Orang Dekat Akil Didakwa Halangi Penyidikan KPK

Kamis, 20 November 2014 – 18:24 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Muhtar Ependy, pria yang disebut-sebut sebagai orang dekat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, mulai duduk di kursi terdakwa. Pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/11), Muhtar didakwa telah sengaja merintangi penyidikan yang sedang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Akil Mochtar saat masih menjadi tersangka tindak pidana korupsi dan pidana pencucian uang atas nama tersangka Akil Mochtar.

Mengacu pada surat dakwaan, Muhtar mempengaruhi Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito dan Srino untuk memberikan keterangan tidak benar. Muhtar juga mempengaruhi Iwan Sutaryadi, Rika Fatmawati, dan Risna Hasrilianti sebagai saksi untuk mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP), serta memberikan keterangan palsu.

BACA JUGA: Prasetyo Janjikan Reformasi Internal Kejagung

"Terdakwa sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi," kata jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK, Rini Triningsih saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (20/11).

Jaksa Rini menguraikan, KPK pada bulan Oktober 2013 melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama Akil. Dalam perkara itu, penyidik memeriksa Muhtar, Masyito, Romi, Srino, Iwan, Rika dan Risna sebagai saksi.

BACA JUGA: Tjahjo Siapkan Pengacara untuk Anak Buah Tersangka Korupsi e-KTP

Sekitar akhir bulan Oktober 2013, Muhtar melalui telepon meminta Masyito memberikan keterangan yang tak sesuai fakta jika diperiksa KPK. Yakni meminta Masyito mengaku tak pernah mengenal Muhtar maupun datang ke Bank Kalbar cabang Jakarta untuk penyerahan uang. Selain itu, Muhtar juga meminta Masyito menyampaikan  hal yang sama ke Romi.

Sedangkan pad abulan November 2013, Muhtar memnujuk Srino agar pada saat diperiksa di hadapan penyidik KPK untuk memalsukan keterangan. Yakni meminta Srino mengaku tidak pernah mengantarkan Muhtar ke rumah Akil di Kompleks Liga Mas Pancoran Jakarta Selatan.

BACA JUGA: Indikasi Jokowi Gunakan Hukum sebagai Alat Penguasa

"Khususnya, pada saat terdakwa (Muhtar, red) membawa uang tunai dalam bentuk mata uang dolar Amerika yang diambilnya dari Kantor Bank Kalbar PT BPD Kalbar Cabang Jakarta," ucap Jaksa Rini.

Pada tanggal 11 November 2013, Srino memberikan keterangan di hadapan penyidik KPK. Saat itu, Srino menyampaikan pernah mengantar Muhtar ke rumah Akil di Kompleks Liga Mas Pancoran Kalibata dengan membawa kotak baju atau kemeja atau batik untuk diberikan kepada Akil. "Dan bukan membawa uang," ujar Jaksa Rini.

Padahal, pada tanggal 18 Mei 2013, Srino pernah mengantar Muhtar ke Bank Kalbar PT BPD Kalbar Cabang Jakarta di daerah Mangga Dua untuk mengambil uang tunai dalam bentuk dollar Amerika setara Rp 3 miliar. Uang itu kemudian dibawa ke rumah Akil di kompleks Liga Mas Pancoran dengan menggunakan mobil Honda Jazz.

Sedangkan Masyto dan Romi saat diperiksa KPK pada  5 Desember 2013, mengaku tak mengenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Muhtar. Romi dan Masyto juga mengaku tidak pernah datang ke Bank Kalbar dan menegaskan tidak pernah ada penyerahan uang di bank daerah milik Pemprov Kalbar itu terkait pengurusan sengketa Pilkada Kota Palembang.

Padahal, Masyito sudah mengenal Muhtar sejak akhir tahun 2012. Saat itu, Muhtar mendatangi rumah Masyito.

Berdasarkan keterangaan Iwan, Rika, Risna dan Nur Affandi, Muhtar dan Masyito pada bulan Mei 2013 pernah datang ke kantor Bank Kalbar PT BPD Kalbar Cabang Jakarta terkait penyerahan uang untuk pengurusan permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kota Palembang tahun 2013 di Mahkamah Konstitusi RI.

Jaksa Rini mengungkapkan, sekitar bulan Februari atau Maret 2014, Muhtar menyuruh istrinya Lia Tirtasari untuk menelepon Masyito. Sehingga, Masyito tetap menerangkan sebagaiman keterangan semula di dalam BAP Penyidikan. Selanjutnya, Lia menelepon Masyito agar tetap konsisten pada saat pemeriksaan di persidangan.

Pada hari Sabtu, 22 Maret 2014, Muhtar mempengaruhi Iwan saat berada di dalam mobil menuju Hotel Cempaka Sari di Cempaka Putih Jakarta. Sesampainya di hotel, Muhtar meminta Iwan untuk mengubah BAP yang sebelumnya disampaikan di hadapan penyidik KPK.

Muhtar meminta kepada Iwan agar menyampaikannya juga kepada Rika dan Risna. Atas permintaan itu, Iwan bertemu Rika di Pizza Hut Golden Truly dan menyampaikan permintaan dari Muhtar.

"Agar pada saat di persidangan memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan tidak ingat siapa yang datang ke Bank Kalbar Cabang Jakarta mengantar uang bersama dengan terdakwa," ucap Jaksa Rini.

Pada hari Senin, 24 Maret 2014, sebelum berangkat ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Iwan mengatakan kepada Rika dan Risana agar di persidangan mengatakan yang datang bersama Muhtar di Kantor Bank Kalbar PT BPD Kalbar Cabang Jakarta bukan Masyito dan Suzanna.

Pada persidangan, Iwan, Rika, dan Risna ketika ditanyakan apakah mengenali dan pernah melihat kedatangan Masyito dan Suzanna ke Bank Kalbar Cabang Jakarta bersama Muhtar, Iwan menjawab "saya tidak ingat". Sedangkan saat ditanyakan kepada Rika dan Risna apakah mengenali foto Masyito dan Suzanna yang merupakan orang yang mengantar uang, keduanya menjawab "mirip".

Padahal, Iwan, Rika dan Risna mengenal Masyito dan Suzanna yang pernah datang ke Bank Kalbar cabang Jakarta untuk menyerahkan uang kepada Muhtar yang selanjutnya dititipkan kepada Iwan.

Namun, Masyito dan Romi pada saat bersaksi di persidangan tanggal 27 Maret 2014 tetap konsisten dengan keterangan dalam BAP di penyidikan. Mereka menyatakan tidak mengenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Muhtar serta tidak pernah datang dan tidak pernah mengantarkan sejumlah uang ke Bank Kalbar.

Perbuatan Muhtar itu diancam pidana dalam Pasal 21 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Muhtar juga didakwa memberikan keterangan palsu saat diperiksa sebagai saksi dalam perkara korupsi dan pencucian uang Akil. Dalam dakwaan, Muhtar di persidangan menerangkan hanya sekali bertemu Akil di ruang kerja Akil di MK pada tahun 2010. Padahal berdasarkan keterangan Mico Fanji Tirtayasa dan Daryono, Muhtar juga bertemu Akil pada tahun 2013.

Berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti tanggal 26 September 2014, diperoleh data beberapa foto Muhtar bersama Akil di ruang kerja Ketua MK.

“Terdakwa di persidangan menerangkan tidak pernah kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Romi Herton dan Masyito," sambung jaksa. Padahal Muhtar pernah bertemu keduanya pada bulan Mei 2013 di Kantor Bank Kalbar PT BPD Kalbar Cabang Jakarta.

Muhtar di persidangan menerangkan pernah menitipkan uang kepada Iwan Sutaryadi pada Mei 2013 di Bank Kalbar sebesar Rp 15 miliar yang diklaim uang hasil bisnisnya. Padahal, saksi lainnya menyebut Muhtar pernah menitipkan uang kepada Iwan sebesar Rp 11,395 miliar dan USD 316,700 yang berasal dari Romi terkait pengurusan permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kota Palembang.

"Terdakwa sebagai orang yang wajib memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tindak korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama Akil Mochtar di Pengadilan Tipikor telah memberikan keterangan tidak benar yang bertentangan dengan keterangan saksi-saksi dan alat bukti lainnya," ujar jaksa.

Pada dakwaan kedua, Muhtar diancam pidana Pasal 22 jo Pasal 35 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (gil/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Desak KPK Tangkap Tiga Menteri, Sambil Teriak: Sakitnya Tuh di Sini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler