jpnn.com - LANA adalah orangutan jantan berusia kurang lebih lima tahun yang menjalani proses translokasi di Hutan Lindung Sungai Lesan, Kecamatan Kelay.
“Saya begitu senang hingga berpikir untuk menangis. Setiap saya melepas orangutan kembali ke hutan, saya merasa seperti saya sendiri kembali ke rumah yang sudah lama saya tinggalkan,” juar Paulinus, Manager Site Center for Orangutan Protection (COP), usai melepas Lana, Sabtu (10/12) lalu.
BACA JUGA: Mata Langsung Berkaca-kaca Begitu Dengar Tiket Sudah tak Ada
ZULKARNAIN LUBIS, Kelay
Langit masih belum sepenuhnya terang saat Berau Post (Jawa Pos Group) berangkat dari kediaman Muhammad Ector Prasetyo, Mine Closure Project & Development Berau Coal.
BACA JUGA: Silakan Petik Sendiri, Makan Sepuasnya, Boleh Bawa Pulang
Dua mobil kemudian berangkat menuju kantor Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Berau Barat.
Rombongan kemudian menuju camp COP di Kampung Merasa, untuk bergabung dengan rekan-rekan COP sekaligus menjemput Lana, orangutan pertama yang dilepas ke Hutan Lindung Sungai Lesan (HLSL).
BACA JUGA: Demi Tiket Nonton Timnas, Rela Menginap di Makostrad
Tak lama berada di COP, iringan kendaraan melanjutkan perjalanan menuju Kampung Lesan Dayak, sekitar 124 km dari Tanjung Redeb.
Kami masih harus menempuh perjalanan 11 km dari jalan poros di depan gerbang Kampung Merasa, dengan kondisi jalan tanah yang licin usai diguyur hujan malam sebelumnya.
Di sana, warga kampung sudah menyambut kedatangan rombongan dan menyiapkan ketinting untuk membawa kami menuju Hutan Lindung Sungai Lesan.
Sambil beristirahat sejenak, kandang yang memuat Lana diturunkan ke ketinting yang menunggu di tepi sungai.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menyusuri Sungai Lesan yang memiliki lebar hampir 30 meter.
Hampir satu jam menyusuri anak Sungai Kelay yang diapit lebatnya pepohonan, kami tiba di base camp Hutan Lindung Sungai Lesan yang memiliki luas 11.238,31 hektare.
Usai seremoni yang dihadiri Plt Camat Kelay, Kapolres Kelay, Kepala Kampung Lesan Dayak, Kepala Adat, perwakilan PT Berau Coal dan Operasi Wallacea Terpadu (OWT), serta masyarakat yang ambil bagian dalam translokasi, rombongan beristirahat sejenak untuk makan siang.
Termasuk memberi kesempatan pada Lana untuk beristirahat dan diberi minum oleh dokter hewan dari COP, Elisabeth (22).
“Haus dia, makanya diberi minum sambil dipantau kondisinya dan istirahat sebentar setelah perjalanan tadi,” jelas perempuan yang akrab disapa Elis ini.
Usai briefing singkat terkait teknis pelepasan, rombongan langsung berangkat menyusuri jalan setapak menuju dalam hutan.
Kandang Lana dipikul empat orang warga menggunakan dua batang bambu.
Jaraknya memang tidak seberapa jauh dari camp, hanya sekitar 1,5 km. Namun kondisi jalan yang sedikit basah, berliku dan beberapa tanjakan cukup menguras energi dan napas rombongan.
Khusus bagi yang memikul kandang, diwajibkan mengenakan masker untuk mencegah saling tertular penyakit antara orangutan dan manusia. Setiap anggota rombongan juga dibekali masker yang wajib dipakai jika berada dekat dengan kandang Lana.
Setengah jam lebih perjalanan, kami tiba di titik pelepasan. Sembari menunggu Lana beristirahat dan kembali diberi minum, Ade Fitri (23) dokter hewan yang juga ikut, menjelaskan tata cara pelepasan.
“Rekan-rekan harap berada 50 meter dari kandang. Dan jangan berada di arah pintu kandang, menghindari Lana takut dengan keberadaan kita. Sebab orangutan yang takut bisa saja menyerang,” jelas Ade.
Plt Camat Kelay Toris, mendapat kehormatan membuka pintu kandang Lana. Tak menunggu lama usai kandang dibuka, Lana dengan perlahan langsung memanjat pohon yang ada di depannya. Rombongan menahan tawa ketika Lana sampai di atas pohon sempat buang air.
Kami kemudian beranjak kembali ke base camp meninggalkan Lana dan empat orang anggota COP di rimbunnya hutan.
Mereka bertugas melakukan monitoring kondisi dan pergerakan Lana selama sehari.
Perjalanan kembali terasa lebih ringan. Selain jalurnya menurun, perasaan lega karena Lana sudah kembali ke hutan jadi alasan utama.
Namun ada sedikit kejutan ketika kami sampai di base camp. Hardi Baktiantoro (43), pendiri sekaligus principal COP tiba di base camp dengan plaster di kening dan noda darah di bajunya.
“Tadi terjatuh pas jalan kembali. Inilah suka dukanya. Perjuangannya tidak hanya meneteskan keringat, bahkan sampai darah juga,” canda pria yang akrab disapa Ken Hardi ini.
Lana termasuk dalam jenis pongo pygmaeus morio, satu dari tiga jenis orangutan Kalimantan. Lana diserahkan ke COP oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Seksi Wilayah II Kutai Kartanegara.
Proses pelepasan orangutan sendiri terbagi dua jenis, yakni pelepasliaran dan translokasi.
Pelepasliaran dilakukan bagi orangutan yang harus direhabilitasi terlebih dahulu. Proses ini dilakukan untuk mengajarkan orangutan bisa mencari makan, membuat sarang dan kembali liar. Lazimnya dilakukan bagi orangutan yang lama menjadi peliharaan warga atau berada di kebun binatang.
Sementara translokasi dilakukan bagi orangutan yang masih memiliki naluri liar. Mereka tidak perlu melalui proses rehabilitasi karena bisa mencari makan dan membuat sarang sendiri.
Translokasi dilakukan bagi orangutan yang wilayahnya terancam keberadaan manusia, untuk dipindah ke kawasan lain yang jauh lebih aman dari jangkauan manusia dan memiliki ketersediaan makanan.
“Untuk Lana sendiri hanya perlu waktu dua minggu observasi perilaku dan kesehatan di COP, sebelum dinilai siap untuk dilakukan translokasi,” terang Paulinus.
Tidak mudah dan murah memang untuk mengembalikan orangutan ke alam liar. Waktu, tenaga dan biaya dibutuhkan sebelum, saat dan sesudah orangutan dikembalikan.
Sebut saja biaya untuk perawatan dan makan orangutan selama dirawat di COP untuk disiapkan kembali ke habitatnya. Rata-rata dibutuhkan Rp 3,5 juta per bulan untuk satu ekor orangutan.
Belum lagi biaya saat proses pemindahan dan pengamatan pascapelepasan. Transportasi, konsumsi, dan biaya lain juga harus disiapkan.
Dijelaskan Muhammad Ector Prasetyo, Mine Closure Project & Development Berau Coal, yang memfasilitasi translokasi bagi Lana, biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 500 juta.
“Itu angka keseluruhan. Mulai biaya di penangkaran, pemindahan hingga observasi pascapemindahan,” ujar pria ramah ini.
Sebuah harga mahal akibat ulah segelintir manusia yang egois dan tak peduli dengan alam.
Lebih baik memanfaatkan hasil alam dengan tetap bijak memperhatikan makhluk lain, daripada muncul kasus baru orangutan yang terancam oleh keegoisan manusia.
Terlebih sejak awal Juli 2016, IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan status orangutan Kalimantan naik ke level kritis (Critically Endangered/CR) yang sebelumnya genting (Endangered/EN). (*/udi/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kalau Saya Terus-terusan Nangis, gimana Nasib Anak Saya
Redaktur : Tim Redaksi