jpnn.com, PAPUA - Judul di atas merupakan pernyataan atau keluhan dari Presiden Baptis Papua Socrates Sofian Yoman untuk kepala negara RI, Jokowi.
Socrates mengungkap hal tersebut saat jumpa pers di kantor Sinode Kingmi Papua. Kamis, (8/10).
BACA JUGA: Legislator Papua: Hentikan Konflik di Intan Jaya!
Bersama Dewan Gereja Papua (WPCC), Socrates meminta pemerintah Jokowi adil dan tidak diskriminatif dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM dan masalah politik di Papua.
Mereka membandingkan, kenapa masalah serupa di Aceh bisa diselesaikan dengan damai, tetapi di Papua (Papua dan Papua Barat) belum bisa?
BACA JUGA: Diplomat Indonesia Kembali Hajar Vanuatu di Forum PBB, Skor 2-0!
“Seharusnya penyelesaiannya seperti di Aceh. Kenapa (Aceh) bisa mendapat keadilan sementara orang Papua tidak bisa? Haruskah kami orang Papua mengubah rambut menjadi lurus, atau kami mengubah warna kulit dan agama baru bisa ada keadilan?" kata Socrates seperti dikutip dari Cepos (Cenderawasih Pos) Online.
Selain Socrates, hadir dalam jumpa pers tersebut ketua Sinode Kingmi Papua Pdt. Benny Giyai, Ketua Sinode GKI Pdt. Andrikus Mofu, dan presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo.
BACA JUGA: Jakarta Genting, Kunjungan Jokowi ke Pulang Pisau Dianggap Penting
Socrates juga meminta Presiden Jokowi menjawab janjinya sendiri yang akan berbicara dengan kelompok Pro Kemerdekaan.
“Kami mendukung pernyataan Pak Jokowi 30 September 2019 untuk bertemu dengan pihak Pro Kemerdekaan dalam hal ini ULMWP, seharusnya ini diwujudkan,” katanya.
Selain itu, Dewan Gereja juga menolak tim gabungan pencari fakta (TGPF) atas kasus penembakan Pdt. Yeremias Zanambani di Intan Jaya yang dibentuk oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Mereka menilai tim tersebut tidak independen dan meragukan tim dari pemerintah pusat bisa menyelesaikan masalah.
"Tim bentuk tim, masalah tidak akan selesai, kami jelas menolak tim itu,” katanya.
Hal serupa dikatakan Pendeta Andrikus Mofu. Menurutnya, Dewan Gereja Papua melihat tim tersebut tidak independen karena beranggotakan aparat keamanan, pemerintah serta satuan militer sehingga tidak akan mengungkapkan peristiwa tersebut secara utuh, adil dan transparan berdasarkan fakta yang dimiliki Dewan Gereja Papua.
“Berdasarkan pengalaman dan fakta-fakta yang pernah terjadi, kami sangat ragu dan tidak yakin bahwa tim pencari fakta yang sedang bekerja ini akan menghasilkan sesuatu yang valid atau sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Dia mengatakan, pemerintah pusat seharusnya membuka ruang kepada pihak lain yang secara independen membentuk tim pencari fakta turun ke lapangan menggali persoalan ini.
"Supaya ke depan betul-betul diperoleh sebuah hasil yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Dewan Gereja Papua sangat berharap Jokowi mengambil sikap serius untuk melihat dan juga menangani setiap masalah yang terjadi di tanah Papua.
"Pimpinan gereja melihat ada pembiaran, tidak hanya dilakukan oleh institusi militer, tetapi pembiaran oleh negara terhadap setiap masalah dan peristiwa yang terjadi di Papua," katanya.
"13 kali kunjungan presiden di Papua tidak terlihat niat menyelesaikan masalah kemanusiaan di Papua,” tegasnya. (oel/cepos)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Adek