Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan dalam rapat paripurna DPR RI pada Selasa (06/12) lalu.
Aturan baru tersebut telah memunculkan banyak pertanyaan terkait hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
BACA JUGA: Mahasiswi Australia Meninggal di Bali Setelah Menjalani Perawatan Gigi
Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Bivanti Susanti membantu menjawabnya untuk Anda.
Beberapa yang banyak dipertanyakan adalah terkait:
BACA JUGA: Cara Selandia Baru Agar Tidak Melahirkan Generasi Perokok
Marxisme dan ajaran lain yang tak sesuai PancasilaKomentar negatif kepada presidenMenyebarkan hoaks di jejaring sosialAlat kontrasepsiTinggal serumah tapi belum menikahDan jangan lupa juga untuk mendapat penjelasan mengapa KUHP dianggap tidak adil bagi semua rakyat Indonesia. Mungkinkah terjerat KUHP karena lirik lagu menyebut 'Marxist'?
High school in Jakarta, American summer
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Amerika Serikat Sahkan Undang-Undang Pernikahan Sejenis
Had no chance against the Marxist girl with marijuana
Demikian penggalan lirik lagu "High School in Jakarta" ini yang sempat menjadi hits di Indonesia maupun dunia.
Lagu karya musisi kelahiran Indonesia Nicole Zevanya (NIKI) di bawah label rekaman Amerika 88rising, yang menaungi rapper Rich Brian dan penyanyi ternama lainnya, Joji.
Di dalamnya terdapat sebaris lirik dengan kata "Marxist" yang berkaitan dengan paham Marxisme.
Ini mungkin berkaitan dengan Pasal 188 pada bagian "Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara" yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran
komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan
dengan Pancasila Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk
menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Karena ada kata "marxist", apakah NIKI bisa terjerat pasal ini?
"Secara asumsi tentu saja [lirik lagu NIKI] tidak melanggar, karena tidak menyebarkan ajaran kan? kata Bivitri.
"Tapi masalahnya kalau ada pasal seperti ini, siapa saja bisa mengadukan."
Menurut Bvitri, "pasal longgar" di dalam sistem hukum Indonesia bisa membuka peluang bagi orang "untuk menghancurkan hidup orang lain."
"Ibaratnya kalau saya benci sama NIKI, saya adukan saja dulu. Nanti kan tekanan yang didapat NIKI karena dipanggil oleh polisi sudah cukup untuk membuat hidupnya miserable," katanya.
"Mungkin pada akhirnya dia akan dibebaskan oleh hakim, tapi untuk go through proses hukum itu tidak menyenangkan."Bagaimana dengan memberikan komentar negatif tentang Presiden?
Tidak jarang kita melihat komentar kepada presiden di media sosial, entah Instagram atau Facebook, yang beberapa diantaranya bersifat negatif.
Komentar seperti apa yang bisa membuat kita dipenjara?
Pertanyaan ini muncul terkait dengan pasal 218 tentang "Penyerangan terhadap presiden dan/atau Wakil Presiden" yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat
dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk
kepentingan umum atau pembelaan diri.
Menurut Bivitri, berdasarkan ayat 2 dari Pasal 220, pihak bersangkutan bisa terjerat pasal ini jika presiden merasa tersinggung dan kemudian melapor.
"Jadi memang kan itu penghinaan ya, itu benar-benar dilihatnya menghina perasaan orang [atau tidak]," katanya.
"Tergantung presidennya mau lapor atau enggak. Jadi kalau presidennya dalam bahasa sekarang baper, maka bisa saja terjadi pelaporan itu."
Namun menurut Pasal 218 ayat 2, komentar tidak termasuk dalam kategori penyerangan bila "dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."
Walau ada pengecualian, Bivitri melihat adanya tantangan bagi terdakwa yang terjerat pasal dengan delik aduan tersebut.
"Akibatnya adalah nanti yang membuktikan di pengadilan, kalau sampai ada penuntutan, adalah orang yang didakwa," katanya.
"Jadi akan berat juga di situ dan kita benar-benar menggantungkan pada siapa presidennya nanti. Mudah terbawa perasaan atau tidak."Apakah menyebarkan berita bohong di Whatsapp bisa terjerat?
Berita bohong diatur dalam pasal 263 KUHP.
(1) Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau
pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan
tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori V.
(2) Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau
pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan
tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam
masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori IV .
Bivitri mengatakan orang yang suka menyebarkan berita di Whatsapp "berpotensi terjerat" pasal ini.
"Ya bisa saja kena dan dilaporkan, walaupun lagi-lagi nanti bisa saja dibuktikan dan bebas, tapi bisa kena," ujar Bivitri.Apakah orangtua bisa terjerat bila menunjukkan alat kontrasepsi pada anak?
Dalam Pasal 408 disebutkan setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan pada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (Rp 1.000.000).Namun, terdapat beberapa pengecualian seperti dijelaskan di Pasal 410 Ayat (1), kecuali dengan tujuan menyampaikan program keluarga berencana, pencegahan penyakit menular seksual, atau kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
Sementara di dalam Pasal 410 Ayat (3) dijelaskan petugas yang berwenang melakukannya termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh pejabat berwenang.Lalu apakah artinya orangtua kita tidak bisa lagi mengajarkan edukasi seks pada anak?
Bivitri mengatakan pasal tersebut memiliki penyangga pada Pasal 410, yang mencatat bahwa perilaku tersebut tidak dipidana jika dilakukan "untuk kepentingan pendidikan."
"Jadi memang ada buffer nya di pasal 410 itu, karena kalau misalnya orangtua, untuk pendidikan, kita bisa perdebatkan," katanya.
Tapi menurutnya alasan "mengenalkan kontrasepsi dan melanggar Pasal 408" rentan dipakai untuk melaporkan seseorang untuk kepentingan pribadi.Bukan suami-istri tapi tinggal serumah, bisa terjerat?
Bayangkan skenario ini.
Seorang mahasiswa dan mahasiswi tinggal dalam satu rumah yang sama.
Mereka berteman dan tidak terlibat hubungan romantis.
Sementara itu, Pasal 412 mengatakan hidup bersama di luar perkawinan bisa dijerat hukum pidana:
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar
perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan
atau pidana denda paling banyak kategori II.
Bisakah mereka terjerat pasal tersebut?
Bivitri mengatakan keduanya bisa terjerat bila dilaporkan oleh pihak keluarga, entah suami, istri, orangtua atau pun anak mereka, seperti tertulis dalam Pasal 412 ayat 2:
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
"Jadi kalau misalkan dilaporkannya sama ketua RT atau sama temannya sendiri enggak bisa sebenarnya," katanya.
Sejak disahkannya RKUHP minggu lalu, pasal ini ramai dipertanyakan oleh masyarakat usai diberitakan di media lokal hingga media asing.
Di beberapa laporan media lokal, Juru Bicara Tim Sosialisasi KUHP Nasional Albert Aries selalu menekankan aspek delik aduan di mana tidak sembarang orang bisa melaporkan menggunakan pasal tersebut.
Bivitri mengatakan tanggapan seperti ini menandakan bagaimana "akses keadilan di Indonesia belum setara."
"Mungkin kalau orang yang kayak pejabat, punya uang bisa dinegosiasikan. Tapi kalau tukang bakso, tukang becak, begitu dilaporin, bisa apa dia? Mau bayar pengacara juga enggak bisa.
"Yang membuat repot adalah tim perumus selalu debatnya di situ, bilang nanti dibuktikan saja di pengadilan.
"Sebenarnya enggak adil kalau kami harus dibebankan pembuktian-pembuktian seperti itu. Karena memang pasal-pasal seperti ini enggak seharusnya ada dalam KUHP."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Simak Pendapat Adrianus Meliala soal Kohabitasi di KUHP Baru