jpnn.com - SEMARANG – Enam kepala keluarga (KK) transmigran yang terdiri atas 18 jiwa dari berbagai daerah di Jawa Tengah kini terkatung-katung. Para transmigran yang sudah diberangkatkan ke wilayah tramsigrasi di Kabupaten Sopeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) itu memilih pulang ke Jawa.
Ke-18 transmigran itu mulanya berangkat pada Desember 2015. Tujuannya adalah Desa Watu, Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Sopeng, Sulsel.
BACA JUGA: Antara Bupati yang Meninggal di Pangkuan Suami dan Mahar Pohon
Ternyata, tanah di daerah tujuan tidak cocok untuk bertani. Sebab, lokasinya di pegunungan tandus penuh batu kapur.
Selain itu, lokasi baru itu juga minim fasilitas. Bahkan lahan yang ditempati transmigran diduga masih menjadi sengketa warga setempat.
BACA JUGA: Pangdam Wirabuana: Tiada Maaf bagi TNI yang Terlibat
Pada 20 Maret lalu mereka tiba di Semarang. Namun, hingga saat ini para transmigran yang memilih pulang itu belum mendapat perhatian dari dinas terkait dan tinggal di Asrama Transito Tambak Aji, Semarang.
Yang lebih menyedihkan, sudah sejak Selasa (5/4) mereka tak mendapat jatah makan. Setelah tiga hari, kini banyak transmigran yang jatuh sakit. Bahkan ada satu transmigran yang sempat dibawa ke rumah sakit untuk menjalani perawatan medis.
BACA JUGA: Tujuh Pasangan Bukan Muhrim Terjaring Razia
”Sudah dari Selasa, kami tidak mendapatkan jatah makan. Tiga hari ini, kami hanya makan seadanya dan terpaksa meminta-minta karena kami tidak punya uang,” kata Winarto, transmigran asal Magelang.
Dari enam KK atau 18 transmigran yang ada, hampir semuanya jatuh sakit karena kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Puncaknya terjadi Kamis (7/4), ketika salah satu transmigran asal Karanganyar, Albert Sutarto jatuh pingsan.
”Malamnya sudah dibawa ke RSUD Tugurejo, tapi disuruh rawat jalan karena tidak terdeteksi jenis sakitnya. Seharian kemarin, malah orangnya tidak bisa apa-apa dan hanya terkulai,” ujar Winarto.
Albert yang kini tidak bisa mengonsumsi nasi, mendorong para transmigran patungan membelikan bubur siap saji atau bubur kemasan. Hal ini dilakukan karena Albert tidak bisa mencerna makanan bertekstur keras.
”Patungan Rp 500-an buat beli bubur. Sedangkan kami buat makan dengan meminta bantuan orang,” ucapnya sedih.
Sementara Kristin, istri Albert menjelaskan, kondisi suaminya semakin menurun dan susah diajak berkomunikasi. Dia menduga suaminya stres dan kurang asupan gizi.
”Sejak dituduh jadi provokator, dia jadi beban pikiran. Ditambah tidak ada nasi atau makanan yang masuk ke perutnya. Padahal lokasi transmigrasinya memang tidak layak untuk diolah, apalagi ditanami,” bebernya.
Selain Albert, beberapa transmigran lain juga mengeluhkan sakit. Anak-anak transmigran pun terserang penyakit.
Hingga kini, Disnakertransduk Jawa Tengah belum menemui para transmigran. ”Ada anak yang muntaber, namun tak punya uang. Terpaksa diobati dengan membeli obat warung,” ungkapnya.
Agus Supriyono, transmigran lain menambahkan dirinya saat ini hanya bisa menunggu kepastian dari Disnakertrans dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Para transmigran ini sebelumnya sempat berencana menemui Ganjar. Namun, sang gubernur namun sedang ke luar kota.
”Katanya tadi dari dinas mau ke sini ngecek, tapi tidak jadi. Kami sudah lapor stafnya Pak Ganjar, mungkin beliau masih sibuk dan belum bisa memberikan pemecahan masalah bagi kami,” tambahnya.(den/ida/ce1/JPG/ara/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... GEGER! Siswi Cantik itu Gantung Diri
Redaktur : Tim Redaksi