jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menyesalkan sikap Presiden Joko Widodo yang tetap menandatangani Keppres tentang peresmian Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI periode 2021-2026.
Padahal, menurut Margarito, Presiden semestinya taat dan patuh terhadap Undang-Undang. Sebab dalam hal ini, tidak mungkin seorang Presiden tidak mengetahui calon anggota BPK bermasalah.
BACA JUGA: INDEF Sarankan Presiden Tunda Pelantikan Anggota BPK Bermasalah, Ganti Calon Lain
“Seharusnya Presiden tidak meneken Keppres tersebut. Jokowi bisa mencontoh langkah yang dilakukan Presiden SBY pada 2009 yang tidak meneken (Keppres) dua calon anggota BKP bermasalah,” kata Margarito, Selasa (2/11/2021).
Pada saat itu, tuturnya, ada dua calon Anggota BPK yang bermasalah dan ditolak oleh Presiden SBY.
BACA JUGA: Soroti Calon Anggota BPK Bermasalah, PMII: Jebakan Buat Presiden
“Seharusnya Presiden Jokowi berani mengikuti langkah itu, tidak usah meneken Keppres Nyoman Adhi Suryadnyana,” ujar Margarito.
Dia menilai tindakan Presiden Jokowi tersebut jelas salah. Presiden tidak boleh hanya demi menjaga hubungan baik dengan DPR, kemudian berani menandatangani Keppres tersebut.
BACA JUGA: Detik-detik KSAL Resmikan Pusat Latihan Tempur Marinir TNI AL
"Presiden itu harus tunduk pada Undang-Undang," ujar Margarito.
Margarito melihat situasi DPR sekarang ini tidak bisa diharapkan untuk menyuarakan aspirasi terkait pemilihan Anggota BPK. Sebab, baik DPR maupun Presiden telah melanggar Undang-Undang.
“Presiden ternyata tidak merespons protes masyarakat, meskipun sudah mengetahui calon itu bermasalah. Tragis sekali, Presiden sendiri yang menghancurkan tatanan hukum," ujar dia.
Disinggung soal solusi, Margarito mendorong agar masyarakat memperkarakan kasus tersebut. Makin banyak orang yang memperkarakan, dia menilai makin bagus.
Dia sendiri sejak awal menyarankan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) untuk memerkarakan kasus tersebut.
Presiden Jokowi diketahui telah menandatangani Keppres Nomor 125/P Tahun 2021 tentang Pemberhentian Dengan Hormat dan Peresmian Anggota Badan Pemeriksa Keuangan terpilih yakni Nyoman Adhi Suryadnyana.
Keppres yang ditekan pada 18 Oktober 2021 itu memutuskan memberhentikan dengan hormat Prof. Dr. Bahrullah Akbar MBA CIPM sebagai Anggota BPK masa jabatan 2016-2021 terhitung sejak 29 Oktober 2021.
Keppres itu juga meresmikan Nyoman Adhi Suryadnyana SE ME sebagai Anggota BPK masa jabatan 2021-2026 terhitung tanggal pengucapan sumpah atau janji sebagai Anggota BPK.
Menanggapi terbitnya Keppres, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta Ketua Mahkamah Agung untuk tidak melakukan pelantikan Nyoman Adhi Suryadnyana sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang baru menggantikan Bahrullah Akbar.
“Kami akan berkirim surat ke Ketua Mahkamah Agung. MA semestinya menghormati proses gugatan di PTUN yang saat ini berlangsung,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang BPK, anggota BPK setelah mendapat Keppres akan dilakukan pelantikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Dia menyayangkan terbitnya surat tersebut dikarenakan masih berlangsungnya gugatan di PTUN antara MAKI melawan Ketua DPR atas persoalan tidak sahnya pemilihan calon Anggota BPK oleh DPR karena Nyoman Adhi tidak memenuhi syarat formil sebagaimana ketentuan pasal 13 huruf J UU BPK.
“Semestinya Presiden tidak terburu-buru menerbitkan Keppres tapi menunggu selesainya proses gugatan di PTUN,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Koalisi Save BPK Prasetyo menilai proses terpilihnya Nyoman Adhi sampai penerbitan Keppres dan pelantikannya sebagai Anggota BPK merupakan tindakan yang melukai konstitusi.
“Itu artinya DPR dan Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi tidak mau mendengar second opinion dari masyarakat dan para pakar hukum. Ini menjadi preseden buruk sekaligus yang pertama kali terjadi dalam pemilihan Anggota BPK. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin akan terulang karena DPR dan Pemerintah permisif terhadap pelanggaran konstitusi,” ujar Prasetya dalam pernyataan tertulis.
Menurut Koalisi Save BPK, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dari dilantiknya Anggota BPK tidak penuhi syarat. Pertama, preseden tersebut bisa terulang kembali dalam pemilihan Anggota BPK ke depan.
“Meski kita tidak menginginkan itu terjadi, tetapi karena sudah pecah telur, maka menjadi sesuatu yang mungkin terjadi nanti ada calon Anggota BPK TMS (tidak memenuhi syarat) tapi tetap digolkan,” sambungnya.
Kedua, wibawa BPK sebagai auditor eksternal yang bebas dan mandiri sesuai amanah UU telah terciderai. Menurut Koalisi Save BPK, lembaga auditif negara seharusnya berdiri independen karena tugas dan wewenangnya yang demikian berat dalam pengawasan keuangan negara. “Peristiwa ini akan menggerus wibawa dan independensi BPK,” tukasnya.
Ketiga, peristiwa ini dapat menurunkan kredibilitas BPK sebagai pengawas (pemeriksa) di hadapan para auditeenya.
“Bisa menimbulkan celah hukum bahkan gugatan ketika yang bersangkutan memeriksa entitas. Hasil audit dari Anggota BPK tidak memenuhi syarat bisa dipertanyakan bahkan digugat,” terangnya.
Keempat, Koalisi Save BPK meragukan kinerja Nyoman Adhi dalam memimpin pemeriksaan keuangan negara ke depan.
“Baru terpilih saja telah melanggar hukum, bagaimana kinerja 5 tahun ke depan? Apa tidak kasihan sama auditor yang berintegritas di lapangan?” ujar Prasetyo.
Di luar itu, Koalisi Save BPK mendukung upaya-upaya hukum yang dilakukan kelompok masyarakat untuk menggugat keputusan terhadap pengangkatan Nyoman Adhi sebagai Anggota BPK.(fri/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Friederich