Otoritas Ekonomi Jalankan Simulasi Krisis

Bank Sentral Cermati Reposisi Aset Global

Senin, 21 Oktober 2013 – 06:16 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Kendati situasi makroeekonomi sudah mulai membaik, seluruh otoritas ekonomi di tanah air masih waspada terhadap gejolak perekonomian dunia. Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun mulai memperkuat kuda-kuda.

Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, empat institusi yang tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) saat ini tengah memfinalisasi persiapan full-dress simulation atau simulasi menyeluruh seandainya krisis kembali menyergap perekonomian Indonesia. "Mudah-mudahan bulan depan bisa jalan," ujarnya akhir pekan lalu.

BACA JUGA: Tol Trans Jawa Tersendat di Brebes-Semarang

Chatib menyebut, semua institusi akan memantau pasar yang terkait. Misalnya, Kementerian Keuangan memantau pasar Surat Utang Negara (SUN), BI dan LPS memantau perbankan, sedangkan OJK memantau pasar modal dan lembaga keuangan nonbank.

Lalu, bagaimana skema simulasinya? Menurut ekonom yang juga mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tersebut, simulasi dilakukan dengan skenario seolah-olah ekonomi global kembali bergejolak.

BACA JUGA: Dana Proyek Belum Dibayar, Konsultan Mengadu ke UKP4

Misalnya, jika bank sentral Amerika Serikat (The Fed) memulai pengurangan stimulus moneter atau tapering off stimulus quantitative easing (QE), sehingga dana-dana asing di emerging market seperti Indonesia, ramai-ramai ditarik. Atau misalnya, jika pemerintahan AS kembali mengalami shutdown dalam jangka waktu lama. "Dari simulasi itu, kita susun langkah antisipasi," katanya.

Sebagaimana diketahui, makin terintegrasinya industri keuangan membuat gejolak di pasar perbankan bisa berimbas ke pasar modal, juga ke lembaga keuangan nonbank seperti asuransi, perusahaan pembiayaan, hingga dana pensiun. Begitu pula sebaliknya.

BACA JUGA: JP Morgan Bayar Uang Damai Rp143 Triliun ke Pemerintah AS

Karena itu, Chatib mengatakan, simulasi akan mengukur seberapa besar imbas kaburnya dana asing terhadap industri keuangan Indonesia dan apakah industri keuangan kuat menghadapinya, serta langkah apa yang diperlukan untuk meredamnya.

"Itu semua akan masuk dalam crisis management protocol. Jadi seandainya (krisis) yang dikhawatirkan itu terjadi, kita siap dan tidak panik," jelasnya.

Chatib mencontohkan, seandainya krisis memicu gejolak di pasar SUN, pemerintah sudah menyiapkan bond stabilization framework atau kerangka kerja stabilisasi obligasi yang melibatkan 11 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki dana besar. "Jadi, ketika bond bergejolak (terjadi aksi penjualan besar-besaran oleh investor asing, Red), 11 BUMN akan masuk (membelinya)," terangnya.

Gubernur BI Agus Martowardojo menambahkan, saat ini BI terus mencermati potensi reposisi aset dari emerging market ke negara maju. Hal itu berdampak pada tren depresiasi rupiah meski saat ini sudah agak mereda. "Selain itu kami juga mencermati ketatnya likuiditas perbankan. Ada beberapa bank yang likuiditasnya agak lemah, itu kami awasi," ujarnya.

Meski demikian, Agus menyebut, hingga saat ini kondisi perbankan Indonesia masih solid. Itu tecermin dari berbagai indikator, seperti rasio kecukupan modal (CAR) di level 17,9 persen, pertumbuhan kredit 22 persen, rasio kredit macet atau NPL gross 1,99 persen, dan rasio kredit terhadap dana nasabah sebesar 89 persen. "Tapi, tentu saja supervisory action terus dipertajam," katanya.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad menyebut, OJK kini lebih mencermati kondisi lembaga keuangan seperti asuransi maupun perusahaan yang merupakan anak usaha bank.

"Ini penting karena kita tidak mau kondisi perbankan yang bagus, nanti dirusak oleh anak usahanya yang kurang bagus," jelasnya. (owi/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kementerian BUMN Akan Jual Dua Perusahaan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler