Organisasi Ini Minta Pemerintah Indonesia Mengizinkan Ganja untuk Dunia Kesehatan

Selasa, 26 Mei 2020 – 06:06 WIB
Tanaman ganja. Foto: YouTube/New York Post

jpnn.com, JAKARTA - Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk mengkaji manfaat ganja untuk medis. Hal ini karena fenomena penggunaan tanaman ganja untuk metode pengobatan terus ditemukan di tengah masyarakat.

Koordinator EJA Surabaya, Rudhy Wedhamara mengatakan, sejauh ini penemuan metode pengobatan menggunakan tanaman ganja justru berbuah hukuman karena dianggap sebagai tindak pidana

BACA JUGA: Ganja Bermanfaat untuk Pencegahan & Obat Corona? Ini Indikasinya

"Penghukuman itu harusnya tidak dilakukan ketika negara tidak mampu menyediakan akses layanan kesehatan yang memadai. Karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya sudah mulai terbuka dengan opsi penggunaan ganja medis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang memadai," katanya.

Sinyo, sapaan akrab Rudhy, berbagai kasus penangkapan terhadap orang yang diduga menanam atau mengonsumsi ganja untuk kebutuhan pengobatan terus terjadi.

BACA JUGA: Bertambah Lagi Negara yang Melegalisasi Ganja

Seperti pada 11 Mei 2020 lalu, seorang kader partai politik ditangkap karena menanam ganja untuk obat.

Kemudian, pada akhir 2019 lalu, juga ditangkap seorang perempuan di Bandung karena menggunakan minyak dari tanaman ganja untuk mengobati kanker.

BACA JUGA: Israel Gelar 3 Uji Klinis Kemampuan Ganja Sembuhkan Pasien Positif Corna

Sebelumnya, pada tahun 2017, publik ramai membicarakan kasus 'Fidelis' yang dijatuhi pidana selama 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Sanggau, karena memberikan ekstrak ganja untuk mengobati istrinya yang menderita penyakit langka, Syringomyelia.

"Di Indonesia, memang masih belum dapat diketahui secara pasti, bagaimana pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan tersebut, karena belum ada hasil kajian resmi yang dapat dirujuk. Pemerintah, termasuk BNN dan Kementerian Kesehatan, sejak kasus 'Fidelis' tersebut mencuat, tidak melakukan tindak lanjut apapun untuk menggali kebenaran adanya manfaat kesehatan dari kandungan tanaman ganja," paparnya.

Di sisi lain, lanjut Sinyo, situasi pandemi Covid-19 saat ini, menjadi ilustrasi bagaimana Pemerintah Indonesia sebenarnya juga tidak sigap, ketika dihadapkan dengan isu-isu kesehatan.

Menurutnya, banyak indikator seperti tingginya jumlah angka kematian termasuk dari kalangan tenaga medis, masalah transparansi data, minimnya koordinasi, dan lain sebagainya, menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu secara efektif mengendalikan masalah wabah yang mengancam kesehatan masyarakat.

Gagapnya Pemerintah dalam meminimalisir dampak Covid-19 semakin diperparah dengan sikap yang menolak kebenaran ganja telah dimanfaatkan untuk kesehatan di banyak negara.

Salah satu manfaat ganja bisa meredakan kecemasaan (anxiety), di sisi lain dampak tidak langsung dari Covid-19 meningkatkan angka kecemasan terhadap seseorang akibat dari situasi yang tidak pasti saat ini maupun ke depan.

"Oleh karena itu, pemerintah seharusnya lebih membuka diri terhadap realitas ini dengan menggunakan segala peluang yang ada untuk menanggulangi dampak Covid-19, termasuk dampak dari kesehatan mental masyarakat. Bukan malah mempertahankan kebijakan perang terhadap narkotika yang justru kontra produktif terhadap upaya menanggulangi wabah Covid-19," sambungnya.

Sinyo mengatakan dalam mengatur kebijakan narkotika, promosi "perang terhadap narkoba" sudah seharusnya dihentikan.

Metode penghukuman yang keras terbukti tidak pernah efektif dan bahkan malah mendatangkan beban luar biasa pada negara, dengan semakin meningkatnya jumlah penghuni rutan/lapas yang menyebabkan overcrowding.

Ditambah lagi, kriminalisasi narkotika hanya akan menguntungkan pasar gelap. Dia mempertanyakan alasan pemerintah bersikeras melarang narkotika yang justru memberikan manfaat keuangan kepada sindikat pasar gelap.

"Selain itu, secara khusus, di masa pandemi ini, kami mendesak kepolisian untuk menahan diri agar tidak melakukan penangkapan/penahanan, mengingat program pemerintah dalam melaksanakan PSBB dalam upaya penanggulangan pandemi melalui protokol kesehatan yang telah ditetapkan," kata Rudhy.

Lanjut Rudhy, negara tidak seharusnya memberi penghukuman terhadap warga yang diketahui menggunakan ganja sebagai metode pengobatan.

Terlebih, ketika negara sendiri tidak mampu menyediakan akses layanan kesehatan yang memadai.

Pemerintah harus mulai terbuka terhadap opsi penggunaan tanaman ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

"Langkah awal yang dapat dilakukan, yakni dengan mulai mendorong adanya penelitian-penelitian yang berorientasi untuk melihat manfaat medis yang diperoleh dari kandungan pada tanaman ganja," katanya.

Penggunaan tanaman ganja untuk kepentingan kesehatan sebenarnya telah diadopsi di berbagai negara.

Setidaknya, hingga saat ini terdapat sekitar 40 negara di seluruh dunia yang telah memberikan akses secara sah bagi warganya untuk menggunakan metode pengobatan dengan tanaman ganja.

Hal ini tidak terlepas dari banyaknya penelitian di negara-negara tersebut, yang juga didorong untuk menggali manfaat tanaman ganja secara klinis, yang kemudian digunakan sebagai landasan dalam membuka akses terhadap ganja medis bagi masyarakat. (ngopibareng/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler