Organisasi Sayap Gerindra Persoalkan RUU Pesantrean

Jumat, 26 Oktober 2018 – 16:30 WIB
Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemy Francis. Foto: Humas DPR

jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru disetujui menjadi hak inisiatif DPR pada 16 Oktober lalu terus menuai kritik, Setelah dikritik Persatuan Gereja-Geraja Indonesia, kini Gerakan Kristiani Indonesia Raya (GEKIRA) juga angkat bicara.

Ketua Pengurus Pusat GEKIRA Fary Djemi Francis mengatakan, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang diusulkan beberapa fraksi di DPR RI, masih sebatas buah pikir fraksi dan belum menjadi produk UU.

BACA JUGA: Pak Jokowi Tunjuk Diri Sendiri soal Politikus Sontoloyo?

"Karena itu, fraksi-fraksi di DPR perlu mengkaji dan mengkritisi poin-poin yang mereduksi kebebasan beragama dan dapat mengancam toleransi dan keutuhan NKRI sebagai negara beragama," kata Fary dalam pernyataan sikapnya di Jakarta, Jumat (26/10).

Bagi organisasi sayap Gerindra, lanjut Fary, sumber dan segala sumber hukum adalah UUD 1945. Di situ sudah diatur soal pengakuan negara terhadap kebebasan beragama dan menjalankan ibadah dengan segala bentuknya. Negara tidak boleh mencampuri urusan dan tata kelola setiap agama.

BACA JUGA: RUU Pesantren Perlu Mengakomodasi Ragam Metode Pendidikan

Untuk itu GEKIRA memandang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang diinisiasi awal oleh Fraksi PPP dan PKB DPR, perlu dikaji lebih dalam, lebih jauh dan lebih cermat lagi karena substansi kepentingannya melibatkan lebih dari satu agama. Bukan saja soal pesantren tetapi juga mengenai pendidikan keagamaan yang di wilayah non muslim.

"Harus ada upaya duduk bersama semua pemangku kepentingan dari agama terkait seperti PGI, KWI dan komponen lainnya agar RUU ini tidak pada akhirnya merusak bangunan kebangsaan yang telah dibangun bersama," tutur Fary yang juga Ketua Fraksi Gerindra di MPR.

BACA JUGA: Saraswati Djojohadikusumo: Gerakan Emas Inisiatif Emak-Emak

Dia menambahkan, GEKIRA menilai salah satu pasal dalam RUU tersebut mengindikasikan campur tangan negara dalam urusan tata peribadatan agama Kristen. Di antaranya Pasal 69 yang memuat pembatasan terhadap pendidikan keagamaan Kristen nonformal dalam bentuk sekolah minggu, sekolah alkitab, remaja gereja, katekisasi dan jenis lainnya.

Pada Pasal 69 ayat tiga (3) diatur pembatasan jumlah peserta sekolah nonformal minimal 15 orang. Kemudian di ayat empat (4) mengatur adanya izin dari kantor Kementerian Agama kabupaten/kota.

"Sekolah Minggu, katekisasi adalah bagian dari pengajaran iman yang melekat dengan peribadatan. Intervensi negara melalui pembatasan peserta dan perizinan adalah hal yang tidak perlu. Biarkan setiap agama mengembangkan ajaran imannya dengan tetap berhati Pancasila dan berlandaskan UUD 1945," tandas Fary.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerindra Setuju Dana Kelurahan, Asal Regulasinya Jelas


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler