Orator Pendukung Ahok Tinggal Pilih: Meralat atau ke Pengadilan

Jumat, 12 Mei 2017 – 13:50 WIB
Massa pendukung Ahok melakukan aksi demo di depan LP Cipinang, Jakarta, Selasa (9/5) malam. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Nama Veronica Koman Liau mendadak melejit setelah keberaniannya mengecam rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo, saat berorasi pada aksi membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di depan Rutan Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (9/5) malam.

Dalam orasinya, Veronica menyebut rezim Presiden Jokowi lebih parah daripada rezim Presiden RI Keenam Susilo Bambang Yudhoyono.

BACA JUGA: Fadli Zon Anggap Mendagri Lebay

Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harahap Emrus Sihombing merespons persoalan ini.

Dia mengatakan disadari atau tdak, pandangan orator tersebut mengandung makna sangat mendalam bahwa dua rezim itu masuk kategori parah dalam mengelolah negara. Hanya yang berbeda tingkat keparahannya saja.

BACA JUGA: Ahoker Pengecam Jokowi Berpotensi Dibui

Sayangnya, batasan "parah" dan ukuran tingkat keparahan belum disajikan. Jadi, pandangan tersebut sebagai suatu yang belum memiliki dasar akademik yang kuat, sehingga bisa multitafsir yang sangat varian.

"Akibatnya, bisa berujung ke meja peradilan, sebagai tuduhan yang tidak mengenakkan didengar," kata Emrus, Jumat (12/5).

BACA JUGA: Ketum Muhammadiyah: Jangan karena Satu Orang Negara Ini Pecah

Dia lantas mencontohkan lagi sebuah pernyataan sang orator di salah satu media online yang menyebutkan, "Hari ini kita dipertontonkan oleh peradilan yang nista. Tidak ada itu istilah penistaan agama. Yang ada adalah peradilan yang sangat nista dan hakim yang nista."

"Lagi-lagi (orator) menyebut peradilan nista dan hakim yang nista, tanpa diikuti ukuran nista itu apa," kata Emrus.

Untuk itu, Emrus menegaskan, sebaiknya orator yang bersangkutan sesegera mungkin menjelaskan definisi dan ukuran "nista" yang dimaksud.

Supaya, kata dia, publik dapat memahami jalan pikir orator tersebut. Bila tidak, bisa dimaknai merendahkan lembaga peradilan dan profesi hakim itu sendiri.

"Jika yang terjadi merendahkan, urusannya bisa ke pengadilan," kata Direktur Eksekutif EmrusCorner ini.

Menurut Emrus, pandangan orator yang dimuat di berbagai media masih berupa pernyataan atau opini karena belum mengemukakan dukungan data secara lengkap, mendalam apalagi valid.

"Untuk itu, sejatinya orator yang bersangkutan wajib secara akademik mengemukakan data terebut sebagai dasar dari pandangan yang sudah dikemukakan di ruang publik," katanya.

Bila tidak disampaikan dalam waktu dekat, kredibilitas orotor dan pesan yang disampaikannya dapat dipertanyakan. Dengan demikian, persepsi publik terhadap orator menjadi tidak baik.

"Sekaligus seolah membenarkan pemerintahan yang sekarang dan dua periode yang sebelumnya termasuk parah," ujarnya.

Karena itu, Emrus menegaskan, orator yang bersangkutan harus menjelaskan data sebagai dasar berfikir dari isi orasinya.

Atau melakukan ralat di ruang publik. "Dalam suatu diskusi publik, sangat wajar dilakukan ralat," tuntas pengajar di berbagai universitas itu. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Ada Alasan Pengadilan Tinggi Tangguhkan Penahanan Ahok


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler