Sejumlah negara sudah melonggarkan aktivitas warganya di tengah pandemic COVID-19. Beberapa di antaranya bahkan sudah kembali "buka" dan menawarkan kebebasan sejak lebih dari enam bulan lalu.
Kami bertanya kepada pakar kesehatan dan epidemiolog di sejumlah negara soal bagaimana mereka hidup dengan COVID. Berikut ini penjelasan mereka.
BACA JUGA: Jumlah Pengawas PTM di Solo Turun, Ada Kekhawatiran Kasus Covid-19 Naik
Pelonggaran di Inggris terlalu cepatDi negara ini kasus harian rata-rata sekitar 40.000 orang dengan rata-rata lebih dari 1.000 orang meninggal dalam sepekan.
Pemerintahan PM Boris Johnson mendapat kecaman dengan pendekatan yang disebut 'Freedom Day' atau hari kebebasan pada bulan Juli, yang menghapus kewajiban pakai masker dan mengakhiri hamper semua pembatasan aktivitas.
BACA JUGA: Telemedicine Booming di Masa Pandemi Covid-19, IAKMIÂ Beri Saran Begini
Baru 68 persen dari warga di Inggris sudah mendapat dua dosis vaksin, artinya Inggris berada di peringkat ke-18 dari 38 negara maju.
Deepti Gurdasani, ahli epidemiologi dan peneliti kesehatan masyarakat di Queen Mary University of London, mengatakan empat bulan setelah 'Freedom Day', apa yang terjadi adalah yang tidak diharapkan sebelumnya.
BACA JUGA: Jumlah Pasien COVID-19 di RSDC Wisma Atlet Bertambah, Tanda-tanda Gelombang Ketiga?
"Adalah kesalahan besar bagi kami untuk keluar dari 'lockdown' saat tingkat vaksin 66 persen," katanya kepada ABC.
Profesor Gurdasani merekomendasikan negara-negara lain, termasuk Australia untuk melakukan vaksinasi bagi anak-anak dan remaja sesegera mungkin.
"Banyak penularan terjadi di sekolah, dan kami melihat ini sekarang di Inggris."
Menurut ahli epidemiologi John Edmonds dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, penghapusan kewajiban pakai masker dan tidak memvaksinasi anak-anak sebelum mereka kembali ke sekolah adalah "kesalahan" besar di Inggris.
"Kita seharusnya mengadopsi pendekatan tes [COVID-19] yang lebih agresif dengan perangkat lateral bagi mereka yang kembali bekerja dan yang memiliki kontak dengan kasus," kata Profesor Edmonds. Sejumlah wilayah di Amerika Serikat kesulitan
Beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah melonggarkan pembatasan selama lebih dari enam bulan.
Rata-rata kasus COVID dalam sepekan bisa mencapai 83 ribu kasus daengan rata-rata 1.100 kematian dalam sehari.
Sekitar 69 persen dari populasi negara yang berusia di atas 12 tahun telah divaksinasi dua dosis dan program 'booster' atau dosis penguat sudah dilakukan.
Menurut Bill Hanage dari Universitas Harvard mengatakan lokasi yang kebanyakan warganya tidak divaksinasi benar-benar mengalami kesulitan menangani pandemi.
"Wilayah-wilayah tersebut mengalami banyak kematian," ujarnya.
"[Misalnya] sepertiga dari semua kematian selama pandemi di Florida sudah terjadi sejak Mei 2021."
Profesor kedokteran dan ekonom kesehatan Standford University, Jay Bhattacharya, yang sangat kritis soal 'lockdown' ketat, mengatakan "tragedi terbesar" di Amerika Serikat adalah kegagalan untuk melindungi orang tua, yang meninggal "dalam jumlah besar".
Dia mengatakan 'lockdown' membuat banyak orang tidak bisa mengakses layanan kesehatan penting, termasuk mendeteksi kanker, sejumlah operasi, dan banyak prioritas kesehatan penting lainnya..
Saat Amerika Serikat memasuki musim dingin, Profesor Bhattacharya mengatakan sektor kesehatan sempat mengalami kesulitan, tapi tidak sampai kewalahan.
"Saya khawatir mungkin ada kekurangan perawat di tempat-tempat yang memberlakukan mandat vaksin di tempat kerja," katanya.
"Beberapa memilih untuk meninggalkan pekerjaan daripada dipaksa melakukan vaksinasi.
"Jika kebutuhan akan perawatan kesehatan meningkat musim dingin ini, sementara tenaga kerja medis menyusut, beberapa sistem kesehatan mungkin kewalahan."
Saran Profesor Hanage sebenarnya sederhana: "Jangan berpikir vaksin akan membuat virus hilang," katanya. Sertifikat vaksin berfungsi dengan baik di Kanada
Kanada memiliki 1,76 juta kasus COVID dan lebih dari 29 ribu kematian hingga saat ini. Selama tujuh hari terakhir, rata-rata ada 2.373 kasus baru dan 24 kematian dalam sehari.
Sekitar 76 persen dari warganya sudah divaksinasi dua dosis, menjadikannya berada di peringkat ke sembilan dalam daftar negara maju yang paling divaksinasi, di belakang Spanyol, Korea Selatan, Islandia, Chili, dan Portugal.
Kanada membuka perbatasan internasionalnya pada bulan September, dengan pembatasan yang berbeda-beda di setiap provinsi.
Colin Furness, seorang ahli epidemiologi pengendalian infeksi di University of Toronto, mengatakan Kanada tidak memiliki "satu cerita untuk COVID", karena kesehatan masyarakat diatur dan dijalankan oleh masing-masing provinsi.
Namun, ia berharap semua pemerintahan akan segera melakukan "penggunaan tes rapid secara massal".
"Itu bukan alat diagnostik, tetapi alat skrining yang benar-benar brilian," kata Profesor Furness.
"Provinsi Nova Scotia membagikannya seperti kondom, dengan dorongan untuk melakukan tes sendiri sebelum pergi keluar menikmati malam."
Profesor Anne Gatignol, seorang profesor imunologi di Lady Davis Institute for Medical Research di Montreal, mengatakan "sanitary pass" atau yang dikenal sebagai sertifikat vaksin di negara lain telah bekerja dengan baik di Kanada.
"[Di Montreal] ketika kami pergi ke restoran, kami boleh masuk jika memilikinya, kami masuk dan keluar dengan masker dan kami melepasnya hanya untuk makan," kata Profesor Gatignol.
"Meja dipisahkan dengan kaca dan pertemuan maksimal 10 orang dari tiga rumah tangga yang berbeda." Vaksinasi saja tak cukup di Singapura
Singapura masih melewati tantangan besar dalam menangani pandemi COVID-19.
Dengan salah satu tingkat vaksinasi tertinggi di dunia, Singapura berencana membuka kembali perbatasannya secara bertahap setelah 80 persen dari warganya mendapat dua dosis vaksin.
Tetapi selama dua bulan terakhir, kurva penularan dan angka kematian di Singapura terlihat paling curam sejauh ini, dengan jumlah kasus harian meningkat menjadi rata-rata sekitar 2.700 dan 13 kematian per hari.
Profesor Yik-Ying Teo, Dekan Saw Swee Hock School of Public Health di National University of Singapore, mengatakan negara-negara lain, seperti Australia, "harus bersiap" dengan peningkatan jumlah penularan.
"Dan dengan lonjakan penularan, akan ada peningkatan kebutuhan rumah sakit," katanya.
"Dan saya akan mendorong [pemerintah Australia] untuk mengomunikasikan kepada publik bahwa vaksinasi saja tidak akan cukup."
"Penularan alami akan diperlukan untuk melengkapi perlindungan dari vaksin, yang berarti akan ada peningkatan jumlah penularan [dan] orang yang akan dirawat di rumah sakit."
Profesor Tikki Pang, seorang ahli mikrobiologi dan mantan direktur kebijakan penelitian WHO untuk kelompok penyakit menular, mengatakan perlu ada fokus tambahan pada angka rawat inap dan kematian, jadi bukan sekedar jumlah kasus baru.
"Terus monitoring, terutama untuk kemunculan variannya," kata Profesor Pang, yang kini berkantor di National University of Singapore.
"Pertahankan dan terapkan aturan kesehatan masyarakat, serta lakukan tes COVID-19 yang ditargetkan, serta awasi ketersediaan perawatan baru." Australia terus melakukan pelonggaran
Di Australia setiap negara bagian memiliki pembatasan yang berbeda-beda. New South Wales dengan ibu kota Sydney sudah melonggarkan aturan sejak lima minggu lalu dengan rata-rata angka penularan baru per harinya di bawah 200 orang. 91 persen penduduk di negara bagian ini sudah mendapat vaksin dua dosis.
Sementara di Victoria dengan ibu kota Melbourne, baru melonggarkan peraturan pada akhir Oktober, dengan tingkat vaksinasi dua dosis baru mencapai 86,6 persen.
Hingga saat ini Austalia Barat dengan ibu kota Perth yang masih menutup perbatasannya dan diperkirakan baru akan dibuka pada awal tahun depan, meski tidak ada kasus baru.
Queensland dan Tasmania akan dibuka mulai bulan Desember dan perbatassan Australia Selatan rencananya dibuka pekan depan.
Artikel ini dirangkum dan diproduksi oleh Erwin Renaldi dari laporan dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sam Harus Bekerja Selama 20 Jam Sehari Membersihkan Tempat Yang Terkena COVID di Melbourne