Pak Jokowi...Jika Laut adalah Tubuh, Sungai Tulang Rusuknya

Sabtu, 20 Oktober 2018 – 16:09 WIB
Sungai Batang Arau, Muaro Padang, Sumatera Barat. Foto: Wenri Wanhar/JPNN

jpnn.com - DI PUNCAK malam tadi, menjelang dini hari 20 Oktober 2018, Istana melansir Laporan 4 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Dari 147 halaman, hanya 6 lembar paparan capaian di ranah kemaritiman. Padahal, rezim ini menggadang-gadang Indonesia poros maritim dunia.

Ratna Dewi - Peneliti Society of Indonesian Maritime Affair (SIMA)

BACA JUGA: Empat Tahun Jokowi – JK, Ini Kelebihan dan Kekurangannya

Ada harapan ketika rezim poros maritim Jokowi JK--yang hari ini genap berusia empat tahun--baru saja berkuasa.

Pada malam kemenangan, Selasa 22 Juli 2014 lalu, disaksikan laut Sunda Kelapa dan segenap Indonesia Raya, digeladak kapal pinisi Hati Buana Setia, Presiden RI terpilih didampingi wakilnya, mengumumkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

BACA JUGA: Siapa Bisa Terjemahkan Poros Maritim-nya Jokowi?

Malam itu, Presiden Jokowi berkali-kali menyebut samudera adalah lokus masa depan bangsa, di mana kejayaan yang hilang harus berpulang.

Penuh harapan. Sayang, baik dalam pidato kemenangan, hingga laporan kerja empat tahunan, tak sekali pun disebut muasal yang memberi hidup pada sang samudera; yaitu sungai.

BACA JUGA: Keasyikan Mochamad Saiful Telusuri Sejarah Surabaya

Bukankah leluhur Indonesia berjaya sebagai bangsa pelaut pada masa sungai-sungai adalah jalan raya?

Bukankah sungai adalah tulang rusuk peradaban maritim?

Namun tampaknya, sekali lagi, sungai yang jadi rupa bumi terdekat dengan tanah-tanah hunian rakyat, kembali tertinggal di belakang. 

Padahal sejarah dunia mencatat, peradaban-peradaban dunia lahir, tumbuh dan besar di tepi sungai.

Mesopotamia dihidupi Eufrat dan Tigris. Mesir di selasar Nil. India ditopang Gangga, China menyusu pada Huang Ho dan Kuning, serta Bizantium mengampu sungai Yarmuk. 

Pun dalam sejarah Indonesia. Nagari-nagari, kedatuan, kerajaan dan kesultanan menumbuhkembang di daerah aliran sungai.

Sriwijaya di sepanjang Batanghari, Musi dan Kampar. Kerajaan Melayu menyusur Batanghari dan anak-anak sungainya.

Imperium Mataram memanfaatkan sungai-sungai di Jawa dan pantai utara. Banjar di aliran Martapura. Kutai di selongsong Mahakam. Padjajaran dihidupi Selat Sunda, dan beberapa kesultanan menggeliat di tepi sungai Kapuas, Kalimantan Barat.

Bahkan Batavia. Tak mungkin menjadi sentral ibukota tanpa mendapatkan sumber energinya dari Ciliwung.

Empat tahun berlalu. Kontestasi baru menjelang. Dari 147 halaman, lima babakan besar laporan 4 tahun kerja rezim poros maritim tadu malam, tak satu pun menyasar sungai selaku tulang rusuk peradaban maritim.

Alih-alih sungai dan rakyat yang hidup di sepanjang bantarannya, laporan tersebut hanya menyisakan 6 lembar capaian di bidang maritim. Empat lembar di sektor ekonomi, dan dua halaman di ranah kebudayaan.

Sebagai negara maritim, anehnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017; 61,36 persen dari 26,58 juta jiwa penduduk miskin Indonesia adalah masyarakat yang hidup di pesisir dan pedesaan.  
 
Satu contoh terang saja. Di Jambi, negeri tua yang disusui rahim Sungai Batanghari, kabupaten termiskin dan terbelakang dalam pembangunan indeks manusianya, adalah Tanjung Jabung Timur (Sabak). Kabupaten yang wilayahnya sebagian besar adalah sungai dan muara sungai yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka. 
 
Lalu, di mana peta Nawacita tentang poros maritim dunia?
 
Ya. Malam tadi, menjelang dini hari 20 Oktober 2018, Istana telah melansir Laporan 4 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Hanya 6 lembar dari 147 halaman yang bicara maritim.

Dan, tak sedikit pun menyasar sungai serta warga yang dihidupi oleh tulang rusuk negeri maritim.

Belajar dari sejarah. Nusantara sebagai emporium maritim dunia dengan jalur perdagangan laut, dan migrasi orang, serta budaya lintas suku bangsa, mustahil wujud tanpa sungai sebagai penghubung samudera dengan peradaban yang berdenyut di kota, desa, lembah dan gunung yang memunggung.

Pada masanya, samudera memang tubuh, dan  sungai adalah jalan raya yang menghidupinya.

Ia ada dalam identitas lokal dan memori kolektif orang di banyak daerah. Hingga kini, pada sungailah kehidupan rakyat Indonesia di pedalaman, diadukan.

Laporan kerja kabinet poros maritim belum memuaskan memang. Pun demikian, keberpihakan, komitmen, serta harapan-harapan untuk kembali berjaya sebagai bangsa samudera, senantiasa mengembang dengan masih adanya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Yang melaluinya, jika Presiden Jokowi memang serius, di depan masih ada kesempatan.

Sebagai kementerian koordinator, ia hendaknya mampu mengkoordinir lembaga-lembaga terkait untuk mengedepankan cara pandang holistik yang mampu mereorganisasi kebijakan dan alam berfikir pengelolaan sungai.
 
Tata kelola sungai harus jadi bagian dari ranah perhubungan laut dan bukan perhubungan darat sebagaimana hari ini ia ditempatkan.

Negara dibantu pemerintah daerah, harus serius mereakurasi data basenya.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut Indonesia memiliki lebih dari 1000 sungai besar dan kecil.

Pemkot Banjarmasin saja merilis jumlah sungai dan anak sungai di daerah itu mencapai angka 195 lokus.

Dengan sendirinya jumlah masyarakat yang hidup dan dihidupi sungai lebih banyak dari mereka yang memiliki akses terhadap lautan. 

Jumlah ini bahkan jauh lebih banyak, jika saja negara tekun mencatat apa saja yang tumbuh di relung-relung tubuhnya.

Yang sayangnya, sejak Anderson melansir buku Mission to East Coast Sumatera pada 1971 yang memaparkan peta sungai di Sumatera, data tentang sungai abai di kelola negara.

Pemerintah dan lembaga ilmu pengetahuan melihat jalan raya dan infrastruktur daratan sebagai pranata yang jauh lebih penting dalam rangka tubuh pembangunan Indonesia.

Sungai juga hendaknya dijadikan objek vital negara dan bagian tak terpisahkan dari laut. Reorientasi pembangunan nasional menjadikan keduanya sebagai kekuatan utama, teras negeri dan wajah provinsi.

Negara juga harus mendorong keberpihakan pemerintah daerah atas penguatan fungsi sungai dan anak sungai melalui RTRW provinsi, kabupaten dan kota.

Dukungan pada pelbagai pemanfaatan sungai bagi kemakmuran rakyat dan internalisasi sungai sebagai sumber energi kehidupan masyarakat dan bagian dari jatidiri masyarakat lokal adalah keharusan yang niscaya.

Gelaran aneka seni tradisi, pesta sungai, napak tilas dan ekspedisi penghormatan pada sungai, bukanlah bentuk pemanfaatan baru yang hendak diadakan. Tapi ia telah hidup ratusan tahun dan berdenyut dalam keseharian rakyat di sudut-sudut tanah republik.

Paradoksi pembangunan kota, disertai sengitnya wacana perebutan akses warga miskin terhadap laut, juga tidak serta merta memunculkan sungai. Ironis.

Pak Jokowi, barangkali, sebab terbesar tak lajunya poros maritim dalam nawacita, karena kita terlampau abai atas sungai sebagai tulang rusuk peradaban bangsa. (wow/jpnn)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sinergi Nawacita Janjikan 90 Juta Suara untuk Jokowi-Maruf


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler