Pakar hukum Indonesia dari Melbourne University Professor Tim Lindsey memandang tidak ada alasan untuk fobia terhadap maraknya pemakaian jilbab di Indonesia. Hal itu disampaikannya dalam diskusi panel bertema Islam and Diversity in Contemporary Indonesia yang diselenggarakan di Adelaide Festival Centre, Australia Selatan, Sabtu (26/9/2015).

“Kecenderungan makin banyaknya perempuan muslim dari kelas menengah memakai jilbab tidak perlu dikhawatirkan. Sebab motivasi mereka berjilbab tidak melulu karena keyakinan atau ideologi,” ujar Prof. Tim Lindsey.

BACA JUGA: Perubahan UU Visa bagi Turis Relawan Disayangkan Petani Organik

Baginya, gaya hidup yang ditunjang komodifikasi atau industri juga ikut melatari meningkatnya fenomena jilbab.

Pendapat Prof. Tim tersebut merespon pendapat dosen Fakultas Humanities Flinders University, F. Firdaus, perihal perubahan perempuan muslim di Indonesia, yang dari tahun ke tahun makin marak mengenakan jilbab.

BACA JUGA: Puluhan Ribu Penduduk Australia di Daerah Keluhkan Buruknya Sinyal Siaran TV

Dosen Bahasa Indonesia yang akrab disapa Firda ini melihat kecenderungan seperti itu dimulai sejak tahun 80-an, menurut dia karena dipengaruhi oleh Revolusi Iran.

“Rezim Orba membatasi dan melarang pegawai negeri bekerja sambil memakai jilbab. Setelah Suharto turun, sekarang semakin banyak kelas menengah yang berjilbab,” sambung Firda.

BACA JUGA: Staf Pusat Detensi Pulau Manus Dituding Tidak Hormati Hukum Papua Nugini


Direktur Program Jembatan Flinders University Dr. Priyambudi Sulistiyanto (berdiri di podium), Dosen Senior Fakultas Humanities Flinders University F Firdaus, penulis khazanah nusantara, gender dan Islam dari Jakarta Ayu Arman, Pakar hukum Indonesia dari University of Melbourne Professor Tim Lindsey, Associate Professor Nadirsyah Hosen (Monash University), dan pakar seni dan budaya dari Jawa Barat Satria Akbar

 

Pembicara dari Jakarta, Ayu Arman punya pengalaman tersendiri tentang jilbab. Sebagai penulis gender dan Islam yang merekam khazanah keberagaman Nusantara dari Papua, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi, ia sangat optimis dengan dinamika kearifan lokal di Indonesia dalam menghidupkan harmoni dan toleransi.

Tetapi dia terkejut sekali ketika sampai di daerah terpencil di Sulawesi Barat. Lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak bisa mengenali perempuan-perempuan di sana.

Pasalnya, dari anak-anak sampai dewasa, para perempuan di sebuah wilayah Mamuju menggunakan burqa yang menutup seluruh badannya dan hanya menyisakan mata.

Dari perjalanan panjang kerja kreatif penulisan itu, Ayu mendapatkan kesimpulan bahwa pemeluk Islam di Indonesia sama sekali bukan seperti pemeluk Islam di negara Arab. Umat Islam di Indonesia punya kemampuan membangun harmoni dengan kearifan lokal di masing-masing daerah.

Ia pun berpandangan sama dengan Firda yang melihat pemeluk Islam di Indonesia tidak statis, bukan konsep tunggal. Dari Aceh, Jawa, Lombok, hingga Papua, umat Islamnya sangat beragam.

“Umat Islam Indonesia terus berkontestasi dalam memaknai kehidupan beragama dan keberagaman. Pergumulan terjadi dalam menafsir agama yang tekstual dengan yang kontekstual,” papar Ayu.

Karena itu, Ayu menganjurkan pentingnya meletakkan isu gender dengan menggunakan tafsir Islam yang kontekstual dan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan.     

Sementara itu Dosen Fakultas Hukum Monash University, Nadirsyah Hosen membuat perumpamaan tentang penganut Islam Nusantara yang sangat mengakomodir keberagaman lokalitas di Indonesia tersebut, dengan produk makan cepat saji KFC yang mengglobal.

“Di Australia Anda tidak akan pernah mendapat KFC dengan nasi. Agar bisa diterima, KFC hadir di Indonesia dengan citarasa lokal juga, menyuguhkan nasi dengan ayam. Namun, substansinya sama, tetap saja ayam goreng,” terangnya.


Dosen Senior Fakultas Humanities Flinders University F Firdaus, penulis khazanah nusantara, gender dan Islam dari Jakarta Ayu Arman, Pakar hukum Indonesia dari University of Melbourne Professor Tim Lindsey, Associate Professor Nadirsyah Hosen (Wollongong University), dan pakar seni dan budaya dari Jawa Barat Satria Akbar

 

Menurut keterangan yang diperoleh ABC Australia Plus Indonesia, kegiatan diskusi ini diselenggarakan oleh Program Jembatan Flinders University.

Diskusi ini sekaligus menjadi bagian dari OzAsia Festival, agenda tahunan yang menyuguhkan karya seni internasional setiap musim Semi di Adelaide. Festival tahun ini mengambil fokus Cultural Delights of Indonesia dari 24 September – 4 Oktober 2015.

Eko Supriyanto (Cry Jailolo), Teater Garasi (The Street), Melati Suryodarmo, seniman disabilitas Yogyakarta, Nani Losari (Topeng Cirebon) serta seniman Indonesia lainnya, turut ambil bagian dalam festival yang melibatkan audiens dengan berbagai latar seni, tradisi, dan sejarah yang berasal dari panorama kebudayaan kawasan Asia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lubang Runtuhan Seluas 150 Meter Terjadi di Area Perkemahan Terkenal di Queensland

Berita Terkait