jpnn.com, JAKARTA - Kepala Divisi Hukum SKK Migas Didik Sasono Setyadi meyakini Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) membantu memenuhi target lifting 1 juta barel per hari.
Namun, untuk dapat mencapai target tersebut, Didik menyebut SKK Migas butuh dukungan dari sejumlah pihak.
BACA JUGA: Kejar Target Produksi Migas, SKK Migas Bakal Gelar IOG 2021
"Yaitu perizinan dipermudah, fiskal term juga lebih menarik. Kebetulan, yang terkait dengan perizinan, yang terkait dengan fiskal term atau hitung-hitungan bagi hasil, itu yang menentukan bukan SKK Migas sendiri,” ujar Didik.
Dia menyatakan pandangannya pada Focus Group Discussion ‘Masa Depan Industri Hulu Migas di Indonesia dalam menghadapi Transisi Energi’ yang digelar Pandawa Nusantara di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (7/12).
BACA JUGA: Moeldoko Temui Kardinal Ignatius Suharyo, Jaringan Mubalig Berkomentar Begini
Menurut Didik, kebutuhan migas dalam negeri akan makin besar.
Dia menilai, ketika SKK Migas hanya mengikuti produksi secara natural yang mengalami penurunan tanpa melakukan upaya-upaya luar biasa, maka untuk bisa mengisi kebutuhan energi dari migas pada 2030 atau 2050 mendatang pasti akan makin kesulitan.
BACA JUGA: Elektabilitas AHY Terus Meningkat, Begini Penjelasannya
“Artinya, impor akan makin besar. Karena itu ketika menetapkan target 1 juta barel per hari, ya apakah target itu terlalu tinggi, saya kira memang kebutuhan ke depan memang seperti itu, dan itulah yang mengharuskan untuk berani mencapai target yang sedemikian,” katanya.
Didik berharap RUU Migas yang baru dapat memperkuat peran serta fungsi SKK Migas ke depan.
“Persoalan hulu migas ini sistemik, kelembagaan SKK Migas itu jadi bagian yang akan diselesaikan. Kalau semua sepakat hulu migas vital, maka lembaga yang dibentuk ini harus lembaga yang mempunyai kekuatan yang cukup,” katanya.
Didik lebih lanjut mengatakan, investor yang ingin berinvestasi di sektor industri migas harus ikut tender terlebih dahulu di Kementerian ESDM.
Kemudian, terkait kebijakan fiskal yang menentukan adalah Kementerian Keuangan. Sementara terkait perizinan, yang menentukan adalah lembaga atau instansi terkait lain.
“Untuk investasi itu harus urusan dengan berbagai kewenangan kelembagaan sehingga orang bingung. Kenapa tidak satu pintu seluruh urusan? Dalam kewenangan kelembagaan cukup berhubungan dengan satu lembaga,” katanya.
DPR RI sebelumnya menargetkan revisi RUU Migas terealisasi akhir 2022.
Revisi beleid ini akan dikejar bersamaan dengan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT).
RUU Migas sebelumnya tercatat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2018.
Namun, RUU itu terbengkalai hingga sekarang. Komisi VII DPR melihat pandemi COVID-19 menjadi penyebab revisi UU Migas belum dilanjutkan pembahasannya.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang