Pak Tayib si Penggali Liang Lahat, Mampu Kuliahkan Anaknya

Sabtu, 26 November 2016 – 00:18 WIB
Tayib, penggali liang lahat yang selalu bersyukur dan ikhlas. Foto: AMBROSIUS/Rakyat Kalbar/JPNN.com

jpnn.com - TAYIB si penggali liang kubur. Untuk kebutuhan hidup kesehariannya, dia harus pandai-pandai mengais rezeki. Berkat keuletannya, dia mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi

Ambrosius, Pontianak

BACA JUGA: Pak Amat Pantang Meludah di Depan Mayat

Dengan tubuhnya yang kurus dan kulit hitam dibakar mentari, Tayib tetap setia dengan cangkul sebagai alat menggali liang lahat.

Usianya sudah 55 tahun. Sudah 23 tahun dia mencari rezeki sebagai penggali liang lahat di Pemakaman Muslim Jalan Tabrani Achmad, Pontianak Barat, Kalimantan Barat.

BACA JUGA: Sang Profesor Menyesal tak Bisa Berbahasa Inggris

Kata ayah tiga anak ini, rejeki dari perkerjaannya dating saat ada orang yang meninggal. Namun, tidak lantas dia selalu berdoa agar ada orang meninggal. Dia sangat percaya, rezeki sudah diatur sang Maha Pengasih.

"Satu hari kadang bisa sampai tiga kali menggali kubur. Tapi itu tak menentu, kadang tiga hari lagi baru ada," ungkap Tayib kepada Rakyat Kalbar (Jawa Pos Group) yang mengunjungi rumahnya Jalan Tebu, Komp. Dwi Ratna Indah II, Pontianak Barat, beberapa hari lalu.

BACA JUGA: 19 Tahun Hidup di Pulau Tikus, Kesetiaan Kalahkan Ketakutan

Kediamannya tidak jauh dari pemakaman itu. Ia memulai kerja sebagai penggali kubur sejak 1993, yang saat itu secara kebetulan ada orang yang memintanya untuk membantu menggali liang lahat. “Sebelumnya tukang bangunan kemudian saya berhenti, lalulah saya keterusan menekuni perkerjaan ini,” tuturnya dengan senyum.

Satu risiko yang selalu dipikulnya, penggali kubur itu harus selalu siap  dipanggil jika ada orang yang dipanggil oleh Allah yang Maha Kuasa.

Jadi, katanya, harus siap dalam keadaan apapun ketika ada orang meninggal dan di manapun dia berada.

Tantangan pekerjaannya itu adalah tanah di Kota Pontianak yang rendah, basah, liat, dengan kondisi areal pemakaman yang berair.

Apalagi saat musim hujan seperti ini lubang yang kita gali biasanya tergenang air, dan itu harus ditimba terus. Belum lagi kendala yang lain seperti saat menggali ada kayu atau akar," jelasnya.

Untuk menggali liang lahat ukuran 2x1 meter dengan kedalaman hampir dua meter pada tanah basah dan berair, butuh waktu kurang lebih satu jam.

Jasa menggali kuburan dibayar oleh pihak pengelola makam. Selain itu setelah prosesi pemakaman selesai kadang ada pihak keluarga yang meninggal menghargai jasanya, baik itu berupa uang maupun barang.

"Satu lobang itu digali dua orang, dan saling bergantian upahnya dibagi rata. Kalau dari keluarga yang biasanya dikasi baju, ada juga uang. Lumayanlah, apa pun bentuknya itu rejeki," kata Thayib yang ikhlas dan pasrah menerima apapun pemberian orang yang juga dalam duka.

Sebagai seorang penggali kubur, kakek dua cucu ini memiliki kepuasan tersendiri terhadap pekerjaannya. Kepuasan batin membantu orang yang sudah meninggal.

"Orang meninggal ini kan harus segera ditangani, istilahnya harus disegerakan. Selain itu kita juga meringankan perkerjaan keluarga yang ditinggalkan," tuturnya.

Untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya, Tayib pada 1996 mendapatkan pekerjaan tambahan sebagai penjaga malam di sebuah perusahaan milik pemerintah daerah.

"Malamnya saya jaga mulai dari jam 10 pulangnya jam enam pagi. Itu tidak peduli tanggal merah atau hari besar tetap jaga," ungkapnya.

Dengan penghasilan tambahan itulah dia bisa menyekolahkan anak pertamanya hingga ke perguruan tinggi.

Tidak hanya itu anak keduanya lulusan SMA sudah bekerja juga.  Sedangkan anaknya yang bungsu masih duduk dibangku SMA.

"Anak pertama saya laki-laki, dia sarjana yang diwisuda tiga tahun lalu dan sekarang bekerja di instansi pemerintah," ungkapnya.

Tak kehabisan akal untuk menafkahi keluarganya, kakek yang punya cucu kembar perempuan ini mendapat berkah dari hasil keringatnya menggali kubur. Uang yang disisihkan dan dikumpulkannya digunakan untuk menyewa lahan pertanian.

"Hasil yang saya dapatkan itu diputarkan lagi, sewa sawah milik orang dan ditanam padi, kalau ada waktu luang saya ke sawah," pungkasnya. (*/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Manis Petani Transmigran, Sekali Panen Rp 100 Juta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler