Pajak Barang Konsumsi Naik

Termasuk Handphone dan Kendaraan CBU

Selasa, 10 Desember 2013 – 07:10 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Defisit transaksi berjalan menjadi momok perekonomian Indonesia. Sifat konsumtif masyarakat adalah salah satu pemantiknya. Karena itu, pemerintah pun mengambil langkah dengan menaikkan pajak barang konsumsi.

Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, daya beli masyarakat yang terus naik seiring meningkatnya penerimaan memang menjadi pemicu tingginya permintaan domestik. Sayangnya, industri dalam negeri belum mampu memenuhinya sehingga produk impor pun membanjiri Indonesia. "Karena itu, pajak kita naikkan untuk mengerem impor," ujarnya saat konferensi pers paket kebijakan ekonomi di Kementerian Keuangan kemarin (9/12).

BACA JUGA: TelkomVision Dijual ke CT, Dahlan Iskan Siap Hadapi DPR

Selama ini, pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 atas impor barang tertentu ditetapkan sebesar 2,5 persen. Menurut Chatib, rendahnya pajak membuat barang impor bisa dijual dengan cukup murah di Indonesia. "Untuk itu, sekarang kita naikkan pajaknya menjadi 7,5 persen," katanya.

Chatib mengakui, kenaikan pajak impor ini dilakukan secara selektif. Misalnya, barang modal atau bahan baku yang digunakan untuk industri dalam negeri, tidak dikenakan kenaikan pajak, agar industri dalam negeri tetap bisa mempertahankan produktifitasnya. "Intinya, yang pajaknya dinaikkan adalah barang konsumsi dengan nilai impor signifikan, tapi tidak memberi dampak besar pada inflasi," ucapnya.

BACA JUGA: Pusat Belum Bahas Jatah Saham Inalum untuk Pemda

Wakil Menteri keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, produk konsumsi berupa makanan tidak masuk dalam kategori barang yang dikenakan tambahan pajak. Sebab, memiliki pengaruh signifikan pada inflasi.

"Misalnya mie instan atau produk makanan olahan lainnya, tidak kena (tambahan pajak)," ujarnya.

BACA JUGA: Kontrak dengan Jepang Resmi Berakhir

Lalu, barang apa saja yang pajaknya dinaikkan? Bambang mengatakan, total ada 502 jenis barang berdasar kode Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). Namun, secara garis besar bisa dibagi dalam empat kelompok barang.

Pertama, produk elektronik dan handphone. Kedua, kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh atau completely built-up (CBU). Sehingga, kendaraan bermotor yang diimpor secara terpisah komponennya atau completely knocked down (CKD), kendaraan hybrid atau listrik, serta kendaraan berpenumpang lebih dari 10 seperti bus.

Ketiga, produk tas, baju, alas kaki, perhiasan, termasuk parfum atau minyak wangi. Keempat, furnitur, perlengkapan rumah tangga dan mainan.

Berapa impor yang bisa ditekan dari kenaikan pajak ini? Menurut Chatib, berdasar kalkulasi kasar, sepanjang Januari - Oktober 2013, dari impor USD 140 miliar, sekitar 7 persen atau USD 10 miliar adalah barang konsumsi. "Tentu, tidak semua impor akan terhenti, tapi setidaknya impor yang diturunkan bisa sekitar USD 2 - 3 miliar," ujarnya.

Sebagai gambaran, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), impor produk handphone maupun smartphone memang membanjiri Indonesia. Sepanjang Januari - Oktober 2013 saja, nilai impornya sudah menembus USD 2,34 miliar atau sekitar Rp 27,5 triliun.

Chatib menambahkan, selain untuk mengerem impor. Kebijakan menaikkan pajak impor ini juga dimaksudkan untuk mendorong daya saing industri dalam negeri untuk memproduksi barang-barang substitusi impor.

"Kalau pajak naik, produk impor kan jadi lebih mahal. Jadi, produsen dalam negeri bisa lebih kompetitif," jelasnya. (owi/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dirut PLN Belum Ajukan Surat Pengunduran Diri Secara Resmi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler