Pakar: Cukup Alasan Syafruddin Temenggung Diputus Bebas

Sabtu, 22 September 2018 – 15:05 WIB
Margarito Kamis. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Esensi peradilan bukan sekadar untuk menghukum atau membebaskan orang melainkan untuk mencari kebenaran. Jadi bila peradilan tidak menemukan bukti bahwa seseorang itu bersalah, jangan ragu untuk membebaskan orang tersebut.

Pengamat hukum Margarito Kamis mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan di Jakarta, Jumat (21/9/2018).

BACA JUGA: Tuntutan terhadap Eks Kepala BPPN Ironis dan Mengejutkan

Margarito menyampaikan hal itu terkait rencana putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap terdakwa Syafruddin Temenggung dalam perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang berkaitan dengan perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), pada Senin mendatang.

“Jika peradilan menemukan bukti bahwa seseorang yang diadili ternyata tidak terbukti bersalah, ya harus dibebaskan. Jadi, jangan malu untuk membebaskan Syafruddin (Temenggung),” kata Margarito.

BACA JUGA: Syafruddin Dituntut 15 Tahun Penjara, Pakar: Itu Berlebihan

Menurut Margarito, sejak awal, konstruksi hukum untuk mengadili mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu sangat lemah. Sebab, lanjutnya, pokok perkara yang dipermasalahkan itu pada dasarnya bersifat perdata, yakni berkaitan dengan perjanjian MSAA antara debitur Sjamsul Nursalim dan pemerintah, bukan pidana.

“Saya menilai sangat sulit untuk menyatakan Syafruddin bersalah karena membuat negara mengalami kerugian,” tandasnya.

BACA JUGA: Eks Kepala BPPN Dituntut 15 Tahun, Ini Pembelaan Yusril

Pendapat senada dikemukakan oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir. Menurut dia, persoalan pokok harus diluruskan terlebih dahulu. SKL tersebut tidaklah berdiri sendiri, bukan merupakan keputusan Syafruddin seorang, melainkan merupakan rangkaian keputusan yang diambil oleh pejabat-pejabat sebelumnya baik dalam forum Rapat Kabinet maupun Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

“Jadi, jika ingin menyelesaikan soal SKL BLBI ini ya, kembali pada masalah keperdataan Sjamsul Nursalim. Jika pemerintah tak mau dirugikan, cabut saja SKL, lalu yang bersangkutan diwajibkan membayar utangnya pada negara. Dan tanggung jawab Kementerian Keuangan lah untuk menagih setelah BPPN dibubarkan,” tambahnya.

Berdasarkan catatan fakta persidangan, jaksa KPK menuntut hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan terhadap Syafruddin, karena dianggap memenuhi unsur tindak pidana korupsi seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Dalil jaksa terdakwa melawan hukum yakni UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Sementara itu, jaksa tidak dapat membuktikan adanya unsur penerimaan uang (kick back) oleh Syafruddin yang berhubungan dengan penerbitan SKL.

Dalil jaksa itu dipatahkan dalam pledoi. Nyatanya BPPN tidaklah tunduk kepada Pasal 37 UU Perbendaharaan Negara, karena:

Pertama, BPPN tunduk kepada rezim hukum yang berbasis pada asas lex specialis (aturan khusus) untuk semua aturan hukum yang ada dalam sistem hukum yang berlaku dan merupakan hukum darurat untuk mengatasi krisis.

Kedua, BPPN tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN. Oleh karena itu, PP tentang BPPN itu harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, mengingat keberadaannya merupakan turunan dari Pasal 37A UU Perbankan yang berbunyi: Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan. Badan khusus dimaksud adalah BPPN.

Ketiga, undang-undang memberikan kewenangan-kewenangan khusus kepada BPPN yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut merupakan lex specialis terhadap ketentuan UU lainnya. Maka selain UU, tindakan yang diambil oleh BPPN dipersamakan dengan suatu keputusan pengadilan yang bersifat serta merta. Hal ini tiada lain karena keadaan ekonomi nasional dalam keadaan bahaya dan eksistensi BPPN tersebut hanya dalam keadaan sementara (ad hoc)

Keempat, dengan mendalilkan bahwa UU Perbendaharaan Negara berlaku terhadap BPPN, penuntut umum kurang memahami ketentuan yang terkait dengan program penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A UU Perbankan jo. Keppres Nomor 34 Tahun 1998 jo PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN.

Tentang sifat khusus (lex specialis) dari PP tentang BPPN juga dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 01/1999 berkaitan dengan uji materiil PP BPPN yang diajukan oleh DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).

“Putusan menolak permohonan uji materi PP tentang BPPN yang diajukan oleh AAI. Salah satu pertimbangan MA dalam putusan tersebut adalah faktor emergency (darurat). PP BPPN sebagai delegated legislation yang bersumber pada Pasal 37A UU 10/1998 tentang Perbankan. Putusan MA itu menunjukkan bahwa MA mengakui posisi lex specialis PP tentang BPPN terhadap peraturan perundang-undangan lainnya.”

Selain itu, Audit BPK tahun 2006 pun tidak memasukkan UU Perbendaharaan Negara sebagai dasar untuk menilai kepatuhan hukum BPPN terhadap peraturan perundang-undangan. “Hal tersebut menunjukkan bahwa BPPN adalah lembaga khusus yang memiliki peraturan khusus dan mengesampingkan peraturan lainnya.”(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahli: Perkara SAT Tidak Penuhi Prinsip Pidana


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler