Pajak dan Demokrasi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 26 Februari 2023 – 14:43 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: Ricardo

jpnn.com - Sebelum lahir Magna Carta pada abad ke-13, di Inggris masyarakat pernah menolak membayar pungutan pajak atau upeti kepada raja. Tidak ada pajak tanpa keterwakilan rakyat di parlemen atau wakil rakyat.

Itulah awal mula lahirnya konsep demokrasi berdasarkan ketewakilan di parlemen.

BACA JUGA: Lihat Nih Harta Kekayaan Rafael Vs Sri Mulyani, Siapa Lebih Besar?

Sejak adanya Magna Carta muncullah slogan “No taxation without representation”, tidak ada pajak tanpa ada perwakilan di parlemen.

Pajak dipungut harus berdasarkan undang-undang yang disahkan parlemen, tidak ada pungutan pajak oleh pemerintah kecuali didasari undang-undang yang disahkan dewan perwakilan rakyat.

BACA JUGA: Rafael Alun Trisambodo Ayah Dandy Mengundurkan Diri sebagai ASN Ditjen Pajak

Kemudian pada abad ke-18, frasa “No taxation without representation” digunakan di Amerika Serikat semasa revolusi. Rakyat yang makin berani menentang kekuasaan Inggris bahkan memopulerkan semboyan baru, “Taxation without Representation is Robbery”, pemungutan pajak tanpa persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam bentuk undang-undang adalah perampokan.

Seorang penjahat yang menodongkan senjata dan meminta sejumlah uang sama saja dengan petugas pajak yang memaksa wajib pajak untuk membayar.

BACA JUGA: Begini Nasib Rafael Alun Ayahnya Dandy yang Dicopot Sri Mulyani, Pahit

Namun, penodongan oleh petugas pajak itu sah secara hukum karena didasarkan pada undang-undang.

Perbedaan antara perampokan dan pemungutan pajak yang sah adalah ada dasar undang-undang dan tidak ada dasar undang-undang. Pemungutan pajak sebelum adanya undang-undang merupakan upeti yang haram hukumnya bagi petugas pemungut pajak dan yang memanfaatkan uang pungutan itu.

Pepatah Inggris mengatakan, ada dua hal yang tidak bisa dihindari dalam hidup: mati dan pajak.

Pajak dan mati sama-sama tidak bisa dihindari. Sampai ke lubang semut pun petugas pajak akan mengejar Anda. Dalam terminologi agama, kematian pasti akan datang meskipun Anda berada dalam perlindungan benteng yang kokoh.

Pepatah itu menyamakan mati dengan pajak. Artinya, tanpa pajak kita bisa mati, dan kalau mencuri uang pajak atau menggelapkan pajak hukumannya bisa hukum mati.

Petugas pajak memburu wajib pajak seperti malaikat maut. Setiap tahun kita dikejar-kejar oleh petugas pajak untuk segera menyelesaikan SPT (surat pemberitahuan) pajak.

Uang pajak adalah barang sakral. ‘’The taxpayer’s money’’ harus dimanfaatkan untuk kepentingan pembayar pajak. Korupsi terhadap uang pembayar pajak adalah kejahatan paling berat dalam demokrasi.

Di Indonesia tidak ada istilah uang pembayar pajak. Kalau seseorang melakukan korupsi, ia disebut mencuri uang negara, bukan uang pembayar pajak. Padahal, uang negara itu berasal dari pembayar pajak. Karena itu para koruptor merasa santai saja karena dia tidak merasa mencuri uang pembayar pajak yang dibayarkan oleh para pedagang kaki lima.

Pajak berhubungan langsung dengan demokrasi. Tidak ada pajak tanpa demokrasi.

Jargon demokrasi menyebutkan "no tax without representation" tidak ada pajak tanpa keterwakilan demokrasi di dewan. Karena itu, pajak sangat esensial bagi demokrasi. Menggarong pajak sama dengan meruntuhkan pondasi demokrasi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dikenal sebagai orang yang paling getol mencari uang dari pajak. Mungkin tidak sama dengan Malaikat Izrail sang pencabut nyawa, tetapi mungkin agak mirip dengan Grim Ripper, malaikat pencabut nyawa dalam folklore Barat, yang membawa senjata sabit tajam dan memakai jubah hitam bertopeng. Grim Ripper memburu mangsa sampai ke lubang semut.

Beberapa hari terakhir ini Direktorat Pajak yang dibawahi oleh Sri Mulyani menjadi sorotan, karena salah seorang pejabatnya ketahuan menyembunyikan hartanya dengan tidak melaporkannya kepada negara.

Kasusnya berawal dari perkelahian anak-anak muda gegara pacar, tetapi kemudian merembet menjadi kasus yang bisa menjadi skandal pajak.

Pejabat pajak itu bernama Rafael Alun Trisambodo. Anak kandung Alun bernama Mario Dandy Satrio, 20 tahun, terlibat peristiwa kriminal penganiayaan terhadap David Latumahina, 17 tahun. Alun menganiaya David sampai pingsan dan koma.

Peristiwa ini viral dan menjadi trending topic. Kasus ini menjadi viral karena akun media sosial Mario banyak memamerkan kekayaan ayahnya berupa koleksi motor gede Harley Davidson. Mobil Jeep Rubicon yang dipakai Mario mendatangi David ternyata tidak masuk dalam daftar kekayaan Rafael Alun.

Dari sekadar kasus penganiayaan kasus ini akhirnya melebar karena netizen menyoroti gaya hidup Mario yang kerap pamer barang mewah seperti motor gede.

Netizen kemudian menelusuri harta orang tua Mario dan terbongkarlah beberapa aib yang bisa mencoreng reputasi kementerian keuangan. Orang tua Mario, Rafael Alun Trisambodo ternyata tidak melaporkan seluruh harta kekayaannya dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Rafael Alun disorot netizen lantaran harta kekayaanya yang dinilai fantastis. Rafael memiliki harta kekayaan Rp 56,1 miliar.

Situasi menjadi tambah runyam karena ayah David, Jonathan Latumahina ternyata menjadi pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor pimpinan Yaqut Cholil Qoumas. David Latumahina diketahui telah menjadi seorang mualaf.

Gus Yaqut yang juga menjabat sebagai menteri agama menjenguk David dan mengunggah di akun media sosialnya dengan mengatakan 'anak kader saya adalah anak saya juga, catat itu'. Ada nada kesal. Kasus ini makin panas.

Sri Mulyani bertindak cepat dengan mencopot Rafael dari jabatan dan tugasnya. Dia minta Rafael diperiksa secara teliti agar bisa diberikan hukuman sesuai tindakan disiplin yang telah dilakukan.

Kasus Rafael menjadi aib bagi Sri Mulyani yang selama ini getol menguber-uber para wajib pajak, tetapi ternyata, di depan hidung Sri Mulyani sendiri anak buahnya menggelapkan kekayaan.

Skandal pajak yang paling ramai menjadi perbincangan publik adalah skandal yang melibatkan petugas pajak Gayus Tambunan pada 2010.

Gayus yang merupakan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu menjadi sorotan karena nilai rekeningnya yang fantastis, yakni mencapai Rp 28 miliar. Padahal pangkatnya saat itu masih golongan IIIA.

Dengan status itu, gaji yang dia terima dari Kementerian Keuangan seharusnya hanya sekitar Rp 12,1 juta setiap bulan atau Rp 145,2 juta setahun.

Ternyata, Gayus bisa mendapat insentif hingga Rp 100 miliar atau, jika dihitung dengan gajinya terakhir sebagai pegawai negeri sipil, setara dengan gajinya selama 688,7 tahun.

Pengungkapan kasusnya membongkar adanya mafia persekongkolan jahat antara petugas pajak yang seharusnya mempunyai integritas dengan para pejabat dan perusahaan swasta yang korup.

Majelis hakim menjatuhkan hukuman pertama bagi Gayus, yakni vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Vonis ini jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa, yaitu 20 tahun penjara. Ketika menjalani hukuman Gayus membuat hebih karena tepergok sedang piknik ke Bali dan menonton pertandingan tenis.

Skandal Gayus, dan sekarang skandal Rafael Alun, sangat mungkin bukan satu-satunya. Masih sangat banyak Rafael-Rafael dan Gayus-Gayus lain. Sri Mulyani, The Grim Ripper, harus mengayunkan kapak mautnya ke anak buahnya dulu, sebelum mengayunkan kapak maut kepada rakyat. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Perintah Tegas Sri Mulyani, DJP Bergerak, Ayah Dandy Sudah Dipanggil Inspektorat


Redaktur : Mufthia Ridwan
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler