Pakar: Presiden Boleh Memihak dan Berkampanye Adalah Pernyataan Menyesatkan

Kamis, 25 Januari 2024 – 21:27 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Menhan Prabowo Subianto dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto seusai menghadiri penyerahan pesawat C-130J-30 Super Hercules di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). Foto: Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden

jpnn.com, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa presiden boleh memihak dan melakukan kampanye, menuai kecaman, bahkan dianggap menyesatkan.

"Statemen presiden boleh memihak dan boleh melakukan kampanye adalah statemen yang menyesatkan," ujar Direktur Eksekutif Indonesian Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, Kamis (25/1).

BACA JUGA: Perihal Kenaikan Pajak Hiburan, HIPPI DKI Minta Presiden Segera Terbitkan Perppu

Dedi menjelaskan, sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara, presiden merupakan penyelenggara pemilihan.

"Kalau presiden sebagai penyelenggara pemilihan lalu memihak maka ini bisa saja merusak kualitas dari proses elektoral itu," ujar dia.

BACA JUGA: Bela Jokowi soal Presiden Boleh Memihak, Yusril Berkata Begini

Menurut Dedi, pernyataan Jokowi itu juga dapat mempengaruhi institusi yang erat kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri, dalam menjalankan tugasnya.

"KPU, Kementerian Dalam Negeri, termasuk juga mitra di parlemen yang memiliki korelasi dengan pemilihan umum, besar kemungkinan mereka akan terpengaruh ketika tahu presiden memihak kemana," urai Dedi.

BACA JUGA: TIM 8-RJBBP: Tidak Perlu Khawatir Presiden Ikut Berkampanye

Meskipun KPU tidak tunduk secara langsung kepada presiden, lanjut Dedi, sikap presiden akan akan tetap dapat mempengaruhi keberanian penyelenggara pemilu dalam menjalankan kewenangan.

"Karena secara psikologis, meskipun KPU tidak secara langsung tunduk pada presiden dalam penyelenggaraan pemilu, presiden punya andil dalam menentukan komisionernya,” ujar Dedi.

Menurut Dedi, presiden seharusnya bertindak sebagai seorang negarawan di tengah proses pemilu.

Dedi menegaskan bahwa mengambil posisi netral saja belum cukup bagi presiden untuk dianggap negararawan.

"Beliau harus berpihak pada negara. Dalam arti, misalnya sekarang banyak anggota kabinet, para menteri, para wakil menteri, yang secara terang-terangan membela salah satu kandidat, presiden tidak bisa diam," terang dia.

Presiden, kata Dedi, seharusnya menegur para anak buahnya itu dengan cara melakukan reshuffle.

Presiden juga harus melarang semua aktivitas yang berkaitan dengan jabatan publik, terutama jabatan elite, ikut campur dalam urusan politik praktis.

Senada, pakar politik Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, pernyataan Jokowi bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang selalu menyatakan bahwa presiden akan netral, akan mendukung ketiga paslon.

“Namun, belakangan ini justru atau kemarin menyatakan boleh memihak. Kalau kita lihat sebetulnya ini bertentangan dengan sumpah jabatan untuk presiden dan juga menteri,” kata Ikrar.

Masalahnya, lanjut Ikrar, aturan bahwa presiden, menteri, bahkan kepala daerah boleh kampanye memang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.

Pada saat yang sama, asas umum mengatur bahwa ASN, TNI/Polri, kepala desa, dan anggota Satpol PP tidak boleh berkampanye.

“Mengapa ada dualisme kebijakan, pada tingkatan presiden, wapres, Menteri sampai wakil bupati boleh berkampanye sementara ASN tidak boleh?” tanya dia.

Ikrar juga menyebutkan, sulit dibedakan yang mana aktivitas presiden dan para menteri adalah kunjungan kerja dan yang berkampanye.

“Karena kita tahu bahwa kunjungan presiden dan para Menteri ke beberapa daerah itu tidak sedikit yang melakukan kampanye politik,”tutup Ikrar.

Sebelumnya, calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD menyatakan akan mundur dari jabatannya sebagai Menkopolhukam.

Hal ini dilakukan demi menjaga netralitas dan memberikan contoh agar pejabat negara tidak menyalahgunakan jabatan dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.

"Malah sekarang menteri-menteri yang tidak ada kaitannya dengan politik ikut-ikutan jadi tim sukses," kata Mahfud saat berbicara dalam kegiatan 'Tabrak Prof' yang digelar di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (23/1) malam.

Karena itu, Mahfud berjanji akan mengajukan surat pengunduran diri sebagai Menko Polhukam.

"Situasi tidak berimbang, pihak lain pakai jabatan, diantar. Saya kira percontohan saya sudah cukup. Tinggal tunggu momentum," ucap Mahfud. (dil/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler