jpnn.com - JAKARTA - Ketua Progam Studi Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Profesor John Pieris menilai pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum atau KPU tak menghormati hukum.
John mengatakan, penolakan KPU atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memerintahkan memasukan nama Irman Gusman dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) Pemilu 2024, merupakan tindakan yang tidak terpuji.
BACA JUGA: Sengketa Pencalonan Irman Gusman, Pakar HTN Anggap KPU Mencoreng Penegakan Hukum
"Hak Irman Gusman dicabik-cabik. Tidak benar sebuah lembaga negara independen tidak menghormati konstitusi bahkan putusan pengadilan. Itu melawan hukum,” kata John da?am seminar nasional 'Putusan Pengadilan vs Peraturan Perundang-Undangan’, dengan subtema 'Benturan Norma Hukum dalam Proses Pencalonan Anggota DPD RI', Senin (8/1).
Prof John mengingatkan bahwa hakim itu pembentuk hukum dan putusan PTUN atas perkara Irman Gusman sudah final dan mengikat.
BACA JUGA: Dicoret dari DCT DPD Pemilu, Uda Irman Gusman Gugat KPU
"Kedudukannya lebih tinggi dibanding penyelenggara pemilu, yaitu KPU. Dalam konstitusi, KPU itu ditulis dengan huruf kecil, sementara kekuasaan kehakiman ditulis dengan huruf besar,” tuturnya.
Pembicara lainnya dalam seminar itu, mantan hakim agung Prof. Gayus Lumbuun mengatakan pemerintah harus menyikapi kasus Irman Gusman dengan cepat.
BACA JUGA: Laporkan KPU ke DKPP, Irman Gusman Harapkan Iktikad Baik soal DCT Pemilu DPD
Menurut Gayus, untuk memberi keadilan bagi Irman Gusman maka masalah ini harus segera ditangani. Kalau tidak ditangani, Irman tidak akan bisa maju da?am Pemilu 2024.
“Keadilan yang terlambat itu sebenarnya menolak keadilan itu sendiri,” kata Gayus.
Menurut Gayus, hukum harus berkepastian, bermanfaat, dan tujuan hukum adalah memberi keadilan.
“Persoalannya muncul kalau terjadi konflik antara putusan PTUN melawan putusan MA dan putusan MK. Di MK dan MA yang diuji adalah norma bukan peristiwa. Kalau keadilan dan kemanfaatan tentu adalah putusan PTUN. Itu peristiwa,” ujar Gayus.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus, mengatakan seharusnya KPU memberikan contoh bagaimana lembaga negara mentaati putusan peradilan, baik peradilan umum maupun PTUN sebagai wujud ketaatan kepada konstitusi sebagai pengejawantahan negara hukum (rechtsstaat).
“Sikap KPU yang tidak mau mengeksekusi putusan PTUN menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum bagi peserta pemilu, dan jelas melanggar amanat UU Pemilu,” kata Guspardi.
Menurutnya, sikap seperti itu tidak terpuji, karena telah mempertontonkan arogansi.
“Sudah banyak diskursus yang membahas terkait ketaatan atau kepatuhan aparatur atau instansi pemerintah terkait eksekusi putusan PTUN, tetapi dari tahun ke tahun tetap saja ada yang tidak melaksanakan atau patuh pada putusan PTUN,” katanya.
Secara regulasi, apabila KPU tidak mentaati aturan putusan lembaga pengadilan yang bersifat final dan mengikat (final and bending) atau telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tentu ada sanksinya. "Bisa secara adminitratif, perdata, dan pidana," imbuh Guspardi.
Mantan hakim konstitusi, Doktor Maruarar Siahaan menjelaskan, putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap adalah norma hukum dalam art? konkret yang dideduksi dari norma abstrak.
"Selama putusan hakim itu tidak dibatalkan maka berkekuatan hukum mengikat. Termasuk juga putusan PTUN perkara Irman Gusman,” katanya.
Menurut Maruarar, perubahan yang terjadi pada Daftar Calon Sementara (DCS) Caleg DPD tak dilakukan atas dasar hukum yang baru.
“Hukum itu tidak boleh berlaku retroaktif. Kalau itu dilakukan KPU maka itu melanggar karena diberlakukan retroaktif,” ujar Maruarar. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan