Pajak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 11 Juni 2021 – 07:25 WIB
Ilustrasi, para pedagang di Pasar Kebayoran Lama. Foto: Ricardo

jpnn.com - Dua hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini, yaitu kematian dan pajak. Begitu kata pepatah orang Barat.

Sejak dulu kala di zaman raja-raja feodal, sampai sekarang di zaman modern, pajak selalu menjadi beban yang mengejar manusia seperti kematian.

BACA JUGA: Ekonom Beberkan Empat Risiko Penerapan PPN Sembako

Di Indonesia, pajak dan mati juga tidak bisa dihindari. Malah di Indonesia pajak bisa bikin orang mati. Pasalnya, orang yang sudah miskin pun masih dikejar-kejar untuk bayar pajak. Bahkan, untuk beli sembako pun orang paling miskin masih harus bayar pajak.

Rencana perubahan undang-undang pajak yang disodorkan pemerintah membikin banyak orang tidak percaya. Sembako, sembilan bahan pokok, adalah kebutuhan paling dasar bagi manusia Indonesia untuk survive, bertahan hidup.

BACA JUGA: Sembako Bakal Kena PPN, Syarief Hasan: Rakyat Masih Kesulitan Akibat Pandemi Covid-19

Kalau sembako pun masih dikejar pajak, berarti negara benar-benar sudah mengejar rakyat sampai ke lubang tikus.

Dalam rancangan undang-undang pajak yang baru, sembako yang bakal kena pajak adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

BACA JUGA: Awas! PPN Sembako Bisa Berakibat Fatal

Semuanya adalah bahan makanan pokok yang menjadi kebutuhan hidup sehari-hari bagi tiap orang.

Di antara daftar sembako itu terdapat banyak bahan makanan yang termasuk makanan mewah bagi kebanyakan warga Indonesia.

Daging dan susu adalah dua bahan makanan yang tidak terjangkau oleh rata-rata orang miskin di Indonesia.

Menurut definisi kemiskinan dari Bank Dunia, orang yang berpenghasilan dua dolar AS setiap hari dianggap telah menyentuh garis kemiskinan atau poverty line.

Kalau kurs dolar AS dianggap rata-rata Rp 15.000 maka mereka yang berpenghasilan Rp 900 ribu per bulan masuk dalam kategori miskin. Mereka yang berpenghasilan di bawah angka itu masuk dalam kategori extreme poverty atau kemiskinan mutlak.

Tidak perlu harus melakukan penelitian ilmiah yang rumit, cukup dengan menengok keadaan di sekitar sehari-hari kita bisa menyimpulkan bahwa jumlah kemiskinan mutlak di Indonesia sangatlah banyak.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 10,9 persen, yang berarti hampir 30 juta orang.

Mungkin bagi Indonesia yang berpenduduk 270 juta, jumlah itu kecil. Namun, kalau dilihat perbandingannya dengan Malaysia yang total penduduknya 32 juta, maka angka 27 juta adalah 90 persen dari total populasi Malaysia.

Angka 27 juta orang Indonesia yang miskin itu lebih besar dari populasi Australia yang hanya 25 juta orang.

Itu pun kalau data BPS akurat. Semua tahu bahwa statistik adalah alat yang paling canggih untuk berbohong. How to Lie with Statistics, kata Darrel Huff (1954), dengan memainkan data statistik bisa muncul kebohongan macam apa pun, mulai dari menyembunyikan angka kemiskinan sampai menyembunyikan gap antara kaya dan miskin yang sangat menganga.

Menjadi pertanyaan besar bagaimana manusia Indonesia bisa hidup layak dengan penghasilan Rp 900 ribu per bulan. Penghasilan itu hanya cukup untuk hidup dengan standar paling minimal. Dengan penghasilan itu daftar sembilan bahan pokok itu tidak akan terjangkau.

Guru-guru sekolah dasar mengajarkan pola hidup sehat, empat sehat lima sempurna. Ini adalah kampanye yang dilakukan pemerintah sejak 1955 untuk membuat masyarakat memahami pola makan yang benar.

Dalam konsep empat sehat lima sempurna, makanan dibagi atas empat sumber nutrisi penting, yaitu makanan pokok, lauk pauk, sayur-mayur, buah-buahan, dan disempurnakan dengan susu bila mampu, menjadi lima sempurna.

Konsep ini menekankan pentingnya empat golongan makanan berupa sumber kalori untuk tenaga, protein untuk pembangun, sayur dan buah sumber vitamin dan mineral untuk pemeliharaan.

Di zaman Orde Baru kampanye ini dilakukan dengan masif. Semboyan itu bertebaran di berbagai sudut kota dan desa. Manusia Indonesia diarahkan untuk hidup sehat dengan minimal mengonsumsi empat makanan pokok, dan ditambah dengan susu untuk menyempurnakan hidup.

Pemerintah Orde Baru konsisten dengan kampanye ini. Dengan mendorong warga supaya hidup sehat, pemerintah Orde Baru menjamin ketersediaan empat bahan makanan itu. Pemerintah Orde Baru malah bisa mencapai swasembada pangan pada 1984 dan mendapatkan penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization), Badan Pangan dan Pertanian Internasional PBB.

Boleh saja ada yang mencibir bahwa capaian Orde Baru itu semu dan rapuh dan bersifat politis. Namun, dalam kenyataannya bahan makanan pokok ketika itu tersedia dan harga-harga stabil.

Tidak pernah terdengar ada impor beras, apalagi di tengah panen. Tidak pernah ada impor kedele, impor garam, dan kebutuhan pokok lainnya.

Sekarang semua bahan makanan itu didapat melalui impor. Jadi, kalau ada manusia Indonesia yang setiap hari hanya bisa makan nasi dan tempe, dia sudah termasuk orang keren karena makanan yang dikonsumsinya berasal dari impor.

Bahkan, kalau warga miskin Indonesia hanya mampu makan nasi dengan garam itupun keren karena dua-duanya impor.

Dengan memajaki sembako perjuangan rakyat untuk mencapai hidup sehat sangatlah berat, apalagi kalau ingin hidup sempurna.

Daging dan lauk pauk yang dikenai pajak sudah pasti akan menjadi kemewahan yang tidak terjangkau. Susu yang tidak kena pajak pun sudah menjadi kemewahan yang luar biasa, apalagi kalau sudah kena pajak, pasti akan menjadi makanan yang hanya bisa didapat dalam mimpi.

Pantas saja kalau rakyat merindukan era Orde Baru yang bisa menyediakan sembako dengan harga yang stabil. Di saat mengenang 100 tahun haul Pak Harto, mungkin banyak yang kangen dengan masa lalu. Piye, enak zamanku, toh..(*)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
PPN   pajak   Cak Abror   Pajak Sembako  

Terpopuler