jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menanggapi pernyataan Ketua Dewan Guru Besar UI, Prof Harkristuti Harkrisnowo yang menyinggung etika hukum di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Menurut Margarito, pernyataan Hakristuti yang menyinggung soal etika dalam penerapan hukum terkait putusan MK soal batas usia capres-cawapres terlalu mengada-ada.
BACA JUGA: Guru Besar UI: Yang Menuduh Civitas Academica Diorkestrasi Pikirannya Dangkal
Pasalnya, pernyataan tersebut dinilai tidak sesuai karena etika dan hukum merupakan 2 hal yang berbeda.
"Kalau anda banding jeruk dengan apel pasti nggak bisa itu dua hal yang dari sananya sudah berbeda, banding dalam kaidah ilmu tafsir gitu ya interpretasi itu yang dibanding musti apple to apple bentuk dan sifatnya sama baru anda bisa logis, kalau anda banding minyak dan air itu baru ketemu, anda banding moral anda banding etika dengan hukum enggak ketemu sampai kapanpun," kata Margarito di acara diskusi bertajuk Fenomena Infiltrasi Politisi Partisan di Kampus, di Jakarta, Jumat (9/2/2024).
BACA JUGA: Guru Besar UI: Banyak Upaya BNPT Kurangi Indoktrinasi Radikalisme di Tengah Masyarakat
Margarito menegaskan, soal etika dan hukum sangat berbeda sehingga tak bisa dijadikan satu rangkaian. Pria yang pernah menjadi Staf Ahli Menteri Sekretariat Negara itu menyebut, jika ada pihak yang terus menyandingkan hukum dengan etika tetap saja percuma.
"Anda takar hukum dengan etika bubar, anda takar etika dengan hukum yaudah bubar," kata Margarito.
BACA JUGA: Gunakan Model Prediktif, Indikator Sebut Pilpres 2024 Akan Satu Putaran
Soal putusan MK yang akhirnya meloloskan pencalonan Gibran sebagai Cawapres, Margarito menegaskan bahwa itu merupakan hasil keputusan MK yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat.
Suka atau tidak, kata Margarito, putusan tersebut tetap menguatkan pencalonan Gibran karena bersifat final. Kalaupun mau menampik putusan tersebut, kata Margarito, UU yang menyebut putusan MK itu final harus diubah.
"Beberapa kali saya bilang anda mau senang atau tidak senang begitu putusan Mahkamah Konstitusi itu keluar, kita mesti terima itu sebagai hukum yang berlaku, karena sistem mengatakan itu, undang undang dasar menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi itu final dan karena itu mengikat begitu ya kalau anda bilang itu jahat, salah dan segala macam ya ubah saja itu," kata Margarito.
Senada dengan Margarito, dr Andi Asrun juga menyoroti pihak-pihak yang menggiring opini seakan-akan ada kecurangan yang terjadi di dalam Pemilu 2024.
Mulai dari penyaluran bansos, hingga kritik terhadap hak kampanye Presiden terus digulirkan, dengan membangun narasi bahwa pemerintah tidak netral.
Guru Besar Universitas Pakuan ini menilai bahwa upaya tersebut tak lepas dari meningkatnya elektabilitas Prabowo-Gibran. Semakin elektabilitas paslon nomor dua itu meningkat, isu-isu pemilu curang pun terus digaungkan berulang-ulang.
"Kalau masih gerakan ini berlanjut betul dugaan saya bahwa gerakan politik kritik terhadap pemerintah ini adalah sebuah mobilisasi politik," kata Andi Asrun.
Sejauh ini Presiden Joko Widodo sendiri telah merespons kritik soal penyaluran bansos dengan menunda sementara program pemerintah tersebut. Bahkan Jokowi juga secara gamblang mengatakan tidak akan berkampanye meski ia punya hak secara konstitusi.
"Jadi dengan dua tindakan ini, kalau masih berlanjut gerakan ini, gerakan protes cara pemerintah ya kemudian dimobilisasi ke jalan. Maka itu sudah sebuah pelanggaran hukum, bukan lagi sikap kritis," kata Andi Asrun.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean