Pakar Hukum Bilang Begini Soal Jaksa Berperan Jadi Penyidik Kasus Tipikor

Minggu, 26 Mei 2024 – 22:36 WIB
Ilustrasi - Tumpukan uang tunai. Pakar hukum pidana dari UII Prof Mudzakir bilang begini soal jaksa berperan jadi penyidik kasus tindak pidana korupsi (Tipikor). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Mudzakir menilai terbuka kemungkinan timbul permasalahan dalam penegakan hukum ketika jaksa berperan menjadi penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor).

"Pertanyaan akademiknya mengapa jaksa serius mempertahankan wewenang menyidik dalam perkara tipikor dan tidak tertarik dalam perkara lain, misalnya pembunuhan, perampokan atau pembegalan dan tidak tertarik menyidik perkara terorisme," ujar Prof Mudzakir dalam keterangannya, Minggu (26/5).

BACA JUGA: Mahfud MD, Ketua MA hingga Ketua THN Amin Baca Puisi di HBH IKA UII

Menurut Prof Mudzakir tipikor merupakan perkara pidana yang seksi dan menjadi rebutan para penegak hukum.

“Karena wewenang menyidik tunggal, yaitu tipikor, maka setiap perkara yang dilaporkan kepada KPK dan jaksa konklusinya selalu tipikor karena wewenangnya tunggal, hanya tipikor (Tipikorisasi),” ucapnya.

BACA JUGA: Pakar Hukum Soroti Kasus Arion Indonesia Melawan DJP

Hingga saat ini, kata Prof Mudzakir, KPK dan Kejaksaan sama-sama memiliki wewenang memeriksa perkara tipikor.

Namun, sering kali perkara yang bukan ranah tipikor malah dibuat menjadi perkara tipikor.

BACA JUGA: Pakar Hukum UGM: Kasus Karen Harus Ditangani dengan Cermat

“Kredit macet, (dibuat) tipikor, padahal sudah ada jaminan harta benda di bank. Di mana letak kerugian keuangan negara dan tipikornya? Kan dasar pinjamannya perdata, yaitu perjanjian kredit dengan jaminan,” katanya.

Menurut Prof Mudzakir, akibat hal tersebut ketika sampai pada tahap persidangan, hakim menolak dan membebaskan para terdakwa. Karena menilai perkara tersebut hanya sebatas perkara perdata.

Misalnya, kasus Surya Darmadi di mana kerugian negara dalam dugaan korupsi dan pencucian uang PT Duta Palma Group disebut lebih dari Rp 104,1 triliun.

Kasus ini ditangani Kejagung. Dalam putusannya Mahkamah Agung (MA) malah menurunkan hukuman pidana uang pengganti dari Rp 42 triliun menjadi Rp 2 triliun.

Prof Mudzakir menilai dalam hal ini lembaga pengawas seperti Komisi Kejaksaan RI dan Dewan Pengawas KPK masih kurang optimal dalam melakukan tugas dan fungsinya sehingga tidak ada mekanisme kontrol yang berjalan.

“Menurut analisis saya begitu (pengawasan kurang optimal), sebagai pengawal dan pengawas lembaga profesional di bidang penegakan hukum yakni Dewas pada KPK dan Komisi Kejaksaan pada Kejaksaan RI,” kata Prof Mudzakir. (gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Hukum: Amicus Curiae Bukan Alat Bukti, Tak Bisa Tekan Hakim


Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler