jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum Kaukus Muda Indonesia (KMI) Edi Humaidi mendesak DPR dan Pemerintah untuk tetap melanjutkan pembahasan revisi UU KPK. Bahkan dalam melakukan revisi atas UU tersebut, KMI menyampaikan empat point penting dan bila perlu, tahun 2015 ini selesai mengingat sempitnya agenda persidangan di DPR.
Menurut Edi kalau sebelumnya rencana revisi mengundang kontroversi dari sebagian masyarakat yang disuarakan oleh beberapa aktifis anti-korupsi, namun realitasnya, KPK memang membutuhkan penyempurnaan dan penguatan dari sisi kelembagaan, SDM, sistem dan mekanisme kerjanya.
BACA JUGA: Terbang ke Aceh, Kapolri Beri Arahan Langsung
"Dan itu hanya mungkin dilakukan melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2015," kata Ketua Umum KMI Edi Humaidi, dalam rilisnya, Selasa (13/10).
DPR dan Pemerintah lanjutnya, mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan revisi pada tahun 2015 ini juga. Sebab, saat revisi tersebut ditunda berarti DPR dan pemerintah tidak konsisten dengan sikapnya sendiri.
BACA JUGA: Kemdagri Kaji Tuntutan Kenaikan Gaji Anggota DPRD
"Kalau alasannya karena dianggap merevisi UU KPK berarti sama dengan memperlemah, maka hal ini sangat tidak masuk akal. Dan publik perlu mempertanyakan, ada apa dengan DPR dan pemerintah ini?" ujarnya.
Padahal, pada tahap pembahasan di tingkat Baleg untuk dilakukan harmonisasi dan singkronisasi, sudah ada enam fraksi di DPR menyetujuinya namun belakangan hal tersebut berubah.
BACA JUGA: Rizal Ramli Sebut Freeport Indonesia Bandel dan Mencla-mencle
"Justru kita patut curiga, manakala DPR dan pemerintah tidak mau merevisi UU KPK yang ada saat ini, itu berarti sama saja dengan tidak mau memperkuat dan memperbaiki KPK saat ini yang masih ada kekurangan dan kelemahannya," tegasnya.
Untuk memperkuat dan memperbaiki beberapa kelemahan yang ada di KPK, KMI lanjut Edi, mengusulkan empat point penting yang harus dilakukan.
Pertama, sebaiknya KPK diberi kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tapi tidak dimaksudkan untuk membuka celah bagi koruptor agar dapat berkelit karena ada mekanisme SP3 untuk menghentikan kasus korupsinya ataupun membuat KPK tidak berhati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka, namun lebih melihat dari sisi kemanusian dan HAM.
"Sebab bisa saja orang yang ditetapkan sebagai tersangka akhirnya meninggal dunia atau sakit parah yang tidak mungkin sembuh sebelum kasusnya naik di pengadilan," katanya.
Kedua, sebaiknya dibentuk semacam badan pengawas KPK yang dimaksudkan untuk lebih menjaga kredibilitas dan akuntabilitas KPK secara kelembagaan agar dalam menjalankan tugas dan fungsinya benar-benar akuntabel dan meminimalisir penyimpangan dan menghindari adanya kekusaan yang tak terbatas dan tak terkontrol di Indonesia.
Ketiga, kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dalam rangka melakukan kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi diatur mekanismenya. Sehingga tidak seperti sekarang, KPK dalam melakukan penyadapan tidak diatur.
"Sekarang ini karena tidak ada mekanisme yang mengaturnya, sangat rentan untuk disalahgunakan dan berpotensi melanggar hak privasi seseorang yang dijamin oleh undang-undang," ujarnya.
Keempat, KPK perlu melakukan perbaikan dan penyempuraan terhadap sistem rekruitmen terhadap penyidik. Secara khusus, dalam UU KPK yang baru nantinya harus mengatur secara detail tentang pola dan seperti apa penyidik KPK tersebut.
"Mulai dari sistem rekruitmennya sampai kriteria seorang penyidik KPK yang profesional dan bertanggungjawab itu harus diatur sebaik mungkin," pungkas Edi. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Ingatkan Jaksa Agung Tak Permalukan Diri Sendiri
Redaktur : Tim Redaksi