Pakar Hukum Soroti Kasus Arion Indonesia Melawan DJP

Senin, 29 April 2024 – 04:42 WIB
Sidang gugatan PT Arion Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada Kamis (25/4). Foto: source for jpnn/c,nn

jpnn.com, JAKARTA - Sidang gugatan PT Arion Indonesia dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada Kamis (25/4) di Pengadilan Pajak, Jakarta Pusat, menjadi sorotan.

PT Arion Indonesia, sebagai penggugat, menuduh DJP melanggar kewenangan dengan menerbitkan surat ketetapan pajak tanpa mengikuti prinsip hukum acara pemeriksaan pajak.

BACA JUGA: PT Arion Minta Kanwil DJP Jatim III Buktikan Hasil LHP

Kuasa hukum PT Arion Indonesia menyatakan bahwa DJP, melalui Kantor Wilayah III DJP Jawa Timur, tidak mematuhi prinsip hukum acara yang mengatur batas waktu pengujian pemeriksaan pajak.

"DJP dianggap tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) sesuai dengan batas waktu yang diatur oleh hukum," kata DR. Alessandro Rey, pakat hukum pajak dari Universitas Sahid Jakarta, dalam persidangan.

BACA JUGA: Kemenkeu Perketat Pengawasan OTA Asing yang Tidak Bayar Pajak

Rey menjelaskan bahwa hukum acara pemeriksaan pajak mengharuskan pengujian pemeriksaan dilakukan dalam waktu maksimal enam bulan sejak disampaikannya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan (SP2L) sampai dengan disampaikannya SPHP.

"Apabila lewat dari enam bulan, tergugat dianggap tidak menyelesaikan pengujian dengan baik," jelasnya.

BACA JUGA: Makin Mudah Bayar Pajak Hotel, Hiburan, dan Resto Pakai BRImo

Pihak penggugat menyampaikan bahwa DJP Kanwil Jatim telah melanggar prosedur hukum acara pemeriksaan pajak dengan tidak menyampaikan perpanjangan waktu pengujian secara tepat waktu.

Dalam pandangan Alessandro Rey, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap prosedur hukum yang mengatur pemeriksaan pajak.

Lebih lanjut, Rey mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait yang menegaskan batas waktu pengujian pemeriksaan.

Menurutnya, DJP harus mematuhi prosedur yang diatur oleh undang-undang untuk memastikan kepatuhan hukum dalam proses pemeriksaan pajak.

"Apabila hanya mengacu pada due process saja, pemberian SPHP yang telat memang diperbolehkan dan tidak salah," tuturnya.

Namun, masalahnya hal itu tidak dalam koridor hukum yang baik dan benar. Apalagi dalam praktiknya tidak disampaikan surat perpanjangan pemeriksaan.

"Dengan demikian harus merujuk pada due process of law, atau dengan kata lain SPHP menjadi batal karena dianggap tidak pernah disampaikan kepada Wajib Pajak," jelasnya.

Jika terbukti bahwa DJP melanggar prosedur hukum acara pemeriksaan pajak, hal ini mengundang pertanyaan serius terkait dengan pengakuan negara Indonesia sebagai negara hukum.

Alessandro Rey menegaskan bahwa kepatuhan terhadap hukum acara pemeriksaan pajak merupakan cerminan dari prinsip negara hukum. Apabila DJP tidak mematuhi prinsip-prinsip ini, dapat dipertanyakan apakah DJP mengakui Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan konstitusi.

Sementara itu, Ichtiar Rachmatullah, Kepala Seksi Administrasi dan Pemeriksaan Kanwil DJP Jatim III dalam persidangan mengungkapkan bahwa praktik di lapangan, tidak hanya satu dua kasus pemeriksaan lapangan yang lewat waktu.

"Melainkan ada banyak sekali. Namun hal itu tidak pernah dipermasalahkan Komite Pengawas Perpajakan," ungkapnya. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler