jpnn.com - Persidangan perkara Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), Senin (3/9) depan diagendakan mendengarkan pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu diajukan sebagai pesakitan ke Pengadilan Tipikor Jakarta sejak 14 Mei silam dengan dakwaan memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara.
BACA JUGA: Syafruddin Beberkan Pendekatan untuk Penyelesaian Dipasena
Belasan saksi baik yang diajukan oleh JPU mau pun oleh Penasehat Hukum telah selesai didengar. Agenda pemeriksaan terdakwa juga telah dilakukan.
Ada sesuatu yang menarik mengikuti proses persidangan ini, yakni ketika Ahli Hukum Pidana Andi Hamzah selaku saksi ahli seakan "memberi kuliah pencerahan" tentang "Actus Reus" dan "Mens Rea", dua unsur dasar yang harus dipenuhi dalam suatu perkara pidana.
BACA JUGA: Kasus BLBI: Kerugian Negara karena Penjualan Aset 2007
Guru besar ilmu hukum Universitas Trisaksi melihat dua elemen prinsipil yang dipersyaratkan itu yakni perbuatan melawan hukum (pidana) itu sendiri (actus reus) dan niat atau iktikad yang melatarinya (mens rea) tidak ada dalam perkara Syafruddin Temenggung ini.
Tentang mens rea atau iktikad/motif, guru besar ilmu hukum Universitas Trisaksi itu mengingatkan di muka persidangan bahwa tanpa mens rea tidak ada tindak pidana. Kalau tidak ada mens-reanya, dia lepas dari segala tuntutan hukum.
BACA JUGA: Eks Ketua BPPN Ungkap Alasan Penerbitan SKL untuk Sjamsul
"Memperkaya orang lain mesti ada motifnya. (Sjamsul) Nursalim ada hubungan keluarga dengan itu (Syafruddin) gak? Tidak ada kan? Jadi untuk apa memperkaya dia (Sjamsul Nursalim). Di mana otaknya? Memperkaya orang lain kemudian merugikan negaranya sendiri? Tidak masuk akal kan? (Kecuali) kalau dia berbuat itu karena ada ada suap. Suap atau kickback itu samasekali tidak ada dalam dakwaan terhadap Syafruddin,” tegas Andi Hamzah di muka persidangan beberapa waktu lalu.
Andi Hamzah kemudian juga meragukan adanya unsur actus reus. Ia menunjuk pada Audit BPK tahun 2002 yang menyatakan tidak ada kerugian negara dan audit BPK 2006 yang menyimpulkan Surat Keterangan Lunas layak diberikan. "Kalau begitu, perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain tidak ada. Tidak ada kerugian negara. Di mana unsur pasal 2 UU Tipikor (perbuatan) itu?"
Namun dia pun menunjuk adanya audit yang baru, yakni audit BPK 2017 yang menyatakan ada kerugian negara. "Mana yang dipegang? Apakah yang dulu atau yang sekarang? Yang ditimpalinya sendiri, "tentu yang dulu! Kan perbuatan dilakukan waktu dulu". Seperti juga yang dinyatakan oleh saksi ahli lainnya, Eva Achjani Zulfa bahwa hasil pemeriksaan yang paling mendekati tempus delicti (saat tindak pidana dilakukan) yang memiliki nilai pembuktian lebih tinggi.
Audit investigasi BPK di tahun 2017 (yang menyatakan masih adanya kerugian negara dalam penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) inilah yang dijadikan dasar mempersangka dan kemudian mendakwa SAT sebagai berbuat memperkaya diri sendiri dan orang lain dan merugikan kerugian negara. Tapi audit ini mendapatkan sorotan kencang dan dipermasalahkan keabsahannya.
Audit BPK tahun 2017 kontroversial, janggal dan tidak konsisten dengan audit audit sebelumnya. Di muka sidang baik terdakwa Syafruddin, penasehat hukumnya dan saksi ahli menguji keabsahan audit tersebut yang dinilai sepihak, tidak objektif, mengingkari asas asersi. Bahkan menyalahi ketentuan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan Peraturan BPK sendiri.
Lebih diperburuk lagi, dinilai tidak independen karena audit itu dibuat atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan data data yang telah disiapkan dan disodorkan KPK.
Saksi ahli I Gde Pantja Astawa, guru besar Universitas Padjadjaran, yang notebene juga adalah anggota Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK) dengan tegas mengatakan di muka sidang bahwa kita "harus berani menyatakan audit BPK 2017 itu batal demi hukum".
Ia mengingatkan tentang UU BPK dan azas asersi yang dilanggar. Harus ada 3 unsur dalam pemeriksaan yakni, yang memeriksa, entitas yang diperiksa dan ada pengguna LHP (laporan hasil pemeriksaan). Laporan investigasi BPK 2017 ini tidak ada entitas yang diperiksa. "Di mana logikanya kalau BPK sendiri tidak berpegang pada norma UU", ujarnya.
Penolakan dan keraguan dari ketiga ahli di atas akan keabsahan audit BPK 2017 tersebut diartikan sebagai mengaburkan adanya elemen actus reus dalam perkara Syafruddin Temenggung ini. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahli Hukum: Perkara Syafruddin Temenggung Tidak Masuk Akal
Redaktur & Reporter : Adil