jpnn.com - “Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, memunggungi selat dan teluk.
Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga jalasveva jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.”
WENRI WANHAR - JAKARTA
PIDATO PAMUNGKAS Presiden Joko Widodo yang disampaikan di geladak kapal pinisi, pelabuhan Sunda Kelapa, saat baru saja terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019 masih terngiang-ngiang.
Indonesia, katanya, Poros Maritim Dunia!
Bangsa Samudera
Kepulauan Indonesia berada di antara dua samudera. Pertemuan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada masa lampau, sebagaian besar wilayah negeri ini disebut Kepulauan Hindia. Indie…Indie Archipelago.
Puan dan tuan, perkenankan kita menceritakan masa lalu untuk menghidupkan masa depan.
Bung Karno, presiden pertama dan lakon yang memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia mengenali negeri yang dipimpinnya dengan sangat baik.
Pada 1953, ketika membuka Institut Angkatan Laut (IAL), di Surabaya, Presiden Soekarno berpesan:
“…Usahakan penyempurnaan keadaan kita ini dengan menggunakan kesempatan yang diberikan oleh kemerdekaan. Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya…, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal. Bukan! Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga. Bangsa pelaut yang mempunyai armada militer. Bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
BACA JUGA: Keasyikan Mochamad Saiful Telusuri Sejarah Surabaya
Dan, pada 17 Juli 1959, saat melantik Kepala Staf Angkatan Laut R.E. Martadinata di Istana Merdeka, Jakarta, Soekarno membuka kisah:
“Menjadi tradisi sejak Kerajaan Mataram yang kedua itu, tradisi yang mengatakan bahwa raja hanyalah bisa menjadi raja yang besar dan kuat, negara bisa menjadi besar dan kuat, ratu hanyalah bisa menjadi ratu yang hanyakrawarti hambahudenda, jikalau sang ratu itu beristerikan pula Ratu Loro Kidul, ratu dari Lautan Selatan, ratu dari samudera yang dulu bernama Samudera Hindia, tetapi kemudian kita robah dengan nama Samudera Indonesia, saudara-saudara.
Benar apa tidak, itu adalah lain perkara, saudara-saudara. Apakah benar Sang Senopati, Sang Senopati Hangabei Loringpasar Sutowidoyo, Sutawijaya, yang mendirikan Kerajaan Majapahit, benar atau tidak, yaitu benar-benar kawin dengan Ratu Loro Kidul? Itu bukan soal sebetulnya bagi kita.
Tetapi nyata bahwa ini berisi satu simbolik. Kepercayaan ini berisi satu simbolik bahwa tidak bisa seseorang raja, bahwa tidak bisa sesuatu negara di Indonesia ini menjadi kuat jikalau tidak dia punya raja kawin beristrikan Ratu Loro Kidul.”
Menurut Soekarno, simbolik ini berarti bahwa negara Indonesia hanyalah bisa menjadi kuat jikalau ia juga menguasai lautan.
“Jikalau negara di Indonesia ingin menjadi kuat, sentosa, sejahtera, maka dia harus kawin juga dengan laut. Bahwa bangsa Indonesia tidak bisa menjadi bangsa kuat, tidak bisa menjadi negara kuat, jika tidak menguasai samudera, jikalau tidak kembali menjadi bangsa maritim.”
Sebagai bangsa pelaut, pada 23 September 1963 Republik Indonesia menghelat Musyawarah Nasional Maritim I di Gedung Dewan Maritim, Jakarta.
Malam itu, saat kaum bahari Indonesia mendaulat Soekarno sebagai Nakhoda Agung. Sebagai pertanda, ia dianugerai kalung teramat indah.
Nah, membuka Munas Maritim pertama, Sang Nakhoda Agung berpidato. Judulnya Kembalilah Menjadi Bangsa Samudera!
Bung Karno…sang Nakhoda Agung bercerita siapa sebenarnya leluhur bangsa Indonesia.
“Kita ini dahulu benar-benar bangsa pelaut. Bahkan bangsa kita ini sebenarnya tersebar melintasi lautan dari satu pokok asal.
Tersebar melintasi lautan, mendiami pulau-pulau antara pulau Madagaskar dan pulau Paskah dekat Amerika Selatan.
Melewati beribu-ribu mil, melewati samudera, bahar, yang amat luas sekali. Di situlah bersemayam sebenarnya bangsa Indonesia...
Itu adalah satu gugusan bangsa-bangsa yang boleh dikatakan sama bahasanya, sama adat istiadatnya, sama pokok-pokok isi spirituil.
Bahasanya banyak yang sama. Banyak kata-kata yang diucapkan oleh orang Madagaskar kita temui kembali di Sumatera, Jawa, Kalimantan, di Timor, di Paskah itu, di selatan dari pada Philipina.
Misalnya ambillah satu contoh; bambu. Di Jawa ada yang mengatakan wuluh, di Sumatera mengatakan buluh, di Philipina orang mengatakan uluh, di Madagaskar orang berkata uluh, di Easter Island, pulau Paskah orang mengatakan boloh.”
Kemudian…berpanjang lebar, dikisahkannya pula adat istiadat bangsa Indonesia yang tak bisa dilepaskan dari laut.
“Mengenai laut, yah perahu-perahu yang bersayap. Out-wriggled boats, kata orang Belanda vlerkprauwen. Out-wriggled boats, saudara tidak akan temukan perahu bersayap itu misalnya di Amerika atau di Polandia atau di Jepang atau di Eropa, tidak.
Saudara akan temukan out-wriggled boats, vlerkprauwen, perahu sayap di Madagaskar, di Kepulauan Indonesia, di Polynesia sampai pulau Paskah.
Ini semua menunjukkan bahwa kita itu adalah sebenarnya satu gugusan bangsa, antara Madagaskar dan pulau Paskah.”
Pada zaman bahari, menurut Bung Karno, dengan perahu bercadik, perahu bersayap itu, leluhur bangsa Indonesia…
“Betul-betul laksana sea hawk, sacral bahar, saker elbaher, havik van de zee, hawk on the sea. Hawk on the sea, kita terbang dari satu pulau ke pulau lain...
Jang kita maksudkan dengan perkataan zaman bahari ialah zaman purbakala, zaman dahulu, zaman kuno.
Zaman jang lampau itu kita namakan zaman bahari. Apa sebab?
Sebabnja ialah kita di zaman yang lampau itu adalah satu bangsa pelaut.
Bahar, elbaher artinya laut. Zaman bahari berarti zaman kita mengarungi bahar, zaman kita mengarungi laut, zaman tatkala kita adalah bangsa pelaut.”
Setahun kemudian...
Mengenang momentum Munas Maritim I, melalui Surat Keputusan Nomor 249/1964, Presiden Soekarno menetapkan 23 September menjadi Hari Maritim Nasional.
Oiya, beberapa pekan sebelum itu, Bung Karno melantik Ali Sadikin dari KKO menjadi Menteri Maritim—kementerian baru dalam kabinetnya.
Badai Politik
Umpama berlayar di samudera, pada 30 September 1965 badai menghantam kapal yang dinakhodai Soekarno. Angin politik bertiup kencang. Merobek-robek layar kapal.
Ali Sadikin yang menjabat Menteri Maritim sejak 27 Agustus 1964, selesai pada 22 Februari 1966. Selanjutnya Bang Ali—demikian ia biasa disapa--didaulat sebagai Gubernur Jakarta.
Sempat kosong beberapa purnama, pada 25 Juli 1966, posisi Menteri Maritim kembali diisi Jatidjan Sastroredjo, yang sebelumnya menjabat Menteri Perhubungan Indonesia di Kabinet Dwikora III.
Memasuki 1966, badai politik kian mengguncang. Coba bertahan, 12 Maret 1967 Nakhoda Agung kehilangan kapal.
Haluan berubah. 17 Oktober 1967,penguasa baru menghapuskan Kementerian Maritim.
Pun demikian, dinakhodai Presiden Soeharto, Indonesia sempat merayakan Hari Bahari, 23 September 1968 di Manado.
Dan, di tahun-tahun berikutnya...bangsa Indonesia alpa mengenang hari besar tersebut. Meski digadang-gadang nenek moyangnya adalah bangsa pelaut, bangsa ini seolah lupa lautan.
Nah, entah angin apa namanya, Jokowi yang terpilih menjadi Presiden Indonesia dalam pemilihan umum 2014, langsung ke geladak kapal Pinisi, di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta untuk menyampaikan pidato pamungkasnya. Sungguh semiotik.
Umpama nakhoda, dari atas geladak kapal dia menyeru agar bangsa ini kembali ke jati dirinya sebagai bangsa maritim.
“Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global.
Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, memunggungi selat dan teluk.
Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga jalasveva jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyang nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.”
Kementerian Maritim yang ditiadakan sejak 17 Oktober 1967, diadakan lagi pada 27 Oktober 2014 dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK dengan nama Kementerian Koordonator Bidang Kemaritiman.
Orang yang dipercaya menjabatnya Dwisuryo Indroyono Soesilo. Belum genap setahun, pada 12 Agustus 2015, Presiden Jokowi meminta Rizal Ramli menempati posisi tersebut. Dan kemudian, pada 27 Juli 2016 digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, hingga hari ini.
Menuju Poros Maritim Dunia?
Sejak pidato pamungkas Presiden Jokowi di geladak kapal pinisi. Bahkan sejak Republik Indonesia diproklamasikan. Kini, hingga hari ini, negara kepulauan ini belum punya strategi kebudayaan nasional yang haluannya menuju Poros Maritim Dunia.
Poros Maritim yang digadang-gadang barulah pencitraan di atas laut. Indonesia belum kembali menjadi bangsa pelaut; bangsa yang berdaulat, berdasarakan falsafah perahu bercadik, perahu bersayap; MENGUKUR SAMA PANJANG MENIMBANG SAMA BERAT.
Puan dan tuan… siapa bisa terjemahkan poros maritimnya Jokowi? (wow/jpnn)
BACA JUGA: PDIP Pasok Visi dan Misi Kemaritiman Jokowi-Maruf
BACA JUGA: Hari Maritim: Beribu Maaf, Sriwijaya Bukan Nama Kerajaan
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pencurian Batubara di Sungai Mahakam Kerap Dibiarkan
Redaktur & Reporter : Wenri