jpnn.com, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan, pembayaran nontunai di semua pintu tol tidak boleh dipaksakan.
ORI berharap penerapan kebijakan itu tidak sepenuhnya mematikan pembayaran tunai. Karena itu dianggap merugikan masyarakat lantaran tidak punya pilihan.
BACA JUGA: Ombudsman: Rekrutmen CPNS Mulai Bagus, Bebas KKN
Anggota ORI Dadan Suparjo Suharmawijaya menuturkan penerapan pembayaran non tunai di seluruh pintu tol itu tidak boleh diberlakukan dengan paksaan.
Pengatur jalan tol perlu tetap memasang setidaknya satu pintu tol dengan pembayaran tunai. Nah, pengendara tentu akan beralih dengan kesadaran sendiri bukan dipaksa.
BACA JUGA: Isi E-Money Kena Biaya, BI Dilaporkan ke Ombudsman
”Kesadaran bahwa orang yang ngantri di tunai itu antreannya banyak. Ngapain ngantre di situ banyak-banyak. Padahal ada sembilan (pintu tol) kosong nontunai,” ungkap dia di kantor ORI, kemarin (27/9).
Siang kemarin ada pertemuan ORI dengan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Bank Indonesia, dan jasa marga.
BACA JUGA: Antre Lama, Peserta Tes CPNS Kelelahan dan Kelaparan
Mereka membahas pengaduan masyarakat kepada ORI tentang pengenaan tarif top up kartu nontunai untuk pembayaran tol.
”Prinsip BPJT sudah menyanggupi (penyediaan pintu tol tunai). Tapi belum dikeluarkan dalam bentuk regulasi oleh PUPR,” ujar mantan Wakil Direktur Eksekutif JPIP.
Dadan mengungkapkan saat ini sebenarnya sudah ada peraturan dari Bank Indonesia yang mengatur pengisian nominal kurang dari Rp 200 ribu tidak dikenakan biaya alias gratis.
Sedangkan bila lebih dari Rp 200 ribu itu dikenakan biaya. ”Di atas yang Rp 200 ribu dikenakan Rp 750,” ungkap alumnus Universitas Airlangga itu.
Dalam pertemuan itu terungkap selama ini frekuensi penggunaan kartu sekitar 90 persen top up itu di bawah Rp 200 ribu.
Bahkan data dari Bank BCA, rata-rata atau sekitar 60 persen, penggunaan nontunai top up di bawah 20 ribu. ”Artinya keseluruhan ya kalau berlandaskan regulasi BI yang ada nol persen,” tambah dia.
Tapi, muncul pula pembahasan biaya top up itu dipergunakan untuk biaya infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang nontunai. Tapi, yang jadi persoalan kenapa biaya infrastruktur itu dibebankan kepada masyarakat.
”Ternyata bank juga memberikan untuk biaya kartu yang semestinya Rp 17 hingga Rp 20 ribu tiap kartu. Tapi dijual Rp 10 ribu,” kata Dadan.
Sementara itu, anggota BPJT Kuncahyo menuturkan pada akhir September ditargetkan 60 persen pintu tol sudah nontunai atau cahsless.
Sedangkan 40 persen lainnya bisa memakai kartu atau non tunai. Dia menuturkan penggunaan cashless itu jauh lebih efektif dan efisien.
”Transaksi (cash) itu kalau ngambil 5 detik. Transkasi kalau pakai receh pengembalian itu bisa sampai 7 detik. Sedangkan kalau tap, cashless itu hanya 3 detik,” ungkap dia.
Sedangkan terkait dengan petugas, Kuncahyo menuturkan akan ada banyak skema untuk memindahkan para pekerja.
Mereka bisa dialihkan di bagian yang lain. Seperti entri data dan di kantor. ”Pengurangan tapi rasionalnya tergantung operator masing-masing,” jelas dia. (jun)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kecurigaan ORI di Balik Penggerebekan PT IBU
Redaktur & Reporter : Soetomo