indonesia) enggak pernah untung. Tetapi, tahun 2021, 103 persen dari target realisasi telah dicapai. Kemudian di 2022, dimungkinkan positif, artinya di atas 100 persen lagi,” tandas Taufiq.
Sementara itu, Muhamad Shiroth mengungkapkan tiga cara yang dilakukan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi di Jakarta. Cara ini dilakukan untuk merespon bauran kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi baik secara internal, seperti tingkat inflasi kembali ke sasaran 3±1 persen serta defisit fiskal lebih rendah dari 3 persen PDB.
“Koordinasi dan sinergi bersama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan berbagai pemangku kepentingan dalam rangka pengendalian inflasi, mendorong pemulihan ekonomi, serta digitalisasi dan keuangan inklusif,” papar Shiroth.
Guna mempercepat pemulihan ekonomi misalnya, Shiroth menyebutkan Pemprov DKI Jakarta terus mendorong peningkatan investasi melalui Jakarta Investment Forum dan promosi proyek-proyek potensial di luar negeri yang bekerja sama dengan kedutaan besar negara sahabat.
“Salah satunya yang saya ikuti tahun lalu adalah promosi terkait proyek Transit Oriented Development (TOD) bersama PT MRT Jakarta yang mendapat sambutan positif dari pengusaha-pengusaha di Jepang. Ini juga tindak lanjut dari kunjungan Presiden dan Kementerian Perhubungan,” kata Shiroth.
Meski bukan daerah produsen, tegasnya, Jakarta mampu menjaga inflasi dengan baik. Bahkan, kontribusi Jakarta untuk komposisi share inflasi nasional mencapai 25 persen.
Inflasi DKI Jakarta pada bulan Desember 2022 cukup baik, hanya 0,55 persen (mtm). Sehingga, kata Shiroth, tingkat inflasi di ibu kota keseluruhan tahun 2022 tercatat sebesar 4,21 persen (yoy).
Rangkaian kegiatan ini juga didukukung oleh Pegadaian, Bank Indonesia Kantor Perwakilan Wilayah Provinsi DKI Jakarta, Sharp, Tamarin Hotel Jakarta, PAM Jaya, PD PasarJaya, dan Swiss Belhotel Internasional. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapal Wisata Tenggelam di Labuan Bajo, Tim SAR Masih Evakuasi Penumpang
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti