Pajak Kehilangan Muka

Oleh: Dahlan Iskan

Selasa, 15 Juni 2021 – 10:28 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Foto: Ricardo

jpnn.com - Ini taruhan baru: apakah RUU Pajak akan ditarik oleh pemerintah atau diminta terus dibahas di DPR.

Tokoh DPR dari Golkar jelas minta agar RUU itu ditarik saja. "Agar pemerintah tidak kehilangan muka yang sangat besar," ujar Mohamad Misbakhun dari Komisi XI.

BACA JUGA: Pajak Sembako

Menurut Arek Pasuruan itu, semua fraksi sudah menyuarakan aspirasi mereka: menolak.

"Kami-kami ini kan fraksi pendukung pemerintah. Tidak baik kalau RUU itu harus ditolak DPR. Lebih baik ditarik sebelum dibahas," ujar Misbakhun yang pernah berkarier di ditjen pajak itu.

BACA JUGA: Ahmad Muzani Dorong Pemerintah Berpikir Ulang Menerapkan Pajak Sembako dan Pendidikan

Dia juga pernah jadi tokoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) –sebelum loncat ke Golkar.

Tentu kondisi seperti itu tergolong tumben di mata publik: mengapa tiba-tiba DPR berhenti ''tutup mata dan tutup mulut''.

BACA JUGA: Pernyataan Keras Bang Ferry soal Pajak Sembako, Ada Kata Kejam

Bukankah selama ini DPR selalu mengiyakan keinginan pemerintah?

Ingat RUU Cipta Kerja? Yang begitu besar demo penolakannya. Yang begitu riuh kontroversinya. Yang begitu hilir-mudik administrasinya.

Toh aman-aman saja di DPR. Langsung disahkan. Pun dengan proses yang mengalahkan afdruk kilat.

Mengapa kali ini beda?

Mungkin sekarang sudah lebih dekat ke Pemilu dan pemilihan presiden. Mungkin pula karena Covid-19 sudah kurang menakutkan lagi. Mungkin kadar kedaruratan sudah dianggap rendah.

Mungkin pula karena para ketua umum mereka belum dipanggil. Belum dapat info resmi. Belum diajak lirik-lirikan mata. Belum juga dapat yang lain-lain.

Yang juga mungkin, Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti saya: optimistis Oktober depan Covid sudah reda dan ekonomi mulai bangkit lagi.

Di luar dugaan saya: di pertengahan Juni ini angka Covid naik lagi. Tinggi sekali. Termasuk menjangkiti mereka yang sudah dua kali vaksinasi.

Dokter Andani juga kena Covid-19. Tokoh dari Padang yang memelopori peningkatan kemampuan lab untuk tes Covid-19 itu sudah vaksinasi dua kali.

"Maafkan tenggorokan saya sakit. Saya harus mengurangi bicara. Agar cepat sembuh," tulisnya di WA.

Saya memang menelepon dr Andani. Untuk memberi dukungan. Begitu tahu keadaan tenggorokannya saya pun hanya kirim WA.

"Kelihatannya saya kena varian India. Sinovac kan untuk varian Wuhan," tulisnya.

Andani merasa terjangkiti Covid-19 saat meninjau Jawa Tengah –sebagai staf khusus menteri kesehatan.

Teman saya yang lain juga kena Covid. Dia pengusaha besar Surabaya. Lebih muda dari saya. Sudah vaksinasi dua kali.

Setelah itu dia juga sudah cek antibodi: punya. Angkanya cukup tinggi: 56. Toh masih kena Covid.

Kemarin dia di opname di rumah sakit terkenal di Surabaya Barat.

Belum lagi sembilan anggota DPRD Surabaya. Yang juga sudah vaksinasi dua kali. Dan beberapa kenalan saya lainnya.

Padahal, kemarin-kemarin saya sudah begitu optimistisnya.

Pemerintah pun kelihatannya juga sudah telanjur begitu optimistis. RUU Pajak sudah telanjur diajukan. Telanjur dibacakan pula di sidang pleno DPR. Bahkan DPR sudah memutuskan komisi berapa yang harus membahasnya: Komisi XI.

Kalau RUU itu tidak ditarik terciptalah momentum untuk terus mempersoalkannya. Selama pembahasan di DPR itu, terbuka peluang untuk muncul isu sensitif setiap hari.

Sampai kemarin isu pajak itu masih tetap liar: sembako akan dipajaki, knalpot dipajaki, sekolah dipajaki.

Sampai pun muncul omongan: jangan lagi menganggap anak itu sangat berharga, nanti kena pajak.

Counter dari pemerintah seperti menguap sebelum airnya mendidih. Tidak dipedulikan lagi penjelasan bahwa pajak baru itu baru akan berlaku kalau pandemi sudah lewat. Bukan sekarang. Tidak digubris pula bahwa sembako yang kena pajak itu hanya yang premium. Dan sekolah yang dipajaki adalah yang komersial.

Demikian juga soal pengampunan pajak yang –menurut staf khusus Menkeu– bukan lagi seperti tax amnesty yang lalu.

Pokoknya: negara jangan terus menambah utang, pajak jangan dinaikkan, harga-harga tidak boleh mahal, orang harus senang.

Soal negara tidak punya uang lagi, defisit anggaran sudah kian lebar dan ekonomi memburuk itu urusan pemerintah yang harus pintar.

PPN kelihatannya memang sasaran paling nyata untuk diincar orang pintar. Menggarap PPN itu cara instan menambah pemasukan negara.

Bahan konsumsi adalah barang yang tetap dibeli masyarakat –di tengah krisis sekali pun.

Maka memajaki barang konsumsi, atau menaikkan pajaknya, akan langsung menghasilkan uang baru. Sudah ada ahli yang menghitung, dari sektor ini saja negara sudah akan mendapat tambahan Rp 15 triliun.

Itu angka yang lumayan. Apalagi mengharapkan pajak dari perusahaan kian sulit. Termasuk dari perusahaan BUMN. Sulit mengharapkan PPh-nya apalagi bagian dividennya.

Bahkan –tahun ini dan tahun depan– kalau ada BUMN yang bisa membiayai operasionalnya saja itu sudah baik. Kecuali BUMN perbankan, telekomunikasi, dan kesehatan.

Sampai kemarin posisi tarik-menariknya masih belum berubah. Pemerintah masih mempertahankan RUU itu.

DPR juga masih terus menyanyikan nada penolakan. Opini masyarakat kian keras menolak.

Opini masyarakat itu tahun ini lebih penting dari tahun lalu. Tahun ini Pemilu kian dekat. Partai-partai memerlukan suara mereka. Apalagi Presiden Jokowi sudah di periode kedua.

Maka taruhan tadi tetap penting: apakah RUU Pajak ini akan dibela pemerintah sekuat membela UU Cipta Kerja. Atau biarkan saja Menteri Keuangan berjuang sendiri, kehilangan muka sendiri, dan jadi korban sendiri. (*)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler