jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (Oso) tidak akan mengambil langkah lanjutan. Walaupun, telah seluruh gugatannya terhadap KPU telah ditolak oleh DKPP. Namun, Ketua DPD RI itu tengah menunggu KPU menjalankan perintah dari surat yang dilayangkan Presiden Jokowi.
Kuasa Hukum Oesman Sapta (Oso), Dodi Abdul Kadir mengatakan DKPP itu masalah kode etik bukan masalah hukum, namanya masalah kode etik itu melihatnya secara etika. Jadi secara etika itu relkatif tergantung menilainya dari sudut mana.
BACA JUGA: Sejak Awal KPU Tidak Berencana Rekapitulasi Surat Suara di Hotel Borobudur
BACA JUGA: Oesman Sapta Raih Penghargaan Sebagai Komunikator Terbaik
"Putusan DKPP itu tidak mempengaruhi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh KPU," ungkapnya saat dihubungi wartawan, Rabu (27/3) malam.
BACA JUGA: KPU: Sejak Pemilu 2014, Rekapitulasi Suara Tidak Lagi di Hotel
Jadi, menurut Dodi, yang mesti dilihat terkait sikap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUn) dan presiden. PTUN telah berkirim surat ke presiden untuk memerintahkan kepada KPU agar melaksanakan putusan PTUN dan surat tersebut sudah dikirimkan serta surat dari presidenpun sudah sampai ke KPU.
"Surat itu bila berdasarkan ketentuan sudah sampai ke tangan KPU, karena presiden berkewajiban memerintahkan KPU untuk melaksanakan putusan pengadilan dan hal itu berdasarkan UU," ujarnya.
BACA JUGA: Serangan Siber di KPU Tak Ganggu Rekapitulasi Surat Suara
Disinggung apakah benar surat dari presiden itu berarti telah sampai ke KPU? Dodi menyatakan, surat itu seharusnya dari minggu lalu sudah ada dan sampai ke KPU. "Mungkin tinggal dicek aja ke KPU,” tandasnya.
Dia menguraikan jika berdasarkan undang-undang (UU), PTUN berkirim surat ke presiden, kemudian presiden akan meminta KPU melalui surat pula melaksanakan putusan PTUN. Bahkan PTUN juga meminta kepada DPR RI untuk mengawasi pelaksanaannya.
"Dan berdasarkan UU presiden juga seharusnya telah mengirimkan surat kepada KPU untuk melaksanakan putusan PTUN. Itu berdasarkan aspek hukumnya dan DKPP aspek kode etik serta ada disenting. Bila melihat dari putusan DKPP ada putusan yang menyatakan terdapat pelanggaran dan ada putusan yang menyatakan tidak ada pelanggaran. jadi dua putusan itu dan harus diberikan peringatan karena putusannya tidak bulat," papar Dodi.
"Masalah kode etik tidak bisa diambil suara, jadi aspek normatif hukumnya berdarakan pasal 470 bila KPU harus melaksanakan putusan PTUN. Karena berdasarkan UU Tata Negara, bila KPU tidak melaksanakan putusan maka apa yang telah dilakukan oleh KPU akan batal dengan sendirinya," tambah Dodi.
Selanjutnya, masih menurut Dodi, ada kewajiban dari KPU melaksanakan perintah dari presiden sebagai kepala negara. Kemudian, sifat-sifat pandanan publik atau orang yang menyandingkan bila putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) itu tidak kontekstual.
"Maksudnya pandangan itu adalah cara berpikir yang salah (bila putusan MK lebih tinggi dari putusan MA, Red). Nah ini akan menyesatkan dikemudian hari dan menimbulkan preseden yang keliru. Karena masing-masing memiliki berita acara dan tujuan yang berbeda. MK menafsirkan UU terhadap UUD dan MA menilai bagaimana pelaksanaan dari UU. Jadi siapa yang lebih tinggi. Tidak ada,” tuntasnya.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yakinlah, KPU Tak Akan Pilih Tempat Angker untuk Lokasi Rekap Suara Pemilu 2019
Redaktur & Reporter : Friederich