jpnn.com - Berdomisili di wilayah rawan gempa memantik kreativitas Giyanto. Pria 37 tahun itu berinisiatif membuat alat pendeteksi gempa sederhana. Namanya othok-othok.
ZAKKI MUBAROK, Bantul
BACA JUGA: Lupa Nazarnya, akan Ditagih Melalui Mimpi
BAGI warga lereng Gunung Merapi di Sleman, othok-othok bukanlah barang baru. Alat yang dikenal dengan sebutan early warning system (EWS) buatan lokal itu muncul pasca-erupsi Merapi pada 2010.
Alat itulah yang kini dikembangkan oleh Giyanto, warga Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul. Bahan untuk membuat othok-othok memang mudah diperoleh dengan harga murah. Cukup merogoh kocek sekitar Rp 50 ribu untuk membuat sebuah othok-othok.
BACA JUGA: Anak-anak SD yang Dilukai dengan Pisau Dapur Sudah Mulai Pulih
Bahan utamanya berupa pipa paralon. “Panjang pipa (paralon) minimal 60 sentimeter dengan diameter satu desimeter,” jelasnya.
Perangkat lain yang dibutuhkan adalah bel elektrik, bandul (pemberat), senar pancing, dan baut. Fung bel dalam othok-othok adalah sebagai alarm.
Langkah pertama membuatnya dengan membuat empat lubang di ujung paralon. Lubang-lubang itu berfungsi sebagai tempat memasang baut yang sekaligus berfungsi sebagai konduktor listrik. Baut terhubung dengan kabel bel elektrik.
BACA JUGA: Saya Begitu Senang hingga Berpikir untuk Menangis
Selanjutnya, bandul diikat tali pancing dan dimasukkan ke dalam paralon melalui lubang atas. Bandul juga terkoneksi dengan kabel bel. Sudah jadi.
Cara kerjanya saat ada getaran cukup kuat. Bandul akan bergoyang hingga menyentuh sekrup. Lalu, bel akan berbunyi karena terkoneksi listrik. “Bel pakai baterai. Sebagai antisipasi kalau aliran listrik mati,” papar pria yang sehari-hari berprofesi sebagai sopir travel itu.
Sensitivitas alat ini tergantung sudut kemiringan paralon yang dipasang di tembok. Namun, Giyanto biasa memasangnya di eternit. Hal itu untuk menjauhkan othok-othok dari tanah dan jalan raya.
Dengan begitu, othok-othok akan bekerja hanya saat ada getaran kuat. “Sudah pernah saya uji berkali-kali,” tuturnya.
Lahirnya alat pendeteksi gempa bumi murah nan sederhana ini tak berbanding lurus dengan proses penemuannya. Giyanto membutuhkan serangkaian riset sederhana dan uji coba. Bapak dua anak ini bercerita, ide pembuatan othok-othok muncul saat dia menjadi relawan erupsi Merapi.
Saat itu dia kerap mengamati cara kerja seismograf yang terpasang di Museum Gunung Merapi. ”Lalu, saya berpikir bagaimana membuat alat dengan harga yang lebih murah,” kenangnya.
Giyanto lantas bereksperimen bersama relawan lain. Dari situ, lahirlah othok-othok. Uji coba awal hanya dibuat empat othok-othok untuk dibagikan gratis ke warga.
Berkat temuan ini pula, sebagian besar rumah warga di Nogosari terpasang othok-othok. Karenanya tidak mengherankan terkadang terdengar suara alarm pada malam hari di kampung ini.
“Alarm juga berbunyi saat gempa bumi di Jawa Timur beberapa waktu lalu,” ungkapnya.
Seiring waktu berjalan, othok-othok kian terkenal hingga luar wilayah Jogjakarta. Bahkan, othok-othok telah dipasang di sejumlah daerah rawan gempa dan tanah longsor. “Untuk mendeteksi tanah longsor, alat ini ditanam di titik rawan,” jelasnya.
Temuan sederhana ini memang sangat berharga. Kendati demikian, Giyanto berjanji tidak akan mematenkan produk temuannya itu. “Prinsipnya untuk menolong. Bukan mencari uang,” tegasnya.(yog/ong/jpg/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mata Langsung Berkaca-kaca Begitu Dengar Tiket Sudah tak Ada
Redaktur : Tim Redaksi