jpnn.com - JAKARTA - Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO) ke-9 telah menghasilkan kesepakatan Paket Bali yang diklaim sebagai kesuksesan pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah. Namun, sejumlah pengamat menilai kesepakatan itu lebih banyak menguntungkan negara-negara industri maju.
Secara pribadi saya pesimis isi kesepakatan akan dijalankan dengan baik oleh semua negara karena kepentingan yang berbeda dari setiap negara membuat hubungan bilateral menjadi lebih win-win solution (saling menguntungkan-red)," ujar Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), Aviliani saat dihubungi kemarin (8/12).
BACA JUGA: Sarankan Pembentukan BUMN Khusus untuk Open Acces Pipa PGN
Dalam Paket Bali yang disepakati tersebut, subsidi pertanian di negara berkembang memang meningkat dari sebelumnya maksimal 10 persen dari output nasional, menjadi 15 persen. Namun hal itu dibatasi hanya sampai empat tahun. Hal ini tentu bisa merugikan negara-negara agraris seperti Indonesia,"Ini bisa merugikan Indonesia," tuturnya.
Pasalnya, jika subisidi pertanian tidak ditingkatkan, maka banyak petani di Indonesia yang akan menjadi miskin. Soalnya, subsidi merupakan nilai tambah dari sektor pertanian yang bisa dinikmati langsung oleh petani. Oleh karena itu tidak heran poin itu menjadi perdebatan antara negara maju dan berkembang."Pasti banyak petani protes," ungkapnya.
BACA JUGA: Dirut PLN Masih Aktif
Disisi lain terkait upaya untuk memperluas pemasaran perdagangan ke semua negara, Indonesia juga masih memiliki hambatan internal. Setidaknya untuk memperlancar fasilitas perdagangan, Indonesia membutuhkan dua pelabuhan internasional yang besar, tidak hanya pelabuhan Tanjung Priok."Masalah ini belum terpecahkan sampai sekarang," sambungnya.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menilai kesepakatan Paket Bali pada pertemuan Organisasi Dagang Dunia WTO di Bali tidak memiliki dampak positif bagi kondisi pertanian dan nasib petani Indonesia. "Kesepakatan Paket Bali hanya menguntungkan negara-negara industri seperti Australia dan Amerika," terangnya.
BACA JUGA: Kaget Dengar Kabar Pengunduran Diri Dirut PLN
Sementara Indonesia tidak memiliki hasil ekspor yang bisa bersaing di pasar global dengan negara-negara industri tersebut."Pertanian apa yang bisa diperluas pemasarannya ? toh kita hanya ungggul di kelapa sawit, cokelat, karet dan hasil tambang. Kalaupun korporasi-korporasi kelapa sawit untung, itu banyak milik asing," sebutnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ), Riza Damanik menilai kebijakan yang populer disebut Paket Bali itu dinilai tak memihak petani, dan justru mendorong setiap negara semakin membuka keran impor terhadap produk negara maju."Bahkan Paket Bali sesungguhnya lebih buruk dibanding perundingan Doha di Jenewa," cetusnya.
Beberapa kebijakan yang bersumber dari tiga poin utama, menurut Riza, merupakan upaya utuk melakukan pembatasan subsidi, penghapusan tarif dan non tarif, serta berbagai fasilitas perdagangan."Ketiga isi paket Bali mendapatkan dukungan negara maju namun menuai penolakan dari negara berkembang," jelasnya. (wir)
Poin Final Paket Bali
1.Fasilitas perdagangan : memperluas penetrasi negara-negara maju untuk mengakses pasar domestik semua anggota WTO.
2. Subsidi pertanian : bantuan benih dan pupuk bisa diberikan hingga 15 persen dari total output nasional, tapi ada jangka waktu maksimal 4 tahun.
3. Akses pasar bagi negara kurang berkembang (Least Development Countries/LDCs)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dirut PLN Beber Alasan Mengundurkan Diri Lewat SMS
Redaktur : Tim Redaksi